Mari kita mulai dari suara. Suara yang katanya hiburan, tapi bikin kepala pening, jantung berdebar bukan karena cinta, dan telinga seperti ditabok berulang-ulang. Sound horeg—nama yang entah siapa penemunya itu—telah menjelma jadi bintang utama setiap karnaval, hajatan, bahkan kampanye. Ia bukan sekadar speaker aktif, tapi monster desibel yang bisa bikin WHO geleng-geleng kepala sambil menutup telinga.
Masyarakat Kota Malang, seperti dalam film horor tanpa efek CGI, mulai ketakutan. Bukan karena hantu, tapi karena speaker yang bunyinya bisa mengusir malaikat. Salah satu pelaku budaya, Isa Wahyudi, bahkan bilang bahwa sound horeg ini sudah “melenceng jauh dari fungsi dasarnya.” Ibarat pengantin baru yang malah honeymoon ke kantor, jelas menyimpang.
Tapi mengapa sound horeg ini terus menggema? Apakah karena masyarakat kita sedang butuh pelampiasan emosional lewat volume maksimal? Atau karena kita salah kaprah dalam memahami makna hiburan publik?
Mari kita bedah pelan-pelan, sambil menyalakan volume nalar, bukan volume speaker.
Desibel yang Melebihi Nalar
Batas aman kebisingan menurut WHO adalah 100 desibel (dB). Tapi sound horeg? Santai saja melaju ke angka 150–185 dB. Itu bukan sekadar melampaui batas, tapi sudah ngebut di jalan tol logika tanpa rem tangan. Menurut Mehrotra et al. (2024), paparan suara di atas 85 dB saja sudah bisa bikin kuping rusak secara permanen. Apalagi 185 dB? Itu bukan hiburan, itu pembunuhan akustik secara perlahan.
Kerusakan pendengaran sering datang tanpa tanda. Sama seperti utang pinjol. Tahu-tahu telinga berdenging (tinnitus), seperti diingatkan Tuhan agar lebih banyak zikir daripada nonton joget TikTok bersound horeg. Najmaldin Ezaldin Hassan (2024) menyebutkan bahwa tinnitus ini bukan sekadar gangguan sepele, tapi bisa memicu depresi, kecemasan, dan bahkan insomnia.
Ironisnya, kebisingan ini justru menyasar ruang publik. Anak-anak dan lansia, kelompok paling rentan, menjadi korban pertama. Gupta et al. (2018) mencatat bahwa paparan kebisingan pada usia muda bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Ibaratnya, mereka belum sempat belajar mendengar suara guru, tapi sudah belajar menahan deru suara house remix versi remix kembali.
Jadi pertanyaannya: apakah hak untuk “berpesta” di jalanan lebih tinggi daripada hak warga untuk tidak tuli?
Joget Seronok dan Matinya Nilai Budaya
Jika saja sound horeg ini hanya soal suara, mungkin kita bisa kompromi dengan teknologi peredam. Tapi sayangnya, ini bukan sekadar akustik. Ini sudah masuk ranah etik. Pertunjukan sound horeg kerap disertai joget-joget tak mendidik, bahkan cenderung pornografis. Anak kecil disuguhi goyangan ala video “deep internet” versi kampung, dengan speaker sebagai pendukung setia.
Kita sedang menyaksikan sebuah pergeseran budaya, bukan evolusi. Dulu, hiburan desa adalah ludruk, jaranan, atau tarian tradisional. Kini, hiburan desa lebih mirip pesta EDM dadakan dengan host yang lebih sering berkata “Ayo goyang” daripada memberi pesan moral.
Isa Wahyudi, tokoh budaya Malang, menegaskan bahwa sound horeg ini telah menyingkirkan nilai-nilai budaya lokal. Bukan hanya soal selera, tapi soal arah. Kita seperti kehilangan GPS moral dalam pesta jalanan.
Pergeseran ini bukan tanpa konsekuensi. Ketika norma dan kesopanan mulai dianggap "kolot", kita tak hanya kehilangan budaya, tapi juga wibawa sosial. Fenomena sound horeg adalah bukti bahwa ruang publik telah diubah menjadi panggung impuls, bukan ruang ekspresi intelektual atau budaya.
Jalanan Rusak, Telinga Remuk, Warga Mengeluh
Bayangkan Anda tinggal di pinggir jalan utama. Pagi ingin istirahat, malam ingin tenang. Tapi tiba-tiba, ada karnaval dadakan lewat. Speaker menggema, tiang listrik goyah, dan gapura depan rumah roboh karena goyang bass. Selamat datang di era sound horeg, di mana “suara” lebih penting daripada “suara hati warga”.
Laporan warga Kota Malang menyebutkan banyak fasilitas umum rusak. Tiang listrik patah, rumah bergetar, dan beberapa bahkan retak akibat getaran bass yang seharusnya dipakai di konser Metallica, bukan di perempatan desa. Ini bukan hiburan, ini gempa mini berseri.
Lebih mengerikan lagi, kerusakan tak hanya fisik, tapi juga sosial. Kegiatan sound horeg seringkali memicu keributan, gesekan antarkelompok, bahkan tawuran. Dulu, tawuran antar pemuda bisa dipicu rebutan gebetan. Sekarang? Dipicu rebutan colokan listrik.
