Kita harus mengakui bahwa media sosial memiliki kekuatan unik untuk memikat pemirsanya. Hiburan, pendidikan, perjalanan, dan bahkan konten sejarah di saluran seperti YouTube dapat memengaruhi cara orang berpikir dan melihat sesuatu.
Konten yang membanjir di berbagai platform seperti YouTube, TikTok, dan Facebook Live saat ini menjadi cerminan nyata dinamika kehidupan modern. Ini adalah bagian tak terpisahkan dari derasnya arus tren, pesatnya perkembangan teknologi, dan transformasi digital yang merangkul setiap aspek kehidupan kita.
Oleh karena itu, para pembuat konten yang terlibat memiliki peran dan tanggung jawab besar dalam membentuk pola pikir dan sikap penontonnya. Mereka tak hanya sekadar menghibur, tetapi juga menginspirasi, mendidik, dan mendorong penonton untuk tumbuh ke arah yang lebih positif.
Hal ini perlu tercermin dalam karya kreatif dan produk konten yang diunggah di media sosial. Namun, tidak semua konten yang beredar di YouTube dan platform lain memiliki kualitas ini. Faktanya, banyak di antaranya yang mengandung konten negatif dan tidak mendidik.
Untuk memungkinkan terciptanya dan produksi konten yang membangun dan bermanfaat, para kreator perlu merancang dan membuat aturan dan regulasi yang disepakati guna menjaga konten tetap pada jalurnya.
Jangan sampai kebebasan tanpa batas justru membuat konten kehilangan nilai dan tidak memberikan manfaat apa pun bagi para audiens.
Bila perlu, pembuat konten bisa berpartisipasi dalam forum dan papan diskusi untuk menetapkan aturan dan regulasi untuk konten mereka.
Di sisi lain, hal ini juga menjadi tanggung jawab bersama bagi lembaga pendidikan, sektor keagamaan, tokoh masyarakat, dan pemerintah untuk melibatkan generasi muda dan membimbing mereka dalam memilah dan memilih hiburan yang akan bermanfaat bagi mereka.
Di masa mendatang, tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran publik dan memprioritaskan serta menyoroti program-program yang positif dan konstruktif.
Lebih jauh lagi, bimbingan dan kepemimpinan ini menciptakan kontrol sosial yang kuat yang mendorong para pembuat konten untuk mengeluarkan acara-acara yang kaya konten.
Bila diperlukan, pembuat konten atau regulator nasional akan menerbitkan sertifikasi yang menjamin kredibilitas, kompetensi, dan integritas para kreator.
Pada dasarnya, menciptakan konten yang mendidik sekaligus menghibur memang bukan suatu pekerjaan yang terbilang mudah.
Namun, tantangan ini justru menjadi peluang emas bagi para kreator untuk terus berpikir kreatif, memberikan pencerahan bagi audiens, dan menyajikan karya yang berkelas serta penuh nilai.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Rahasia Gelap Konten Clickbait Media Sosial: Kenapa Kita Gak Bisa Berhenti Ngeklik?
-
Pentingnya Melestarikan Budaya Lokal di Tengah Arus Globalisasi
-
Pilihan Karier ala Milenial: Kenapa Freelance Semakin Diminati?
-
Jejaring Sosial: Kunci Sukses Bisnis Online di Era Digital
-
Membayangkan Dunia Tanpa AI dan Robot: Bagaimana Manusia Hidup?
Artikel Terkait
-
Tantangan Pengasuhan di Era Digital: Remaja Lebih Percaya Konten Kreator, Orangtua Harus Apa?
-
Ini 5 Tren Bisnis di Media Sosial untuk Tahun 2025
-
Ekraf Beri Perlindungan Hak Cipta buat 1.001 Konten Kreator Indonesia, Termasuk Winda Basudara Hingga Yudist Ardhana
-
Kreativitas atau Kekacauan? Menyikapi Konten yang Orang Tua Anggap Aneh
-
Scroll, Klik, Bandingkan: Jebakan Media Sosial, Fenomena yang Mengancam Mental Generasi Digital
Kolom
-
Misteri Kematian Yu Menglong dan Bayang-Bayang Seram Museum 798 Tiongkok
-
Pacaran: Topik yang Tak Pernah Lolos di Ruang Tamu
-
Meme Bahlil Dilaporkan, Warganet: Siap-Siap Satu Indonesia Masuk Penjara
-
Pandai Minta Maaf, tapi Nggak Pandai Berubah, Cermin Budaya Kita?
-
Tumbuh dengan Parenting VOC, Ternyata Tidak Seburuk Itu
Terkini
-
4 Inspirasi Look OOTD Ryujin ITZY Buat yang Suka Tampil Modis dan Sat-Set!
-
Gaet J-Hope BTS, Le Sserafim Tampil Nyentrik di Single Terbaru 'Spaghetti'
-
Galau Maksimal! Ini 3 Lagu Raisa yang Bikin Hati Nyesek
-
Menutup Akhir Tahun dengan Stranger Things: Catat Jadwal Tayangnya!
-
Bahasa Asing di Sekolah: Portugis untuk Diplomasi, Mandarin untuk Ekonomi?