Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rizky Pratama Riyanto
Ilustrasi Mengerjakan PR (Unsplash/Annie Spratt)

Mulai tahun ajaran baru Juli 2025, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi resmi menghapus tugas pekerjaan rumah (PR) bagi siswa di sekolah. Ia mengatakan siswa di rumah perlu fokus untuk membantu orang tua di rumah dengan meringankan bebannya, mengembangkan keterampilan siswa di Jawa Barat melalui les bernyanyi, bermain musik, dan lain sebagainya. 

Menurut Dedi, pekerjaan sekolah dikerjakan di sekolah bukan di rumah. Namun, hal ini menjadi kontroversi di tengah perbincangan dunia maya di mana menurut persepsi orang tua yang beredar di media sosial mengatakan bahwa siswa saat di sekolah sering kali tidak serius, sering jam kosong, dan kadang guru jarang masuk ke dalam kelas, apalagi tidak diberikan PR oleh guru makin bebas dalam bersekolah.

Ada pula yang mengatakan justru dengan adanya pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru dapat membuat siswa bisa membantu untuk mengingat pembelajaran yang telah diajarkan setelah pulang sekolah.

Misalnya, pembelajaran Matematika di sekolah membuat siswa masih belum paham, tetapi jika diberikan pekerjaan rumah bisa membuat siswa berpikir di rumah bagaimana cara memecahkannya sehingga bisa memberikan pemahaman akan materi yang diajarkan.

Kebijakan ini juga secara tidak langsung mendukung hak anak yaitu salah satunya bermain. Jika melihat di era pendidikan saat ini, siswa lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah dibandingkan di rumah.

Dalam rentang waktu pada pukul 12.00 WIB - 16.00 WIB di setiap harinya, siswa baru saja pulang dari sekolah. Maka mereka hanya memiliki waktu 5 jam untuk berada di rumah dan dilanjutkan beristirahat, bahkan mungkin ada yang melaksanakan les atau bimbel tambahan setelahnya. 

Bermain yang dimaksud di sini adalah memberikan waktu untuk beristirahat sejenak sambil melakukan kegiatan menyenangkan, melakukan eksplorasi, berekreasi dan menjadi ajang untuk mengekspresikan diri. Hasil dari bermain tersebut merupakan bentuk untuk menyalurkan hobi dan keterampilan agar menjadi pelajar yang berprestasi. Bukanlah bermain yang tidak berguna seperti keluyuran di malam hari, melakukan tawuran, dan berbagai perilaku yang tidak mencerminkan perilaku pelajar.

Pandangan yang muncul di kalangan masyarakat mengenai aktivitas belajar di sekolah yang seakan-akan bebas perlu diperhatikan oleh pemerintah. Sistem kegiatan belajar mengajar sangat penting untuk dikoreksi dan diubah menjadi lebih efektif dan efisien ke depannya, sehingga siswa benar-benar fokus belajar di sekolah.

Guru seharusnya menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya yaitu mengajar. Pemerintah perlu memperhatikan setiap sekolah selama kegiatan belajar mengajar apakah berjalan dengan sesuai atau tidak. Harapannya dapat dilakukan pengecekan mengenai kualitas mengajar dan belajar di kelas. 

Kebijakan Gubernur Jawa Barat yang menghapus pekerjaan rumah (PR) bagi siswa menuai pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini bertujuan agar siswa dapat lebih fokus membantu orang tua dan mengembangkan keterampilan di luar sekolah, sekaligus mendukung hak anak untuk bermain dan beristirahat.

Namun di sisi lain, banyak orang tua khawatir hal ini justru membuat siswa menjadi kurang bertanggung jawab dalam belajar, apalagi jika kegiatan belajar di sekolah masih belum optimal karena jam kosong atau guru yang jarang hadir.

Oleh karena itu, perlu ada evaluasi dan pengawasan ketat dari pemerintah terhadap proses belajar-mengajar di sekolah agar kebijakan ini tidak disalahartikan dan tujuan utamanya, yaitu peningkatan kualitas pendidikan serta kesejahteraan siswa dapat tercapai.

Orang tua juga diimbau senantiasa memantau aktivitas anaknya setiap pulang sekolah agar tidak terlibat dengan perilaku kenakalan remaja yang berefek buruk. Penting untuk saling menjaga bersama-sama dan melindungi dari setiap perbuatan kejahatan yang merugikan para pelajar. 

Rizky Pratama Riyanto