Di era digital yang serba cepat ini, membuat konten di media sosial seakan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, apalagi bagi sebagian besar Gen Z. TikTok, Instagram, atau Twitter jadi panggung utama bagi mereka untuk berekspresi, berbagi, dan berkreasi. Namun, ada satu masalah klasik yang terus mengemuka: orang tua. Apa yang orang tua lihat sering kali sulit dipahami, atau bahkan tampak aneh dan tak masuk akal. Dalam hal ini, anak muda yang lahir di abad ke-21 dengan segala kebiasaan digital mereka, sering kali berhadapan dengan generasi yang merasa kebingungan.
Fenomena ini sudah menjadi bagian dari budaya yang tak terhindarkan. Mengutip dari The Digital Age and Generation Z: A Study of Social Media Engagement (2021), peneliti menyoroti bahwa fenomena konten yang sulit dipahami oleh orang tua terkait erat dengan perbedaan cara pandang antar generasi. Gen Z tumbuh dalam dunia di mana meme dan slang internet adalah bagian dari bahasa sehari-hari mereka. Tak jarang, ungkapan yang menurut mereka lucu, cerdas, atau bahkan mendalam, bagi orang tua malah terkesan kacau dan tidak berarti.
Apa yang terjadi ketika slang atau meme ini diproduksi? Ketika Gen Z membuat konten yang berisi kalimat-kalimat yang hanya bisa dimengerti oleh kalangan mereka, mereka sebenarnya menciptakan semacam komunitas digital eksklusif. Tanpa disadari, ini memperlebar jarak pemahaman antara dua generasi. Bahkan, orang tua yang mencoba mengikuti tren terkini sering kali merasa seperti terjebak dalam dunia yang tak mereka pahami. Konten yang terlihat lucu dan relevan bagi anak muda mungkin terkesan tidak pantas atau bahkan tidak sopan bagi orang tua.
Meskipun banyak yang berargumen bahwa kebebasan berekspresi adalah hak setiap individu, ada kalanya generasi muda perlu menyadari dampak dari konten yang mereka buat. Apakah hanya karena sesuatu dianggap lucu atau menarik bagi mereka, lantas itu juga baik untuk disebarluaskan? Pada titik ini, kebebasan digital Gen Z bertemu dengan batasan nilai sosial yang lebih konservatif dari generasi sebelumnya.
Namun, apakah ini hanya masalah pemahaman antar generasi? Bisa jadi, salah satu alasan besar mengapa orang tua merasa bingung adalah karena mereka tidak terlatih atau terbiasa dengan perubahan budaya yang terjadi begitu cepat. Bagi mereka, banyak konten yang berkembang di internet tidak memiliki landasan atau tujuan yang jelas. Mereka lebih menghargai informasi yang lebih konkret dan mudah dipahami. Sebaliknya, Gen Z merasa bahwa kompleksitas dan kecanggihan dalam bentuk meme atau slang adalah sesuatu yang mengikat mereka dengan kelompok sebaya, menciptakan rasa kebersamaan.
Dalam konteks ini, penting untuk menanyakan apakah perbedaan pandangan ini bisa diterima sebagai perbedaan generasi atau perlu ada ruang bagi pertemuan dua dunia yang sangat berbeda? Gen Z sering kali merasa bahwa cara mereka berkomunikasi adalah bentuk kebebasan yang sah, tetapi di sisi lain, orang tua yang tidak terbiasa dengan hal tersebut merasa teralienasi. Mungkin, kunci untuk menjembatani kesenjangan ini adalah dengan lebih terbuka saling mendengarkan dan memahami. Namun, untuk itu, dibutuhkan kesediaan dari kedua belah pihak untuk belajar satu sama lain.
Tak dapat dipungkiri bahwa media sosial dan tren digital telah mengubah cara kita berkomunikasi secara fundamental. Namun, kita juga harus kritis terhadap bagaimana tren ini membentuk norma baru yang kadang-kadang membingungkan bahkan bagi mereka yang tak terlahir di era tersebut. Dalam dunia yang terus berubah ini, mungkin yang paling penting adalah menemukan cara untuk tetap menghargai keberagaman cara berkomunikasi tanpa melupakan makna sejati dari komunikasi itu sendiri.
Baca Juga
-
Banjir Aceh: Bukan Sekadar Hujan, tapi Tragedi Ekologis Hutan yang Hilang
-
Memberdayakan Siswa sebagai Agen Perubahan melalui Mentor Sebaya
-
Tawa yang Berisiko! Kenapa Sarkasme Mahasiswa Mudah Disalahpahami Otoritas?
-
Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
-
Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide
Artikel Terkait
-
Scroll, Klik, Bandingkan: Jebakan Media Sosial, Fenomena yang Mengancam Mental Generasi Digital
-
Belajar dari Kasus Baim-Paula, Bagaimana Mengatasi Anak yang Trauma Perceraian Orang Tua?
-
Kisah Inspiratif Lusi Indriani: Bangkit dari Masa Sulit hingga Sukses di Dunia Hiburan Digital
-
Komdigi Mau Awasi Konten Ilegal di Medsos lewat Aplikasi SAMAN, Dirilis Bulan Depan
-
Aturan Usia Medsos Anak: DPR Libatkan Ahli, Apa Pertimbangannya?
Kolom
-
Mengapa Widji Thukul Terasa Asing bagi Generasi Hari Ini?
-
Second Child Syndrome: Mengapa Anak Kedua Kerap Dianggap Lebih Pemberontak?
-
Dari Pesisir Belitung, Lahir Harapan Baru untuk Laut yang Lebih Baik
-
Saat Candaan Diam-diam Jadi Celah Bullying, Larangan Baper Jadi Tameng!
-
Harmoni Pesisir Pagatan: Merawat Laut, Menenun Asa, dan Menjaga Perbedaan
Terkini
-
Sinopsis Spring Fever, Drama Rom-Com Terbaru Ahn Bo Hyun dan Lee Joo Bin
-
Dari Kasual ke Formal Look, 4 OOTD ala Shin Soo Hyun yang Versatile!
-
5 Drama Korea Berlatar Musim Dingin yang Cocok Ditonton saat Akhir Tahun
-
Rilis Teaser, Serial Young Sherlock Hadirkan Masa Muda Detektif Legendaris
-
Tanam Mangrove dan Berkarya, Kolaborasi Seniman dan Penulis di Pantai Baros