Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | aisyah khurin
Novel Saha (goodreads.com)

Cho Nam-Joo, penulis Korea Selatan yang dikenal lewat novel feminis "Kim Jiyoung", "Born 1982", kembali menyuguhkan karya sosial-politik yang tak kalah menggugah dalam "Saha".

Kali ini, ia membawa pembaca ke dunia distopia yang suram namun relevan, di mana ketimpangan sosial, eksklusi sistemik, dan krisis identitas manusia menjadi inti narasi.

"Saha" bukan hanya novel yang menghibur, melainkan juga menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem sosial yang tidak adil.

Setting utama novel ini adalah Town, sebuah kota modern yang dikelola oleh perusahaan bernama P perusahaan.

Di tengah kemewahan dan keteraturan yang dibangun oleh korporasi ini, terdapat kawasan pinggiran bernama Saha Estate, sebuah hunian yang diisi oleh orang-orang tanpa kewarganegaraan, tanpa identitas resmi, dan tanpa hak sipil.

Mereka disebut “Saha”, julukan yang mengacu pada mereka yang tidak memiliki tempat dalam sistem.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Jin-Kyung dan abangnya Do-Kyung.

Mereka tinggal di Saha Estate dan menjalani kehidupan yang serba terbatas, tak hanya secara ekonomi tetapi juga secara eksistensial.

Mereka bukanlah tokoh-tokoh dengan ambisi besar, melainkan figur yang mewakili kegelisahan, keterasingan, dan perasaan tak berdaya dalam sistem yang menindas.

Pilihan Cho Nam-Joo untuk menempatkan narasi dari sudut pandang tokoh-tokoh “pinggiran” justru memberikan kekuatan moral dan emosional yang besar pada cerita ini.

Melalui "Saha", Cho Nam-Joo menghadirkan kritik keras terhadap masyarakat kapitalis yang membungkus kontrol dan eksploitasi dengan kedok efisiensi dan kemajuan.

Di Town, akses terhadap pekerjaan, kesehatan, dan tempat tinggal sepenuhnya dikendalikan oleh P perusahaan.

Tak hanya itu, bahkan cinta dan pernikahan pun harus mendapat persetujuan dari sistem.

Hal ini membuat warga Saha seperti Jin-Kyung tak memiliki kesempatan untuk menjalani hidup yang normal.

Mereka hidup dalam bayang-bayang penindasan dan ketidakpastian.

Salah satu kekuatan novel ini terletak pada gaya penulisan Cho Nam-Joo yang padat, tenang, namun penuh tekanan.

Ia tidak melebih-lebihkan emosi, tetapi justru itulah yang membuat pembaca merasa getir.

Kesedihan dalam novel ini tidak meledak-ledak, namun meresap perlahan-lahan seperti kabut yang mencekik.

Narasinya seringkali melompat dari satu tokoh ke tokoh lain, memberi gambaran bahwa penderitaan dalam sistem ini bukan pengalaman individual, melainkan kolektif.

Cho Nam-Joo juga menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat menghilangkan identitas manusia. Para penghuni Saha tidak diakui secara hukum, dan karenanya mereka menjadi “hantu” di tanah kelahirannya sendiri.

Mereka tidak dapat mengakses pendidikan formal, layanan kesehatan, atau pekerjaan resmi. Bahkan eksistensi mereka nyaris tak diakui oleh sistem.

Hal itu menjadi sindiran terhadap bagaimana negara atau sistem kapitalis dapat “membunuh” warganya secara perlahan melalui pengabaian sistemik.

Ada elemen misteri dalam novel ini, terutama ketika salah satu warga Saha ditemukan meninggal secara misterius. Ini menjadi semacam katalis bagi Jin-Kyung untuk mulai menggali lebih dalam tentang sistem yang menindas mereka.

Namun, seperti kehidupan nyata, jawaban yang ia dapatkan tidak selalu memuaskan. Justru dari kekosongan dan ketidakpastian inilah pembaca diajak untuk merenung tentang absurditas sistem sosial yang kian membusuk.

Meski nuansa novel ini cenderung gelap dan pesimistis, Cho Nam-Joo tetap menyisakan ruang bagi harapan.

Harapan itu tidak datang dalam bentuk revolusi besar atau perubahan sistemik mendadak, melainkan dari solidaritas sesama warga Saha, dari ikatan antar manusia yang tetap bertahan walau di tengah kehancuran.

Dalam kesunyian dan kemiskinan, mereka tetap saling peduli dan berusaha bertahan hidup bersama.

Secara tematik, "Saha" beresonansi dengan karya-karya distopia seperti "1984" karya George Orwell atau "The Handmaid’s Tale" karya Margaret Atwood, tetapi tetap membawa nuansa khas Korea yang kontekstual dengan kondisi sosial-politik negaranya sendiri.

Ketimpangan ekonomi, kontrol institusional terhadap hidup individu, dan penghilangan hak asasi manusia menjadi kritik sentral yang dijalin dengan narasi fiksi yang menggugah.

Novel ini memang tidak menawarkan banyak aksi atau klimaks dramatis, tetapi kekuatannya justru terletak pada kedalaman observasi sosial dan ketelitian dalam menggambarkan penderitaan manusia dalam sistem yang tidak adil.

Pembaca yang menyukai refleksi sosial, sastra distopia, atau isu-isu kemanusiaan akan menemukan "Saha" sebagai karya yang penuh makna dan mengusik hati nurani.

Secara keseluruhan, "Saha" adalah novel yang kontemplatif dan menantang.

Ia tidak hanya menyajikan cerita, tetapi juga pertanyaan-pertanyaan besar tentang siapa yang memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa yang “layak” hidup dalam masyarakat.

Dalam dunia yang kian dikendalikan oleh perusahaan dan birokrasi, "Saha" menjadi suara perlawanan yang penting, namun menggema dalam kesadaran.

Identitas Buku

Judul: Saha

Penulis: Cho Nam Joo

Penerbit: Liveright

Tanggal Terbit: 1 November 2022

Tebal: 240 Halaman

aisyah khurin