Pemangkasan anggaran pendidikan sebesar Rp8 triliun benar-benar jadi kabar yang mengkhawatirkan. Bagaimana tidak? Pendidikan adalah fondasi utama bagi masa depan generasi muda, tapi justru dananya yang dipangkas. Alasan efisiensi anggaran memang bisa dimengerti, tapi apakah ini langkah yang tepat?
Kebijakan ini diambil untuk mengalihkan dana ke program prioritas lain, salah satunya program makan bergizi gratis bagi siswa.
Tentu saja, memberikan makanan sehat untuk anak-anak sekolah adalah hal baik. Tidak ada yang salah dengan memastikan anak-anak Indonesia tumbuh dengan gizi yang cukup. Tapi, jika anggaran pendidikan yang dikorbankan, apakah ini keputusan yang benar-benar bijak?
Bagi sekolah-sekolah di kota besar, mungkin pemotongan ini tidak akan terlalu terasa. Tapi, bagaimana dengan sekolah di pelosok yang masih kekurangan fasilitas?
Ada sekolah yang ruang kelasnya hampir roboh, ada yang kekurangan buku, ada pula yang siswanya harus belajar bergantian karena keterbatasan ruang. Jika anggaran semakin dipangkas, mungkinkah masalah-masalah ini bisa terselesaikan?
Lalu, bagaimana dengan guru honorer? Mereka sudah lama mengabdikan diri dengan gaji yang sering kali jauh dari kata layak.
Banyak dari mereka yang bertahan bukan karena uang, tetapi karena panggilan hati untuk mendidik. Tapi, apakah kita bisa terus berharap mereka bekerja dengan semangat sementara kesejahteraan mereka tidak kunjung diperhatikan?
Guru yang sudah merasa terbebani bisa semakin kehilangan motivasi. Siswa yang seharusnya mendapat fasilitas belajar yang layak malah harus berjuang lebih keras hanya untuk mendapatkan pendidikan dasar.
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah diwajibkan mengalokasikan minimal 20% APBN untuk pendidikan. Jika anggaran ini dipotong, apakah masih bisa dijamin bahwa pendidikan tetap jadi prioritas?
Pendidikan bukan sekadar angka di atas kertas, tapi tentang bagaimana masa depan anak-anak bangsa dipersiapkan. Kalau sekarang kita mengabaikannya, dampaknya baru akan terasa bertahun-tahun ke depan, saat generasi muda tumbuh tanpa bekal yang cukup untuk bersaing di dunia yang semakin kompetitif.
Keputusan mengalokasikan anggaran memang selalu penuh pertimbangan, tapi seharusnya pendidikan tidak menjadi sektor yang dikorbankan begitu saja.
Kalau memang benar ingin membangun generasi yang lebih baik, maka langkah pertama bukan hanya memberi makan bergizi secara gratis, tetapi juga memastikan mereka mendapat pendidikan yang layak dan berkualitas.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ketika Pekerjaan Sulit Dicari, tapi Janji Politik Mudah Diberi
-
Review Novel 'Kotak Pandora': Saat Hidup Hanya soal Bertahan
-
Review Novel 'Totto-chan': Bukan Sekolah Biasa, Tapi Rumah Kedua Anak-anak
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
Artikel Terkait
-
Apakah Benar Puasa 2025 Libur Sekolah 1 Bulan Penuh? Ini Aturan Terbarunya!
-
Tips Menyiapkan Biaya Pendidikan Anak Tanpa Beban Finansial
-
Genosida Israel Lumpuhkan Pendidikan Gaza: 85% Sekolah Hancur, 1.200 Mahasiswa Tewas
-
Soal Kisruh SNBP, Sufmi Dasco Ahmad: Komisi X Siap Panggil Menteri Pendidikan
-
Cek Kesehatan Gratis Kado Ulang Tahun Dimulai 10 Februari 2025
Kolom
-
Malam Tanpa Layar! Seni Menjaga Kesehatan Tidur di Era Digital
-
Femisida dan Tantangan Penegakan Hukum yang Responsif Gender di Indonesia
-
Media Lokal Sudah Badai Selama 10 Tahun Terakhir dan Tak Ada yang Peduli
-
Saat Buku Tak Bisa Dibaca: Akses Literasi yang Masih Abai pada Disabilitas
-
Sama-Sama Pekerja Gig, Kok Driver Ojol Lebih Berani daripada Freelancer?
Terkini
-
Rilis Teaser, Film The Thursday Murder Club Kisahkan Para Lansia Pemecah Misteri
-
Cho Yi Hyun Menjalani Kehidupan Ganda di Drama Korea Head over Heels
-
Lee Jung Jae Gandeng Studio Inggris untuk Proyek Film Spy Bertema K-Pop
-
Antony Starr Tak Habis Pikir Homelander Jadi Karakter yang Disukai Penggemar
-
BoA Resmi Comeback Lewat Lagu Jepang Terbaru Bertajuk Young & Free