Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Inggrid Tiana
Ilustrasi overthinking (Pexels/Andrew Neel)

Ada satu fase dalam hidup yang diam-diam sering membuat kita merasa terjebak di tengah ketidakpastian. Fase itu bernama Quarter Life Crisis. Kalau kamu saat ini sedang ada di usia 20-an, entah baru lulus kuliah, baru mulai kerja, atau bahkan masih mencoba memahami arah hidup, mungkin kamu juga sedang merasakannya. Dan percayalah, kamu tidak sendirian.

Banyak dari generasi ini sering mempertanyakan,  "Sebenarnya saya ini sedang menuju ke mana, sih?" Atau pertanyaan klise lain seperti, "Kok hidup rasanya begini-begini aja, ya?"

Istilah quarter life crisis memang semakin sering kita dengar, khususnya di kalangan Generasi Z atau milenial awal. Kita tumbuh di era yang serba cepat, serba digital, dan penuh kesempatan. Tapi ironisnya, justru di era inilah banyak dari kita merasa paling bingung soal hidup sendiri.

Fase ini biasanya datang saat kita baru saja meninggalkan bangku kuliah atau SMA. Masa-masa remaja sudah lewat, tapi kita belum benar-benar paham gimana caranya jadi orang dewasa. Rasanya seperti lagi jalan di tengah jembatan, belum sampai tujuan, tapi tidak bisa balik lagi ke titik awal. Di sinilah gelombang kecemasan mulai datang.

Kita seringkali membandingkan hidup kita dengan orang lain, terutama karena media sosial memperbesar segalanya. Coba buka Instagram atau LinkedIn, hampir selalu ada saja yang terlihat sukses. Ada yang posting sedang kerja di perusahaan ternama, ada yang baru menikah, baru punya rumah, atau liburan ke luar negeri. Sementara kita mungkin masih sibuk mikir, "Lah, saya kok masih begini aja?"

Padahal, kita tahu betul kalau apa yang ditampilkan di media sosial itu cuma bagian highlight-nya saja, bukan keseluruhan hidup mereka. Tapi tetap saja, perasaan minder itu susah dihindari. Ada rasa takut tertinggal, takut nggak mencapai apa-apa, bahkan takut memilih jalan hidup yang salah.

Yang bikin semakin rumit, generasi kita justru dihadapkan pada begitu banyak pilihan. Di satu sisi, ini menyenangkan karena kita punya kebebasan untuk menentukan karier, tempat tinggal, bahkan cara kita membangun hubungan.

Tapi di sisi lain, terlalu banyak pilihan kadang bikin kita justru tidak tahu harus ambil yang mana. Setiap keputusan rasanya berat karena selalu muncul pertanyaan, "Gimana kalau ada pilihan lain yang lebih baik?" Akhirnya, kita malah terjebak dalam overthinking yang tidak ada ujungnya.

Belum lagi gap antara ekspektasi dan realita yang sering bikin mental goyah. Dulu kita percaya kalau rajin belajar, kuliah dengan IPK bagus, nanti hidup akan stabil dan terjamin. Tapi ternyata kenyataan jauh berbeda. Persaingan kerja makin ketat, gaji seringkali nggak sesuai harapan, harga rumah dan kebutuhan hidup terus melambung, dan kadang kita merasa stuck di pekerjaan yang nggak sesuai passion. Semua itu bikin kita bertanya-tanya, "Apa sih sebenarnya tujuan hidup saya?"

Kondisi dunia yang makin tidak pasti juga memperburuk kecemasan. Kita hidup di tengah perubahan yang cepat, krisis global, pandemi, resesi, politik yang tidak stabil, dan isu lingkungan yang bikin masa depan terasa semakin tidak jelas. Di tengah semua itu, wajar rasanya kalau kita merasa panik dan bingung harus mulai dari mana.

Kadang, fase ini juga membawa kita pada pertanyaan yang lebih eksistensial. Kita tidak hanya ingin hidup nyaman secara finansial, tapi juga ingin hidup yang bermakna. Kita ingin kerja di bidang yang sesuai dengan passion, membuat dampak positif untuk sekitar, dan ingin bahagia dengan cara kita sendiri. Tapi masalahnya, menemukan arti bahagia atau sukses versi diri sendiri itu tidaklah mudah. Seringkali kita malah merasa kosong karena tidak tahu sebenarnya mau apa.

Semua generasi muda pernah ada di titik itu. Merasa capek secara mental, overthinking hampir setiap malam, bahkan sempat menarik diri dari pertemanan karena merasa tidak selevel dengan teman-teman lain yang kelihatannya hidupnya sudah jauh lebih tertata. Tapi setelah melewati proses itu, kita mulai belajar satu hal, Quarter Life Crisis bukan berarti hidup kita gagal, tapi justru momen buat mengenal diri sendiri lebih dalam.

Kalau saat ini kamu sedang ada di fase ini, coba izinkan diri kamu untuk merasa cemas dan bingung. Itu wajar kok. Kita semua sedang belajar, dan nggak ada aturan baku tentang hidup yang benar. Kurangi waktu menelusuri media sosial kalau itu malah membuat kamu semakin merasa tidak cukup. Perjalanan hidup setiap orang itu beda-beda. Dan kita tidak perlu membandingkan timeline hidup kita dengan orang lain.

Cobalah untuk mendefinisikan ulang arti sukses versi kamu sendiri. Mungkin buat kamu, sukses itu bukan soal punya jabatan tinggi atau rumah mewah, tapi tentang hidup dengan tenang, cukup, dan bisa mengerjakan hal-hal yang kamu sukai. Tidak masalah kalau jalannya masih berliku atau belum ketemu jawabannya sekarang.

Jadi, buat kamu yang lagi merasa tersesat di usia 20-an, pelan-pelan aja. Ambil napas, tenang, dan nikmati prosesnya. Kamu tidak sendiri, dan fase ini pasti akan berlalu. Yang penting, tetap berjalan, meski pelan, yang penting tetap maju.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Inggrid Tiana