Ramadhan selalu membawa atmosfer yang berbeda. Bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang menumbuhkan kepekaan terhadap sesama.
Di bulan ini, semangat berbagi terasa lebih nyata. Banyak orang turun ke jalan membagikan takjil, ikut serta dalam kegiatan sosial, atau menjadi relawan untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Ada kepuasan tersendiri saat melihat senyum orang lain karena bantuan kecil yang kita berikan. Namun, pernahkah terpikir mengapa membantu orang lain bisa memberikan rasa bahagia?
Secara ilmiah, ada penjelasan di balik fenomena ini. Berdasarkan salah satu jurnal yang diterbitkan oleh journal.maranatha.edu, kegiatan menolong orang lain dapat meningkatkan kesejahteraan mental dan menurunkan tingkat stres.
Ketika kita melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain, otak melepaskan hormon endorfin—hormon yang juga muncul saat kita berolahraga atau mendapatkan hadiah. Ini menciptakan perasaan bahagia yang sering disebut sebagai helper’s high. Inilah sebabnya mengapa banyak orang merasa lebih ringan dan puas setelah terlibat dalam kegiatan sosial.
Namun, kebahagiaan dari berbagi bukan hanya berasal dari reaksi biologis semata. Ada aspek emosional yang juga ikut berperan. Saat kita membantu orang lain, kita merasakan bahwa keberadaan kita berarti.
Dalam kehidupan yang serba sibuk dan penuh tekanan, merasa dibutuhkan dan berguna bisa menjadi pengingat bahwa kita memiliki peran dalam kehidupan orang lain. Perasaan ini memperkuat keterhubungan sosial dan membuat kita merasa tidak sendirian.
Sayangnya, bagi sebagian orang, semangat berbagi ini masih bersifat musiman. Setelah Ramadhan berlalu, banyak yang kembali sibuk dengan rutinitas masing-masing dan perlahan-lahan melupakan kegiatan sosial yang sebelumnya dilakukan dengan penuh antusiasme.
Padahal, jika berbagi bisa memberikan kebahagiaan, mengapa tidak menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari?
Mengubah kebaikan menjadi gaya hidup tidak harus selalu dalam bentuk besar. Sesederhana menyisihkan sedikit waktu untuk membantu orang lain, berbicara dengan mereka yang membutuhkan teman, atau sekadar memberi apresiasi kepada orang-orang di sekitar kita juga termasuk bentuk berbagi.
Ramadhan mungkin bisa menjadi awal, tetapi kebiasaan baik ini seharusnya tidak berhenti di sini. Jika berbagi bisa membuat kita lebih bahagia dan hidup lebih berarti, bukankah itu alasan yang cukup kuat untuk terus melakukannya sepanjang tahun?
Baca Juga
-
Ketika Pekerjaan Sulit Dicari, tapi Janji Politik Mudah Diberi
-
Review Novel 'Kotak Pandora': Saat Hidup Hanya soal Bertahan
-
Review Novel 'Totto-chan': Bukan Sekolah Biasa, Tapi Rumah Kedua Anak-anak
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
Artikel Terkait
-
3 Tempat Paling Direkomendasikan untuk Berburu Takjil di Yogyakarta
-
Kapan Nuzulul Quran 2025? Berikut Amalan yang Bisa Dikerjakan
-
Patrick Kluivert Tahu Cara Bikin Pemain yang Puasa Ramadhan Gacor saat Lawan Australia dan Bahrain
-
Hukum Suntik saat Puasa Ramadhan, Batalkah?
-
Sejarah Nuzulul Quran, Kisah Seputar Turunnya Wahyu Pertama
Kolom
-
Gaslighting dan Bullying: Kombinasi Mematikan dalam Hubungan Pertemanan
-
Efisiensi yang Ditinggalkan: Paspor 5 Tahun dan Cara Berpikir Negara
-
Gerakan Ayah Ambil Rapor: Terobosan Positif atau Intervensi Berlebihan?
-
Paradoks Media Sosial: Semakin Terhubung, Semakin Merasa Kurang, Semakin Tertekan
-
Kegigihan Nelayan Pati di Balik Rasa dan Mutu Laut Terbaik
Terkini
-
Sinopsis Search for SquarePants, Petualangan SpongeBob di Laut Terdalam
-
4 Inspirasi OOTD Pakai Kemeja ala Yoriko Angeline, Simpel tapi Chic!
-
Review Film Janur Ireng: Prekuel Sewu Dino yang Lebih Kelam dan Gore!
-
Resmi Diputus Kontrak oleh PSSI, Masa Kejayaan Indra Sjafri Telah Usai?
-
Ulasan Film Forget Me Not (2015): Saat Cinta Melawan Takdir untuk Tidak Dilupakan