Pada hari Senin, (17/2/2025), ribuan mahasiswa turun ke jalan, memulai protes kebijakan pemerintah yang mereka anggap kontradiktif—pemerintah mengklaim berusaha menghemat anggaran, namun di sisi lain, birokrasi semakin membesar.
Salah satu isu utama dalam demonstrasi tersebut adalah paradoks yang semakin terasa: pengurangan anggaran sektor-sektor publik diikuti dengan pembengkakan jumlah kementerian dan pejabat.
Tak hanya soal penghematan, mahasiswa merasa ada ironi yang harus disoroti di tengah kebijakan penghematan yang tampaknya lebih fokus pada pencitraan ketimbang perbaikan struktur pemerintahan yang ada.
Dilansir suara.com, sejak awal tahun, pemerintah telah mengumumkan rencana efisiensi anggaran yang mencakup pemangkasan lebih dari Rp306,69 triliun. Langkah ini diambil untuk merespons defisit anggaran negara yang membengkak, serta kebutuhan akan efisiensi dalam pengelolaan keuangan.
Namun, di tengah kebijakan tersebut, satu hal yang tampaknya tak sejalan: pembentukan kabinet besar dengan 48 menteri, 5 kepala badan, dan 59 wakil menteri.
Kabinet ini membuat jumlah pejabat yang harus dibayar bertambah, sementara sektor-sektor vital yang seharusnya lebih diprioritaskan, seperti pendidikan dan kesehatan, justru mendapatkan porsi anggaran yang lebih sedikit.
Salah satu tuntutan mahasiswa dalam aksi protes ini adalah agar pemerintah menyeimbangkan efisiensi anggaran dengan pengurangan birokrasi yang semakin gemuk.
Mereka mengkritik bagaimana upaya untuk menekan anggaran negara malah membebani rakyat dengan beban tambahan, seperti penambahan jumlah pejabat yang tidak berdampak signifikan pada peningkatan kualitas pelayanan publik.
Di saat pemerintah mengklaim ingin efisien, kenyataannya malah semakin banyak birokrat yang harus digaji dan semakin banyak program yang tidak cukup relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Apakah pemerintah sengaja mengabaikan realitas ini? Atau, adakah niatan untuk memperlihatkan kepada dunia luar bahwa kabinet yang besar menunjukkan komitmen serius terhadap banyaknya sektor yang ingin diperhatikan?
Faktanya, setiap pejabat baru membutuhkan anggaran yang tidak sedikit—dari gaji hingga fasilitas operasional, dan ini mengurangi kapasitas untuk pengembangan infrastruktur atau program yang benar-benar bermanfaat untuk masyarakat.
Mahasiswa menuntut transparansi dan konsistensi dalam kebijakan. Efisiensi anggaran tidak hanya berarti memotong belanja negara, tetapi juga harus merampingkan birokrasi yang justru memperbesar beban pengeluaran negara.
Pemangkasan anggaran seharusnya tidak disertai dengan penambahan struktur yang tidak perlu. Kebijakan yang lebih bijak adalah memperbaiki kualitas birokrasi dan mengoptimalkan penggunaan anggaran untuk program-program yang berdampak langsung pada rakyat, bukan sekadar untuk menjaga kepentingan politik atau menjaga citra pemerintahan.
Pada akhirnya, paradoks antara efisiensi anggaran dan pembengkakan birokrasi ini menunjukkan satu hal yang lebih mendalam: pemerintahan yang ingin terlihat efisien tetapi tetap terjebak dalam kebiasaan menambah jumlah pejabat.
Solusi sejati bukan hanya soal mengurangi anggaran, melainkan juga merampingkan birokrasi yang kerap memakan biaya besar.
Kita harus bisa melihat dari sudut pandang yang lebih luas, bahwa efisiensi anggaran yang sebenarnya tidak hanya berfokus pada pemangkasan, tetapi juga pada perampingan birokrasi yang menguntungkan masyarakat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
3 Moisturizer Lokal dengan Panthenol, Andalan untuk Skin Barrier Kuat!
-
4 Serum dengan Tranexamic Acid untuk Warna Kulit Lebih Merata, Wajib Coba!
-
Menggali Kedalaman Mental dan Krisis Eksistensial di Novel 'The Bell Jar'
-
Saat Rasa Bersalah Jadi Hukuman: Review Novel 'Kejahatan dan Hukuman'
-
4 Pilihan Masker dengan Ekstrak Air Beras, Kulit Lebih Kenyal dan Sehat!
Artikel Terkait
-
Desak Pemerintah Serius Sikat Mafia Impor Tekstil, DPR: Regulasi dan Penegakan Hukum Harus Diperkuat
-
Raffi Ahmad Dukung Seruan 'Kabur Aja Dulu', Tapi...
-
Ironi Retreat Kepala Daerah: Minim Manfaat di Tengah Efisiensi Anggaran
-
Heboh Tagar Indonesia Gelap, Luhut: Kau yang Gelap!
-
Mendiktisaintek Tegaskan Efisiensi Anggaran Tak Ganggu KIP Kuliah, UKT Dipastikan Tidak Naik
Kolom
-
Tak Sekadar Tontonan, Ternyata Penulis Bisa Banyak Belajar dari Drama Korea
-
Gelombang Protes Indonesia Gelap: Suara Mahasiswa untuk Perubahan
-
#IndonesiaGelap: Ketika Pendidikan Tak Lagi Jadi Prioritas
-
Turun Temurun, Perempuan Adalah Makhluk 'Karubyung Kabotan Pinjung Sarwa'!
-
Fenomena Tagar Kabur Aja Dulu: Eksodus Muda Indonesia dan Dilema Nasionalisme
Terkini
-
Timnas Indonesia Kemas Satu Poin Pertama dan Terakhir di Piala Asia U-20
-
Seo Kang Joon Jalani Kehidupan Ganda di Drama 'Undercover High School'
-
Sinopsis Yukite Kaheranu, Film Romantis Jepang yang Dibintangi Suzu Hirose
-
Media Asing Sebut Hasil Imbang Lawan Yaman Jadi Kado Kecil bagi Indonesia
-
BLACKPINK Umumkan Jadwal dan Kota Tujuan untuk World Tour 2025