Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Alfino Hatta
Ilustrasi anak-anak yang sedang bermain. (unsplash.com/@warungkangabuy1970)

Di era digital yang semakin terhubung, internet bukan lagi sekadar alat, melainkan fondasi bagi hampir semua aspek kehidupan. Bagi anak-anak dan remaja, dunia maya adalah ruang belajar, bermain, bersosialisasi, dan mengekspresikan diri.

Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, tantangan besar muncul: bagaimana memastikan generasi muda tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi pengguna cerdas yang mampu memanfaatkan teknologi untuk masa depan yang lebih baik?

Artikel ini mengupas urgensi literasi digital bagi anak-anak, dampak paradoks penggunaan internet, serta strategi kolaboratif untuk membangun generasi yang tangguh di era digital.

Tingginya Penggunaan Internet di Kalangan Anak-anak: Antara Peluang dan Risiko

Berdasarkan data Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2022, Indonesia memiliki 210 juta pengguna internet, dengan 62,43% anak usia 5-12 tahun dan 99,16% remaja 13-18 tahun aktif mengaksesnya. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan penetrasi internet tertinggi di Asia Tenggara. Sayangnya, akses yang luas ini tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai tentang cara menggunakan teknologi secara bijak.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, menegaskan bahwa anak-anak kini menghadapi tantangan unik yang tidak dialami generasi sebelumnya. "Dunia digital adalah double-edged sword. Di satu sisi, ia membuka akses ke ilmu pengetahuan dan inovasi, tetapi di sisi lain, ia rentan dimanipulasi oleh konten negatif, hoaks, dan kejahatan siber," ujarnya dalam Festival Literasi Digital Hari Anak Nasional 2023 di Jakarta (28/7/2023).

Bagaimana Anak Menggunakan Internet?

  • Hiburan: Menurut survei SIBERKREASI (2023), 70% anak usia 10-14 tahun menggunakan internet untuk menonton video di YouTube, TikTok, atau Instagram.
  • Pembelajaran: Platform seperti Ruangguru, Zenius, dan Khan Academy menjadi andalan, terutama pasca-pandemi.
  • Sosialisasi: Media sosial dan game online seperti Mobile Legends atau PUBG kerap menjadi sarana interaksi dengan teman.

Namun, kurangnya literasi digital membuat banyak anak terjebak dalam pola penggunaan yang tidak sehat, seperti kecanduan game, paparan konten kekerasan, atau bahkan eksploitasi data pribadi.

Paradoks Digital: Antara Kebutuhan Informasi dan Rendahnya Minat Baca

Meski akses internet melonjak, literasi baca-tulis justru stagnan. Data Kemenkominfo (2022) menunjukkan bahwa literasi digital Indonesia hanya naik 0,05 poin (dari 3,49 ke 3,54 dalam skala 1-5), sementara Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) pada kelompok usia 5-24 tahun masih di bawah 60 poin.

Mengapa Anak Lebih Memilih Konten Visual daripada Teks?

1. Desain Platform Digital

Algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten visual yang cepat dan menghibur, seperti video pendek atau gambar, yang lebih mudah dicerna daripada teks panjang.

2. Kurangnya Kebiasaan Membaca sejak Dini

Survei UNESCO (2021) mencatat bahwa hanya 1 dari 3 anak Indonesia yang terbiasa membaca buku non-pelajaran selama 30 menit per hari.

3. Pola Asuh dan Lingkungan

Orang tua yang kurang memberikan contoh membaca atau sibuk dengan gawai mereka sendiri turut berkontribusi pada rendahnya minat baca anak.

Dampak Negatif Rendahnya Literasi Baca-Tulis:

  • Rentan terhadap Hoaks: Anak sulit membedakan fakta dan opini karena kurang terbiasa menganalisis teks.
  • Keterampilan Komunikasi Lemah: Ketergantungan pada bahasa singkat (seperti chat atau emoji) mengurangi kemampuan menulis dan berbicara formal.
  • Keterbatasan dalam Berpikir Kritis: Minimnya kebiasaan membaca menghambat perkembangan logika dan pemecahan masalah.

Peran Orang Tua: Dari Pengawas Menjadi Teman Belajar

Orang tua sering kali hanya membatasi screen time tanpa memberikan arahan konstruktif. Padahal, pendampingan aktif jauh lebih efektif.

Strategi Orang Tua untuk Meningkatkan Literasi Digital Anak:

1. Co-Viewing (Menonton Bersama): 

Tonton video atau baca artikel bersama anak, lalu diskusikan kontennya. Misalnya, tanyakan, "Apa pesan utama dari video ini?" atau "Bagaimana jika informasi ini tidak benar?"

