Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Qomaruddin Al Bahr
Ki Hadjar Dewantara (MDKG)

Sebagai generasi yang tumbuh di masa transisi antara analog dan digital, saya menyaksikan sendiri betapa cepatnya perubahan pola pikir dan nilai hidup. Generasi Z—anak-anak muda yang lahir dan besar dalam riuhnya teknologi—tampak cemerlang sekaligus gamang.

Mereka cerdas, kritis, dan terbuka. Namun, banyak pula yang kehilangan arah dan makna hidup di tengah banjir informasi dan krisis panutan.

Di tengah situasi ini, saya membayangkan: Jika Ki Hadjar Dewantara masih hidup hari ini, apa yang akan beliau katakan kepada generasi ini?

Maka lahirlah tulisan ini: sebuah surat terbuka imajiner dari Ki Hadjar Dewantara untuk Generasi Z. Sebuah refleksi dari filosofi pendidikan beliau, yang relevansinya tak pernah pudar.

Surat Terbuka dari Ki Hadjar Dewantara kepada Generasi Z

Wahai anak-anakku, Generasi Z,

Salam bahagia dan salam merdeka.
Aku menyapa kalian dari ruang keabadian dengan rindu dan harapan, kepada generasi yang kini tumbuh di zaman yang begitu cepat dan bising, namun juga penuh kemungkinan.

Aku mendengar banyak tentang kalian:
Tentang daya cipta yang melesat bersama teknologi, tentang keberanian menyuarakan hati nurani, dan tentang pencarian makna hidup yang terus kalian perjuangkan.

Anak-anakku,
Pendidikan yang aku perjuangkan dulu bukan semata untuk mencerdaskan otak. Pendidikan adalah usaha menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai warga masyarakat.

“Anak-anak hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu.”
Setiap anak adalah benih berbeda. Ada yang tumbuh menjulang, ada yang berbunga, ada pula yang menjalar dan meneduhkan. Tugas pendidikan adalah menuntun, bukan menyeragamkan.

Aku menyusun Panca Dharma: kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, kemanusiaan, dan kodrat alam. Pendidikan bukan alat kekuasaan. Ia adalah taman tempat anak-anak tumbuh secara utuh dan merdeka.

Jangan biarkan sekolah jadi tempat menjejalkan hafalan dan mengejar angka. Ilmu yang baik adalah yang berakar dalam niteni, nirokke, nambahi—mengamati, meniru, lalu mengembangkan.

“Ilmu dan kepandaian hanya berguna jika dipakai untuk memperbaiki budi pekerti.”
Jangan kira pendidikan hanya ada di ruang kelas. Rumah adalah sekolah pertama. Masyarakat adalah guru sepanjang hayat. Belajarlah di mana saja, dan tetaplah rendah hati.

Wahai anak-anakku,
Kalian lahir dalam masa merdeka. Tapi jangan sampai kehilangan arah. Kemerdekaan sejati adalah berdiri di atas kaki sendiri, bertanggung jawab, dan sanggup membuat keputusan yang membawa maslahat.

“Kemerdekaan yang sebenar-benarnya ialah jika seseorang dapat berdiri atas kaki sendiri, tidak tergantung kepada orang lain, dan sanggup bertanggung jawab atas perbuatannya.”
Jika kalian bertanya bagaimana pendidikan dan politik harus berjalan, jawabku: politik mengarahkan kemajuan, pendidikan menumbuhkan manusia. Keduanya harus saling menumbuhkan, bukan saling menindas.

Kalian bukan sekadar pengguna media sosial. Kalian pewaris bangsa. Maka jangan hanya menjadi penonton perubahan. Jadilah pelaku peradaban.

Aku titipkan negeri ini padamu.
Bangunlah ia dengan cinta, budi pekerti, dan kerja nyata.

Dengan kasih dan harapan,
Ki Hadjar Dewantara

Tentu, surat ini adalah imajinasi. Tapi nilai-nilai di dalamnya bukan rekaan. Ia lahir dari semangat pendidikan Ki Hadjar Dewantara—yang mendalam, membebaskan, dan sangat relevan untuk Generasi Z.

Mari teruskan perjuangan beliau. Dengan pendidikan yang membangun manusia utuh. Dengan politik yang menjunjung martabat. Dan dengan semangat kebangsaan yang tak lekang oleh zaman.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Qomaruddin Al Bahr

Baca Juga