Jika kesenian merupakan cermin masyarakat, cermin di Indonesia telah lama mengalami retak-retak. Cermin retak ini merefleksikan bayang kelabu realitas kebebasan berekspresi di bidang kesenian. Setiap retakannya mengungkapkan kisah tentang karya-karya yang dibungkam, suara-suara yang diredam, dan kreativitas yang dipasung oleh sosok yang disebut sebagai penguasa. Jika kita berkaca pada cermin retak ini, tampaklah wajah sebenarnya kondisi kebebasan berkesenian dan hak asasi manusia di Indonesia. Raut wajah yang suram.
Retakan demi retakan
Retakan cermin sudah terjadi sejak era Orde Lama. Musik dari grup band Koes Bersaudara, misalnya, dinyatakan sebagai musik ”ngak-ngik-ngok” yang tak sesuai dengan jati diri dan kepribadian bangsa. Hal ini berujung dengan dipenjarakannya musisi muda dan berbakat pada masa itu.
Melalui peristiwa ini, kita melihat bagaimana definisi ”identitas nasional” dimonopoli oleh penguasa, dan digunakan sebagai alat untuk membatasi ekspresi yang dianggap nyeleneh atau berbeda.
Retakan makin melebar pada rentang masa Orde Baru. Puisi-puisi W.S. Rendra yang penuh kritik tajam terhadap ketimpangan sosial, telah membuat dirinya mendekam di balik jeruji besi. Buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer juga pernah dilarang beredar, karena dinilai berbau kiri.
Lagu ”Hati yang Luka” yang dinyanyikan oleh Betharia Sonata, dilarang beredar. Lagu ini dinilai terlalu cengeng dan tidak selaras dengan semangat pembangunan yang didengungkan oleh rezim yang berkuasa. Pertunjukan teater dan media massa pun tak luput dari pembredelan. Nasib tersebut pernah menimpa ”Teater Koma” dan majalah Tempo yang sering menyajikan kritik sosial dan politik yang menohok.
Dari retakan ini, kita menyaksikan bagaimana seni yang mampu menggugah kesadaran kritis, justru dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas kekuasaan. Mungkin seni, bagi pihak penguasa, dianggap sebagai pasukan teroris bersenjata lengkap yang siap melakukan makar.
Akan tetapi, harapan tinggal harapan, retakan baru justru bermunculan. Data Koalisi Seni Indonesia mencatat sekurangnya terdapat 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang tahun 2022.
Di zaman reformasi, para seniman berharap cermin retak itu segera diperbaiki. Akan tetapi, harapan tinggal harapan, retakan baru justru bermunculan. Data Koalisi Seni Indonesia mencatat sekurangnya terdapat 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang tahun 2022.
Angka ini mengindikasikan bahwa janji reformasi untuk menegakkan kebebasan berekspresi, masih jauh dari apa yang diharapkan. Cermin yang seharusnya menampilkan wajah demokrasi yang utuh, malah menampilkan bayangan kelabu yang sudah ditunggangi oleh kepentingan politik dan tafsir moralitas yang sempit.
Retakan di zaman digital
Retakan cermin terbaru terjadi pada Maret 2025. Terjadi ketika lagu ”Bayar Bayar Bayar” yang dinyanyikan oleh kelompok ”Sukatani”, dihapus dari platform digital. Lagu ini dinilai merendahkan institusi Polri. Janji keterbukaan informasi ternyata hanya kisah dongeng belaka. Pameran seni rupa karya Yos Suprapto juga dibatalkan/dilarang, dengan dalih mengandung konten yang kontroversial. Kejadian seperti ini jelas makin memperlebar retakan cermin kebebasan berekspresi di Indonesia.
Melalui cermin retak ini, kita melihat bagaimana interpretasi terhadap moralitas, kesusilaan, dan ketertiban umum, digunakan untuk melakukan pembredelan. Standar yang digunakan cenderung subjektif dan dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Akibatnya, seniman yang anti-arus utama dan mengkritisi status quo, menjadi pihak yang paling rentan untuk dibungkam.
Sejatinya, pembungkaman ini bertentangan dengan hakikat seni yang merupakan medium untuk merefleksikan realitas, termasuk sisi gelap dari kehidupan bermasyarakat. Ketika cermin seni dipaksa untuk hanya merefleksikan bayangan yang ingin dilihat oleh penguasa, maka fungsi seni sebagai sarana kritik sosial menjadi mandul. Yang tertinggal hanyalah pantulan semu yang tak mencerminkan kebenaran sejati. Kita tak mau hidup dalam kepalsuan, bukan?
Kontradiksi dalam sistem hukum
Di samping bayang kelabu yang menghalangi kreativitas seniman, cermin retak juga merefleksikan adanya kontradiksi di bidang hukum. Di satu sisi, Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 jelas menjamin hak setiap orang untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, termasuk perolehan manfaat dari seni budaya. Namun di sisi lain, berbagai regulasi dan praktik penegakan hukum justru digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi. Hal ini telah menciptakan ketidakpastian hukum yang berdampak pada munculnya pembatasan swadaya (self-censorship) pada para seniman. Kreativitas menjadi begitu terbatas.
Filep Karma, seorang aktivis HAM asal Papua, menyatakan bahwa segala bentuk pelarangan karya seni itu bertentangan dengan HAM. Pernyataan ini menegaskan bahwa retakan cermin seni Indonesia bukan sekadar menyoal estetika dan selera, melainkan juga terkait dengan pelanggaran terhadap martabat manusia.
Upaya untuk memperbaiki cermin retak ini sangatlah kompleks. Negara sebagai pemegang mandat perlindungan HAM, harus mampu memastikan bahwa regulasi yang ada tidak disalahgunakan untuk membungkam ekspresi kritis. Mungkin timbul pertanyaan, mengapa retakan cermin seni Indonesia dari zaman ke zaman cenderung melebar? Jawabannya satu: karena negara yang seharusnya menjadi pelindung kebebasan berekspresi, justru menjadi pelaku pembredelan.
Jalan keluar
Untuk mencegah/mengurangi melebarnya retakan cermin, sangat diperlukan adanya edukasi terhadap masyarakat luas. Edukasi ini harus mampu membangun kesadaran publik tentang pentingnya kebebasan berekspresi dan apresiasi terhadap keberagaman karya seni. Masyarakat perlu memahami bahwa seni yang menggugah—bahkan yang bersifat kontroversial sekalipun—memiliki tempat yang sah dalam masyarakat demokratis.
Masyarakat sipil perlu berperan aktif dalam mengawasi dan memberikan advokasi terhadap kasus-kasus pembredelan terhadap karya seni. Cermin yang retak itu memerlukan banyak pihak untuk memperbaikinya. Solidaritas dan jaringan pendukung di antara pelaku seni juga merupakan faktor penting untuk membangun ketahanan kolektif terhadap ancaman pembredelan.
Kebebasan berkesenian yang terbatas tidak akan mampu memancarkan kebenaran dan keindahan yang sejati. Setiap kali terjadi pembredelan, retakan cermin makin melebar, sehingga masyarakat kehilangan kesempatan untuk melihat refleksi diri mereka yang sebenarnya.
Untuk mencegah pembredelan, diperlukan juga dialog terbuka antara seniman, masyarakat, dan pembuat kebijakan, sehingga dapat terbangun kesepakatan tentang batas-batas kebebasan yang dapat diterima, tanpa mengorbankan esensi kebebasan itu sendiri.
Indonesia—yang menyatakan diri sebagai negara demokratis dan menjunjung tinggi semangat pluralisme—seharusnya mampu memperbaiki cermin yang retak, bukan malah memperlebar retakannya. Menghargai dan melindungi ekspresi seni bukanlah sekadar kewajiban hukum, melainkan juga komitmen moral untuk menghormati martabat manusia. Martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dan kreativitas.
Sekarang ini, cermin retak itu masih memperlihatkan bayang kelabu yang seolah menjadi momok bagi para seniman dalam mengembangtumbuhkan kreativitas. Namun demikian, menurut hemat penulis, melalui retakan ini kita didorong untuk memperbaikinya dari waktu ke waktu. Kita semua berharap, bahwa suatu hari nanti, cermin tersebut dapat merefleksikan wajah sejati kesenian Indonesia. Wajah penuh seri yang mampu menghargai keberagaman, menjunjung tinggi kebebasan, dan menampung berbagai kreativitas seni dalam segala bentuk, rupa, dan gaya.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Ketika Seni Menjadi Musuh Otoritarianisme
-
Sentilan Luhut dan Demokrasi Sopan Santun: Ketika Kritik Dianggap Ancaman
-
Formappi Harap DPR Tak Ulang Kesalahan RUU TNI Saat Bahas RUU Polri
-
Review Novel 'Makhluk Bumi': Jadi Alien demi Bertahan di Dunia yang Gila
Kolom
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Jadi Alarm Penting Taat Berlalu Lintas
-
Blaka Suta: Kejujuran dalam Daily Life dan Hukum Tabur Tuai Lintas Generasi
-
Ketika Seni Menjadi Musuh Otoritarianisme
-
Menemukan Kembali Semangat Politik Ki Hadjar Dewantara di Era digital
Terkini
-
Potret Kehidupan Sub-Urban di Kota Besar dalam Buku Komik Gugug! Karya Emte
-
Membongkar Karakter dan Isu Sosial dalam Series Bidaah
-
Usung Alter Ego, Lisa BLACKPINK Sukses Gebrak Panggung Coachella 2025
-
Mission Impossible - The Final Reckoning: Aksi Gila dan Serangan The Entity
-
2 Fakta Unik Aldyansyah Taher Pemain Timnas U-17: Punya Versatility di Luar Nalar!