2. Membangun Kebiasaan Membaca Digital:

Perkenalkan aplikasi bacaan interaktif seperti Epic! atau iJakarta yang menyediakan buku digital dengan ilustrasi menarik.

3. Menggunakan Teknologi sebagai Alat Kreatif:

 Ajak anak membuat konten positif, seperti blog, vlog, atau proyek desain grafis, untuk melatih keterampilan digital sekaligus kreativitas.

Contoh Kasus: Keluarga di Korea Selatan menggunakan aplikasi "Reading Bear" untuk membangun kebiasaan membaca sejak dini. Hasilnya, anak-anak tidak hanya mahir teknologi tetapi juga memiliki kemampuan literasi yang tinggi (Studi Korean Education Development Institute, 2022).

Peran Sekolah: Integrasi Literasi Digital dalam Kurikulum

Sekolah harus menjadi garda terdepan dalam mempersiapkan siswa menghadapi dunia digital. Sayangnya, kurikulum pendidikan di Indonesia masih terfokus pada konten teoritis, alih-alih keterampilan praktis seperti literasi digital.

Mata Pelajaran yang Perlu Diperkuat:

1. Etika Digital:

Mengajarkan cyber ethics, seperti tidak menyebarkan hoaks, menghargai hak cipta, dan berempati di media sosial.

2. Keamanan Siber:

Simulasi penggunaan kata sandi kuat, mengenali phishing, dan melindungi data pribadi.

3. Kreativitas Digital:

Pelajaran coding, desain grafis, atau manajemen konten untuk menyiapkan siswa di era ekonomi digital.

Program Inspiratif:

  • "Digital Citizenship" di Finlandia: Siswa diajarkan cara menggunakan internet secara bertanggung jawab sejak SD.
  • "Cyber Wellness" di Singapura: Kurikulum wajib yang membahas risiko dunia maya dan solusi menghadapinya.

Kolaborasi Multisektor: Kunci Sukses Literasi Digital

Tidak ada pihak yang bisa bekerja sendirian. Pemerintah, swasta, komunitas, dan keluarga harus bersinergi untuk menciptakan ekosistem digital yang aman bagi anak.

Inisiatif yang Bisa Dicontoh:

1. Kebijakan Pemerintah:

  • Regulasi tentang perlindungan data anak, seperti UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) yang mulai berlaku 2024.
  • Program "Indonesia Makin Cakap Digital" oleh Kemenkominfo, yang menargetkan pelatihan literasi digital untuk 50 juta warga hingga 2024.

2. Peran Swasta:

Platform seperti Gojek dan Tokopedia menyediakan modul literasi digital untuk UMKM, termasuk remaja yang ingin berwirausaha.

3. Komunitas:

Gerakan SIBERKREASI yang melibatkan 1.000+ relawan untuk menyebarkan edukasi digital ke daerah terpencil.

Masa Depan yang Dibangun oleh Generasi Cakap Digital

Dengan literasi digital yang memadai, anak-anak tidak hanya terhindar dari risiko dunia maya, tetapi juga siap memimpin inovasi di masa depan. World Economic Forum (2023) memprediksi bahwa 65% pekerjaan di masa depan membutuhkan keterampilan digital, seperti analisis data, AI, dan cybersecurity.

Apa yang Bisa Dilakukan Anak dengan Literasi Digital?

  • Menjadi Kreator Konten Positif: Seperti Naura, selebgram cilik yang membagikan tips belajar sains melalui Instagram.
  • Mengembangkan Startup Sosial: Contohnya "Sampah Kreatif", platform daur ulang yang didirikan remaja Surabaya.
  • Menjadi Duta Antihoaks: Seperti komunitas "Muda Cerdas Digital" yang melatih remaja memverifikasi informasi.

Literasi digital bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak. Anak-anak yang dibekali literasi digital akan tumbuh menjadi generasi yang kritis, kreatif, dan adaptif, siap menghadapi tantangan global seperti revolusi industri 4.0, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi.

Seruan untuk Semua Pihak:

  • Orang Tua: Jadilah contoh penggunaan teknologi yang bijak.
  • Sekolah: Integrasikan literasi digital ke dalam semua mata pelajaran.
  • Pemerintah: Perkuat regulasi dan infrastruktur pendukung.

Dengan kolaborasi ini, Indonesia bisa melahirkan generasi yang tidak hanya "melek teknologi", tetapi juga memanfaatkannya untuk kebaikan bersama.

Alfino Hatta