Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi trading (Pexels/Anna Tarazevich)

Di era digital ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali memunculkan gagasan progresif yang memancing diskusi publik.

Dalam siaran pers yang diterima pada Kamis (2/1/2025), ia mengungkapkan bahwa jual beli saham sebaiknya mulai diperkenalkan sejak tingkat sekolah dasar.

"Jual beli saham sekarang seharusnya ini sudah mulai diajarkan bukan di tingkat mahasiswa lagi tapi bahkan di tingkat sekolah dasar sehingga mereka menjadi getting familiar with dengan bursa efek," tuturnya, dikutip dari suara.com.

Pernyataan tersebut memancing perdebatan, baik dari sisi manfaat maupun implikasi bagi anak-anak.

Gagasan ini mungkin terdengar revolusioner, mengingat literasi keuangan di Indonesia memang masih rendah. Mengajarkan anak SD untuk memahami mekanisme pasar saham bisa menjadi langkah awal untuk membangun generasi yang melek finansial.

Tapi, apakah benar anak usia 6–12 tahun sudah siap menghadapi kompleksitas seperti ini? Bukankah mereka masih bergelut dengan matematika dasar dan membaca buku cerita?

Memang, beberapa negara maju telah memasukkan literasi keuangan dalam kurikulum sekolah mereka. Tapi perlu diingat, konteks budaya dan tingkat kesiapan sistem pendidikan mereka jauh berbeda.

Di Indonesia, banyak sekolah dasar yang bahkan belum memiliki fasilitas memadai atau akses internet yang stabil. Lalu, bagaimana mereka bisa belajar trading saham, yang memerlukan teknologi dan pemahaman ekonomi tingkat lanjut?

Tak hanya itu, mengajarkan anak SD tentang saham juga membawa risiko baru. Dunia saham penuh dengan ketidakpastian dan fluktuasi, yang dapat memengaruhi kondisi emosional mereka.

Alih-alih mempersiapkan mereka untuk masa depan, ini justru bisa menciptakan stres yang tidak perlu di usia muda. Apakah itu harga yang pantas dibayar untuk "familiar dengan bursa efek"?

Selain itu, muncul pertanyaan mendasar, apakah pengenalan saham di usia dini ini benar-benar bertujuan untuk memberdayakan anak-anak atau hanya untuk memperluas basis investor lokal?

Jika yang kedua, ini tampak seperti eksploitasi, bukan edukasi. Bagaimana dengan prioritas pendidikan lain seperti penguatan karakter, kemampuan berpikir kritis, dan kecakapan hidup? Bukankah itu lebih mendesak?

Sri Mulyani mungkin punya niat baik. Ia ingin generasi muda lebih siap menghadapi tantangan ekonomi di masa depan. Namun, implementasi ide ini perlu direncanakan matang dan mempertimbangkan banyak aspek.

Jika tidak, yang terjadi hanyalah penambahan beban baru bagi siswa dan guru di sekolah. Bukannya menghasilkan generasi hebat, kita malah menciptakan anak-anak yang kelelahan sejak dini.

Pendidikan harus seimbang, terutama bagi anak-anak. Mengenalkan literasi keuangan, termasuk saham, boleh saja. Tapi mungkin waktunya belum sekarang.

Mungkin lebih baik kita memulainya dari tingkat SMA atau perguruan tinggi, saat anak-anak sudah cukup matang secara emosional dan intelektual. Untuk anak SD? Biarkan mereka menikmati masa kecil mereka dulu, sambil perlahan mengenal dunia secara natural.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah