Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Wahyu Astungkara
Ilustrasi pengisian BBM (Freepik/senivpetro)

Pagi ini, saya memutuskan untuk berjalan kaki di sekitar Wana Desa Embung Potorono, Kabupaten Bantul. Lima ribu (5000) langkah sudah terasa cukup untuk membakar sedikit kalori sembari menikmati sejuknya udara di pagi hari.

Angka lima ribu kebetulan sama dengan harga satu liter Pertalite. Sebuah kebetulan yang membuat saya tersenyum sinis, miris, dengan rasa getir di dada setelah membaca berita penangkapan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan ditetapkan sebagai tersangka korupsi tata kelola minyak mentah.

Dulu, saya merasa punya moral setinggi langit ketika memilih mengisi bahan bakar dengan Pertamax. Prinsipnya sederhana, Pertalite adalah bahan bakar minyak subsidi untuk mereka yang lebih membutuhkan. Dengan membeli Pertamax, saya merasa telah berkontribusi dalam keadilan sosial.

Namun, hari ini saya sadar bahwa semua itu mungkin hanya kebohongan belaka. Pertamax yang diklaim lebih berkualitas ternyata hanyalah bensin oplosan dengan harga premium. Alih-alih menolong rakyat kecil, uang yang saya bayarkan justru ikut mengalir ke kantong para elite yang sudah ditetapkan menjadi tersangka.

Lalu saya ingat, lusa sudah masuk bulan Maret. Saatnya melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dan membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Sebagai rakyat biasa, kita selalu dituntut patuh. Setiap rupiah yang kita miliki diawasi, setiap keterlambatan pembayaran bahkan rentan dikenai sanksi administratif.

Sementara mereka yang punya kuasa menikmati potongan, kemudahan, dan fasilitas yang tak terbayangkan. Nama-nama seperti Harvey Moeis, Sandra Dewi, Rafael Alun, dan kroninya yang terjerat kasus korupsi langsung melintas di kepala.

Jadi, masihkah kita ikhlas membayar pajak? Masihkah ikhlas membeli Pertamax? Masihkah ikhlas membayar gas elpiji yang terus naik harganya? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin menumpuk, ternyata menyesakkan dada. Namun, saya tidak sedang mengajak demonstrasi atau membuat petisi perubahan.

Saya juga tidak punya solusi manjur untuk membenahi semua ini. Saya hanya ingin mengajak berpikir kritis sembari melakukan refleksi dari cengkarutnya permasalahan di negara kita, Indonesia. Biarlah para "orang pintar" di kursi kekuasaan yang mencari jalan keluarnya. Saya hanya ingin berkata, negeri ini rasanya sudah terlalu berat untuk diteruskan.

Jika ini sebuah pernikahan, kita sudah sampai pada titik di mana tak ada lagi kehangatan, kasih sayang dan kejujuran. Tampaknya hanya cekcok dan luka akibat KDRT yang tak kunjung sembuh. Jadi bagaimana? Apakah kita lanjut berpura-pura bahagia? Ataukah sudah saatnya kita kembali pada kehidupan yang lebih sederhana, tanpa ekspektasi dan ilusi? Barangkali, menjadi masyarakat tribal bukan ide buruk. Setidaknya di sana, kita tahu siapa kawan dan siapa lawan.

Wahyu Astungkara