Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
ilustrasi rakyat kecil (pexels/Abhishek Gupta)

Baru saja saya membuka Instagram, sebuah unggahan dari akun narasi.tv menyita perhatian saya. Postingan itu diunggah pada (19/1/2025), membahas tentang garis kemiskinan yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2024.

Angkanya? Rp595.242 per kapita setiap bulan. Kalau dihitung, berarti sekitar Rp148.750 per minggu atau Rp21.250 per hari. Angka ini, katanya, adalah jumlah minimum pengeluaran yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Tapi, cukup enggak, ya, buat hidup?

Rp21.250 sehari untuk makan, transportasi, dan kebutuhan lainnya. Bayangkan saja, kalau kita naik angkot sekali jalan saja sudah habis Rp5.000. Masih ada Rp16.250 tersisa. Mau makan? Nasi warteg termurah mungkin Rp10.000 untuk sepiring nasi, tempe, dan sayur. Sisanya tinggal Rp6.250. Kalau ada kebutuhan mendesak seperti pulsa, obat, atau bahkan sekadar beli air minum, selesai sudah.

BPS memang mencatat perbedaan garis kemiskinan di setiap provinsi. Di Jakarta, misalnya, garis kemiskinannya lebih tinggi, yakni Rp846.085 per bulan. Bandingkan dengan Jawa Tengah, yang hanya Rp521.093. Logis memang, karena biaya hidup di Jakarta tentu jauh lebih mahal.

Tapi apakah angka itu benar-benar mencerminkan kondisi nyata? Mungkin tidak, karena harga kebutuhan dasar pun terus naik, dan tidak semua orang punya akses ke penghasilan tetap.

Kenyataan ini seperti memisahkan dunia statistik dan dunia nyata. Di satu sisi, angka garis kemiskinan ini jadi patokan untuk menentukan siapa yang layak mendapat bantuan sosial. Tapi di sisi lain, orang-orang yang berada sedikit di atas angka itu, yang pengeluarannya, katakanlah, Rp600.000 per bulan, apakah mereka benar-benar bisa disebut tidak miskin? Apa bedanya hidup mereka dengan yang ada di bawah garis itu?

Kalau di perkotaan angka itu terasa absurd, bagaimana dengan daerah? NTT, misalnya, punya garis kemiskinan Rp533.944 per bulan. Mungkin harga barang di sana lebih murah dibanding Jakarta, tapi akses terhadap barang itu sendiri sering jadi tantangan.

Masalahnya bukan sekadar angka, tapi bagaimana angka itu diterjemahkan menjadi kebijakan yang benar-benar membantu. Apakah orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan ini mendapatkan subsidi yang cukup? Apakah ada pelatihan kerja atau peluang ekonomi yang nyata untuk mereka? Jangan sampai garis kemiskinan hanya jadi statistik yang tersimpan rapi dalam dokumen BPS tanpa perubahan berarti di lapangan.

Jadi, cukupkah Rp21.250 sehari untuk hidup? Jawabannya hampir pasti tidak. Angka ini hanya menunjukkan betapa besar pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Pemerintah, kita semua, perlu lebih dari sekadar angka. Kita butuh solusi yang menjangkau realita hidup banyak orang di Indonesia.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Sherly Azizah