Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Suhendrik Nur
Ilustrasi Berpikir (Pexels: Andrea Piacquadio)

Pernah tidak, sedang asyik-asyiknya menggulir media sosial sambil melamun, lalu tiba-tiba ada yang mengunggah undangan pernikahan? Atau yang lebih parah, ada yang memamerkan foto lamaran dengan keterangan “Bismillah, Menuju Halal.” Rasanya seperti dilempar batu dari belakang lalu diberi permen setelahnya. Manis, tetapi menyakitkan. Apalagi jika tiba-tiba orang rumah seperti orang tua atau tante ikut-ikutan memperkeruh suasana dengan pertanyaan sederhana tetapi menohok, “Kapan menyusul?” Wah, ini membuat kita ingin pura-pura menghilang seperti asap rokok yang lenyap di tengah malam.

Namun, coba pikir lagi, hidup masih begini, kepikiran menikah? Duh, tidak dulu, kasihan nanti calonnya.

Bangun Kesiangan vs. Bangun Masa Depan

Dalam realitas, hal pertama yang harus diperhatikan adalah kebiasaan bangun pagi yang masih menjadi pekerjaan rumah. Masih sulit untuk meninggalkan kasur, apalagi meninggalkan kebiasaan jam karet. Bayangkan jika nanti sudah menikah, pasangan sudah berusaha menyiapkan sarapan, sesederhana membeli nasi uduk di depan gang, tetapi kita baru bangun pukul sepuluh pagi sambil masih melakukan ritual menggeliat seperti kucing. Tatapan pasangan seolah menyiratkan pesan tajam, “Bagaimana bisa membangun rumah tangga jika bangun pagi saja masih sulit seperti ini?”

Jika masih seperti ini terus, bagaimana kita mau membangun masa depan bersama? Sebelum bisa membangunkan anak untuk berangkat sekolah, mungkin kita harus belajar bangun lebih pagi untuk diri sendiri terlebih dahulu.

Dompet Kosong, Harapan Melambung

Berbicara tentang pernikahan, rasanya tidak lengkap jika tidak membahas uang. Bukan berarti kita materialistis, tetapi mari bersikap realistis. Sesederhana ingin makan siang saja masih mencari diskon di aplikasi, atau jika cara lama, bertanya kepada teman atau tetangga warung mana yang murah dengan porsi besar. Lalu, tiba-tiba harus memikirkan seserahan? Tidak mungkin, stres yang ada. Belum lagi harus memikirkan cicilan, biaya resepsi, dan kehidupan setelah menikah yang lebih dari sekadar bertukar cincin dan mendengar ucapan sah dari saksi pernikahan.

Skenario terburuknya, ketika berkunjung ke rumah calon mertua, lalu mereka dengan santai tetapi pasti bertanya, “Sekarang bekerja di mana?” Kita hanya bisa tersenyum tanpa dosa dengan sedikit keringat dingin, “Masih freelance, Om, masih proses mencari pekerjaan yang cocok dengan passion.” Seketika, tanpa banyak kata, kita disuruh pulang sebelum sempat menikmati kopi yang diseduh dengan penuh kasih sayang oleh kekasih.

Drama Lebih Rumit dari Sinetron

Hidup sendiri saja sudah penuh dengan drama. Mulai dari pekerjaan yang belum stabil, dosen pembimbing yang sulit ditemui, hingga piring kotor yang menumpuk di wastafel selama tiga hari. Menambah pasangan dalam hidup berarti menambah variabel baru dalam lika-liku kehidupan. Bayangkan jika mendapatkan pasangan yang gemar bersih-bersih, sedangkan kita masih sering malas mencuci piring. Yang ada, perang besar setiap hari.

Belum lagi harus membagi waktu antara me-time, waktu bersama pasangan, dan pekerjaan. Jika sekarang kita masih bisa bersantai seharian tanpa beban, nanti mungkin baru saja ingin rebahan sebentar, tetapi pasangan sudah mengingatkan, “Sayang, cucian mulai menumpuk, kan sekarang jadwalmu yang bersih-bersih.” Hilang sudah waktu santai kita.

Mental Masih Butuh Peningkatan

Jujur saja, mental kita masih labil, bukan? Bisa saja tanpa sadar sering baper hanya karena pesan yang tak kunjung dibalas, ngambek karena pesanan di toko daring tidak sesuai harapan, atau overthinking tengah malam karena melihat mantan sudah lebih dulu move on. Bayangkan jika sudah menikah, lalu harus menghadapi pasangan yang sedang stres bekerja atau dalam suasana hati yang buruk. Apakah kita siap? Atau justru ikut-ikutan ngambek, dan masalah semakin panjang seperti jalan tol?

Menikah bukan hanya soal cinta yang menggebu-gebu, tetapi juga kesiapan mental untuk menghadapi hari-hari bahagia maupun sulit bersama. Jika saat ini saja sudah mudah tersulut emosi hanya karena sinyal Wi-Fi lemot, mungkin lebih baik pikir ulang sebelum memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Kesimpulan: Menikah Tidak Perlu Diburu, Jalani Hidup Dulu

Kadang, kita terbawa arus sosial hingga merasa, “Kapan aku menyusul?” Padahal, menikah bukanlah perlombaan. Setiap orang memiliki waktunya sendiri, dan tidak ada yang salah dengan menikmati fase hidup saat ini tanpa terburu-buru.

Jadi, bagi yang masih berjuang dengan kehidupan sehari-hari, santai saja. Hidup masih begini, apakah ingin menambah tantangan baru? Kasihan calonnya nanti jika mendapat kita yang masih sering melamun memikirkan hidup. Jadi, daripada terburu-buru menuju pelaminan, lebih baik fokus dulu menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Siapa tahu, jodoh datang saat kita benar-benar siap.

Eh, tetapi kalau tiba-tiba ada yang mengajak serius dan bersedia membantu membayar kuota serta cicilan, boleh dipertimbangkan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Suhendrik Nur