Ramadan selalu menjadi bulan yang paling dinanti oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Banyak orang antusias menyambut dan merayakan kedatangan bulan suci penuh berkah ini dengan berbagai cara. Terlebih di Indonesia yang penuh dengan keberagaman, tradisi menyambut Ramadan tentu berbeda di setiap daerah.
Perbedaan ini menunjukkan kebersamaan dan kekayaan budaya di Indonesia, meskipun tak jarang menimbulkan perdebatan. Di sisi lain, muncul pertanyaan: apakah euforia dalam merayakan Ramadan justru menggeser makna utamanya?
Di banyak daerah, Ramadan tidak hanya identik dengan ibadah, tetapi juga dengan kemeriahan. Pawai obor, pasar malam, hingga tradisi mandi besar menjelang puasa seperti balimau di Sumatera Barat, menjadi agenda tahunan yang tidak boleh dilewatkan. Sering kali, acara seperti ini lebih terasa seperti festival ketimbang momen menyambut bulan suci.
Contohnya tradisi Dandangan di Kudus, yang semula merupakan tradisi menyambut Ramadan dengan pengumuman resmi awal puasa. Kini, dandangan berubah menjadi pasar malam besar dengan berbagai hiburan, dagangan, dan bahkan konser musik.
Bukannya mempersiapkan diri untuk meningkatkan ibadah, justru lebih banyak orang yang sibuk berbelanja dan menikmati keramaian.
Selain itu, ada buka puasa bersama atau yang lebih dikenal dengan bukber yang juga menjadi tradisi yang sulit dilepaskan dari Ramadan. Mulai dari acara keluarga, alumni sekolah, hingga pertemuan kolega di kantor, bukber kerap kali dijadikan momen untuk bersilaturahmi.
Namun, tidak jarang acara buka puasa bersama juga kehilangan esensinya. Banyak orang menerima undangan bukber hanya karena takut dianggap tidak ikut pergaulan.
Bahkan, sering kali yang terjadi justru bukan menikmati kebersamaan Ramadan, melainkan fokus mengabadikan momen dengan foto dan video untuk kepentingan konten media sosial.
Bukan berarti kita harus meninggalkan tradisi. Tidak ada yang salah dengan tradisi selama bulan Ramadan. Justru, budaya-budaya tersebut menunjukkan keberagaman cara umat Islam di Indonesia dalam menyambut bulan suci.
Namun, penting untuk mempertanyakan apakah tradisi ini masih selaras dengan makna Ramadan atau tidak? Tradisi membuat Ramadan terasa lebih istimewa, tetapi jangan sampai kemeriahan mengambil alih makna sejatinya—karena yang terpenting bukan sekadar perayaan, melainkan peningkatan kualitas ibadah dan kepedulian terhadap sesama.
Tidak salah menikmati kemeriahan Ramadan, tetapi kita juga harus memastikan bahwa ibadah tetap menjadi prioritas utama.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Setahun Menghela Napas: Mengapa 2025 Terasa Lebih Melelahkan?
-
Internet Cepat, Nalar Lambat: Urgensi Literasi Kritis di Era Digital
-
Harapan di Ujung Tahun: Apa yang Masih Bisa Diselamatkan dari Indonesia?
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
Belajar dari Pembubaran Diskusi Reset Indonesia: Mengapa Ruang Diskusi Perlu Dilindungi
Artikel Terkait
-
Hubungannya Lengket, Aldi Taher Sering Ditangisi Anak Saat Kerja
-
Pemain Jepang Anggap Timnas Indonesia Ancaman di Kualifikasi Piala Dunia 2026
-
Yamaha Kembali Sajikan Dealer dengan Konsep Premium, Manjakan Konsumen Kota Kembang
-
Resmi Jadi WNI, Emil Audero Disentil Netizen soal Perkataan Ayahnya
-
Agar Ibadah Ramadan Lancar, Begini Cara Menjaga Kesehatan Tulang, Sendi, dan Otot
Kolom
-
Jebakan Euforia Kolektif: Menelaah Akar Psikologis Perayaan Tahun Baru yang Merusak
-
Antara Sumpah 'Rela Mati' Prabowo dan Kepungan Sengkuni Modern
-
Nasib Generasi Sandwich: Roti Tawar yang Kehilangan Cita-Cita
-
Di Balik Kilau Kembang Api: Psikologi Normalisasi Polusi dalam Perayaan
-
Bukan Sekadar Resolusi: Tahun Baru sebagai Ruang Belajar dan Resiliensi
Terkini
-
John Herdman Dibayar Rp670 Juta per Bulan, PSSI Dapatkan Kualitas dengan Harga Miring?
-
Xiaomi 17 Ultra Ludes di China, Harga Naik Tinggi di Pasar Sekunder
-
Review Serial Plur1bus: Wabah Kebahagiaan Paksa Karya Kreator Breaking Bad
-
CERPEN: Sebuah Panduan Berburu Pelangi
-
Jordi Cruyff Pilih Hengkang dari PSSI, Simon Tahamata Bakal Menyusul?