Terkadang, ide terbaik lahir dari keisengan. Itulah yang terjadi pada Rachmat Kurniawan Idham dan Azyd Aqsha Madani, dua sineas muda Indonesia yang awalnya hanya ingin membuat dokumenter sederhana. Tanpa disangka, proyek kecil mereka yang diberi judul: The Atlantis Mussels justru membawa mereka melangkah ke salah satu panggung film paling prestisius di dunia, yaitu Festival Film Cannes.
Film dokumenter ini mengangkat kisah komunitas pesisir di Jakarta Utara yang menghadapi ancaman penurunan tanah akibat perubahan iklim. Dalam keterbatasan sumber daya, mereka menemukan solusi kreatif dengan menggunakan cangkang kerang hijau untuk meninggikan permukaan tanah. Sebuah ide yang sederhana, tapi memiliki dampak besar bagi kehidupan mereka.
Dari proyek yang hanya dikerjakan dalam hitungan hari, The Atlantis Mussels sukses memenangkan Best ShortDoc Award di Megacities-ShortDocs Film Festival 2024, yang akhirnya membawa film ini diputar di Cannes. Kisahnya membuktikan bahwa terkadang, langkah kecil yang diambil dengan tekad dan kreativitas bisa membawa seseorang jauh lebih dari yang dibayangkan.
Begitulah. Banyak orang menganggap, untuk bisa membuat film yang sukses, dibutuhkan anggaran besar, kru yang banyak, dan waktu produksi yang panjang. Namun, Rachmat dan timnya membuktikan, yang terpenting bukanlah skala produksinya, melainkan kekuatan cerita yang disampaikan.
Awalnya, ‘The Atlantis Mussels’ dibuat tanpa target besar. Proyek ini hanya berangkat dari keinginan untuk bercerita tentang sesuatu yang bermakna. Dengan peralatan seadanya, mereka mendokumentasikan perjuangan masyarakat pesisir yang menghadapi dampak perubahan iklim. Nggak disangka, film ini justru mencuri perhatian juri festival dan akhirnya mendapatkan penghargaan.
Kisah ini mengingatkan kita pada beberapa sineas besar dunia yang juga memulai karir mereka dari proyek sederhana. Misalnya, Christopher Nolan yang membuat film pertamanya, ‘Following’ (1998), hanya dengan kamera murah dan teman-teman sebagai pemain. Atau Richard Linklater dengan ‘Slacker’ (1990) yang dibuat dengan dana minimal tapi berhasil membangun karirnya di industri film.
Pelajaran dari kisah Rachmat? Jangan pernah meremehkan ide sederhana. Kalau punya sesuatu untuk diceritakan, buat saja. Bisa jadi, langkah kecil itu akan membawamu ke tempat yang nggak pernah terbayangkan sebelumnya.
Tag
Baca Juga
-
Review Film Believe: Kobaran Cinta Tanah Air
-
Review Film Apocalypse in the Tropics: Gelapnya Demokrasi yang Terancam
-
Review Film Dont Lets Go to the Dogs Tonight: Hidup di Tengah Peperangan
-
Review Film Three Kilometres to the End of the World: Potret Aib Terpilu
-
Review Film Saint Clare: Niat Jadi Horor Ilahi, Hasilnya Malah Sesat
Artikel Terkait
-
Resmi Ditutup, JAFF 2024 Menjadi yang Terbesar dengan 24 Ribu Pengunjung dalam Seminggu!
-
Trauma dan Keluarga: "Mungkin Kita Perlu Waktu" Singkap Apa yang Tak Mudah Diucap oleh Kata
-
Pendaftaran Bali International Film Festival 2025 Resmi Dibuka, Begini Cara Ikut Kompetisinya
-
Perjalanan Karier Prilly Latuconsina, Dari Ganteng-Ganteng Serigala hingga Raih Piala Citra
-
Perayaan Kreativitas: Alternativa Film Awards & Festival 2024 Dibuka Bersama Refleksi Hak-Hak Disabilitas
Kolom
-
Menari Bersama Keberagaman: Seni Pembelajaran Diferensiasi di Kelas Modern
-
Koperasi Merah Putih: Antara Harapan dan Ancaman Pemborosan Dana Rakyat
-
Tugas dan Status: Membedah Jebakan Ganda yang Menguras Mental Pelajar
-
Gaji UMR, Inflasi Gila-gilaan: Mimpi Kemapanan Generasi Z yang Terjegal
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
Terkini
-
Pol Espargaro Komentari Performa Pecco Bagnaia: Dia Terlihat Tidak Nyaman
-
Menang Telak Lawan Arema, Performa Persija Jakarta Lampaui Ekspektasi
-
Ulasan Buku Cantik itu Ejaannya Bukan Kurus: Kiat Pede Meski Bertubuh Gemuk
-
Ulasan Novel A Man: Mengungkap Identitas Kasus Kematian Palsu
-
Ulasan Novel Heart Block: Membiarkan Perasaan Datang secara Alami