Banks & Fink (2022) menunjukkan bahwa kebisingan ekstrem dapat meningkatkan hormon stres. Jika terus-menerus terpapar, masyarakat bisa mengalami depresi ringan hingga berat, hipertensi, dan gangguan suasana hati. Arregi et al. (2024) bahkan mengaitkan stres akibat kebisingan dengan peningkatan risiko penyakit jantung.
Jadi bukan cuma tiang listrik yang roboh. Emosi warga pun ikut runtuh.
Dari Fatwa Haram hingga Edaran Pemerintah
Ketika suara tak bisa dibungkam, maka hukum harus berbicara. Pemerintah Kota Malang lewat Wali Kota Wahyu Hidayat menyatakan bahwa sound horeg dilarang beroperasi di jalanan. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur ikut bersuara: sound horeg dinyatakan haram. Alasannya? Lebih banyak mudarat daripada manfaat.
Ini langkah yang tidak hanya normatif, tapi juga spiritual. Ketika negara dan agama bersatu melawan kebisingan, berarti masalahnya benar-benar serius. Tidak banyak fenomena di republik ini yang bisa menyatukan keduanya.
Namun, pelarangan ini tidak cukup jika tidak diikuti penegakan tegas. Banyak pelaku sound horeg justru “main kucing-kucingan” dengan aparat. Bahkan ada yang terang-terangan menyuap demi mendapat izin dadakan. Padahal dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa kegiatan yang menghasilkan polusi suara berlebihan harus dikendalikan.
Mungkin perlu pendekatan yang lebih kreatif. Misalnya, razia sound horeg bisa dikemas jadi reality show ala NET TV. Judulnya: “Bukan Goyang Biasa”. Tayang setiap malam Jumat, dibintangi Satpol PP dan warga yang terbangun karena remix dangdut pukul 3 pagi.
Ketika Kita Lebih Takut Sepi daripada Tuli
Kita hidup di era di mana keheningan dianggap kutukan. Diam itu sunyi, dan sunyi itu menakutkan. Maka, segala sesuatu harus dibuat bising. Dari televisi, TikTok, sampai jalanan. Bahkan hiburan pun harus "menggelegar", seolah kedalaman hanya bisa diukur dari tingginya volume.
Fenomena sound horeg adalah refleksi dari kegagapan budaya kita. Kita menyukai kegembiraan instan, tapi lupa bahwa kegembiraan sejati tidak pernah mengganggu orang lain. Kita ingin berekspresi, tapi lupa bahwa ruang publik adalah milik bersama, bukan panggung pribadi.
Dalam konteks ini, pelarangan bukanlah bentuk penindasan terhadap kreativitas, tapi penyelamatan terhadap norma dan kesehatan publik. Kreativitas seharusnya menciptakan ruang dialog, bukan ruang denging.
Mungkin sudah saatnya kita menciptakan festival jalanan yang tetap meriah tanpa merusak pendengaran. Mungkin, sudah saatnya masyarakat desa menciptakan “Sound Budaya”—bukan “Sound Horeg”—yang mendidik, membanggakan, dan tetap keren. Karena sejatinya, budaya itu tidak harus keras untuk bisa didengar.
Baca Juga
-
Ranking Global Naik, Etika Terjun: Potret Buram Kampus Indonesia
-
Cuaca Tak Bisa Diprediksi: Kemarau Basah, Petani Terjepit
-
Uang, Udara, dan Jalan Raya: Mengurai Tantangan Dekarbonisasi Transportasi
-
Adipura Berubah Haluan: Dari Simbol Prestise Jadi Senjata Anggaran
-
BPJS Kesehatan Pangkas 21 Layanan: Efisiensi Anggaran atau Eliminasi Hak Rakyat?
Artikel Terkait
-
Uniknya Mas Kawin Putra Deddy Mulyadi, hingga Ketua RT Gen Z Viral Perbaiki Jalan
-
Buntut Kericuhan Karnaval, Polresta Malang Kota Resmi Haramkan Sound Horeg di Wilayahnya
-
Fatwa Haram Sound Horeg; Bentuk 'Tamparan' untuk Pemerintah yang Absen
-
Cak Imin Tanggapi Fatwa Haram Sound Horeg: Bantu Ekonomi Boleh, Bikin Ricuh Jangan
-
Menolak Difatwa Haram oleh MUI, Sound Horeg Dipasang LED Halal
Kolom
-
Aksi Sosial atau Ajang Branding? Menelisik Motif di Balik Amal Publik
-
Tarif Nol, Kedaulatan Hilang: Dilema Tembaga dalam Perjanjian Indonesia-AS
-
Gadget di Sekolah: Ancaman atau Alat Bantu Belajar?
-
Futsal: Metafora Ruang Batin Manusia
-
Amal Tanpa Akar: Kritik terhadap Aksi Sosial Tanpa Dampak Berkelanjutan
Terkini
-
Ulasan Novel The Princes Escape: Terkadang Kuat Tak Harus Berdiri Tegak
-
Bertemu Irak dan Arab Saudi, Ini Peluang Indonesia ke Piala Dunia 2026
-
Sinopsis Film Tanvi The Great, Dibintangi Shubhangi Dutt dan Anupam Kher
-
Bungkus 2 Kemenangan, namun Langkah Timnas Indonesia U-23 ke Semifinal Belum Sepenuhnya Aman
-
Diundur Lagi, Film Spider-Man: Beyond the Spider-Verse Tayang 25 Juni 2027