Di tengah ruang digital Indonesia yang makin sempit karena tekanan regulatif dan ancaman militerisasi siber, muncul satu fenomena menarik di platform X (sebelumnya Twitter).
Kini marak penggunaan chatbot AI bernama Grok sebagai medium menyampaikan kritik sosial-politik. Bukan sekadar mainan teknologi, Grok kini menjadi saksi sekaligus alat perlawanan simbolik warganet dalam menjaga kebebasan berpendapat yang kian terancam.
Grok, dikembangkan oleh xAI milik Elon Musk, bukan chatbot sembarangan. Berbasis teknologi Large Language Models (LLM), Grok punya kemampuan membaca, merangkum, dan merespons percakapan trending secara real-time melalui integrasi mendalam dengan X.
Tak hanya informatif, Grok juga dirancang memiliki kepribadian yang jenaka dan “nakal”, menjadikannya bukan hanya alat pencari informasi, tetapi juga teman berdialog yang mampu menangkap ironi sosial dengan gaya ringan namun tajam.
Dalam beberapa bulan terakhir, Grok makin sering digunakan oleh netizen Indonesia untuk menanggapi isu-isu sensitif.
Mulai dari kasus pelanggaran HAM, kebijakan publik kontroversial, hingga revisi undang-undang yang menuai polemik, Grok diminta untuk merangkum, menganalisis, atau bahkan “mengomentari” wacana-wacana ini.
Tak jarang, hasil respons Grok kemudian di-screenshot, disebarluaskan, dan viral menjadi bahan diskusi lanjutan.
Fenomena ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia tumbuh di tengah kemunduran demokrasi Indonesia. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) 2025, indeks demokrasi Indonesia 2024 tercatat hanya 6,44 dari skala 10, menempatkan negara ini di peringkat ke-59 dari 167 negara.
Skor ini mempertahankan Indonesia dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy), dengan dimensi paling lemah pada kebebasan sipil dan kultur politik. Dua aspek yang seharusnya menjadi napas dalam berdemokrasi, kini justru kian tercekik.
Serta pengesahan Revisi Undang-Undang TNI pada Maret 2025, yang memunculkan banyak aksi demonstrasi di berbagai daerah. Revisi ini menambahkan dua tugas baru dalam operasi militer selain perang (OMSP), salah satunya: menanggulangi ancaman pertahanan siber.
Tugas baru ini disorot banyak pihak sebagai bentuk perluasan peran militer di ruang sipil, terutama dalam pengawasan dan penanganan aktivitas digital masyarakat.
Kekhawatiran Revisi UU TNI ini bukan tanpa dasar. SAFEnet dan Digital Democracy Resilience Network (DDRN) menilai bahwa definisi ancaman siber dalam revisi tersebut sangat luas dan multitafsir.
Tanpa penilaian objektif dan transparan, ekspresi di media sosial yang bersifat kritis bisa dengan mudah digolongkan sebagai ancaman, lalu dibungkam. Tak hanya itu, potensi tumpang tindih kewenangan antara TNI, BSSN, dan lembaga lain dalam urusan siber juga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.
Di sinilah Grok hadir sebagai simbol dari kreativitas warga digital yang tak ingin menyerah pada tekanan. Dalam kondisi di mana menyuarakan kritik bisa berujung pada pelaporan UU ITE, warganet memanfaatkan Grok sebagai perisai naratif.
Mereka bertanya pada Grok tentang kebijakan, Grok menjawab secara ‘netral’, dan publik pun membaca pesan tersirat yang disampaikan. Dalam dunia yang diawasi, humor dan kecerdikan menjadi bentuk keberanian.
Namun tentu saja, penggunaan Grok juga punya risiko. Karena ia merespons berdasarkan data yang tersedia di X, maka kualitas jawabannya sangat bergantung pada kualitas informasi di platform tersebut.
Tanpa penyaringan yang kritis, Grok juga bisa mereproduksi bias atau bahkan hoaks. Maka penggunaan Grok sebagai alat perlawanan harus dibarengi dengan literasi digital yang kuat, serta kesadaran untuk tetap mengedepankan kebenaran.
Grok tidak akan menggantikan peran aktivis, jurnalis, atau akademisi dalam mengawal demokrasi. Tapi ia menunjukkan bahwa teknologi, jika digunakan secara kreatif, bisa menjadi sekutu dalam perjuangan melawan pembungkaman. Ketika saluran-saluran konvensional dibatasi, warga mencari celah di tempat yang tidak terduga.
Fenomena ini, pada akhirnya, memberi satu pesan penting: kebebasan berpendapat mungkin bisa ditekan, tapi tidak bisa dimatikan. Kreativitas rakyat akan selalu menemukan jalannya. Dalam bentuk meme, plesetan, atau bahkan chatbot AI bernama Grok, suara kritis tetap menggema, menuntut keadilan dan kebenaran.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Kronik Dehumanisasi dalam Kebijakan: Ketika Angka Membungkam Derita
-
Demokrasi, Kesejahteraan, dan Pembangunan Bangsa: Sebuah Renungan
-
Filosofi Tongkrongan: Saring Pikiran Biar Gak Jadi Ujaran Kebencian
-
Manuver Danantara, Jadi Penjaga Napas saat IHSG Bergejolak?
-
Evakuasi Gaza ke Indonesia: Solidaritas atau Legitimasi Penindasan?
Artikel Terkait
-
Begini Cara Pakai Grok, Asisten AI Punya Elon Musk yang Jadi Andalan Warganet di X
-
Sentilan Luhut dan Demokrasi Sopan Santun: Ketika Kritik Dianggap Ancaman
-
Demokrasi atau Diktator? Brutalisme Aparat di Balik Demonstrasi UU TNI
-
Formappi Harap DPR Tak Ulang Kesalahan RUU TNI Saat Bahas RUU Polri
-
Lee Jung-eun Siap Jadi Bibi Kim Ji-won dalam Drama Baru 'Doctor X'
Kolom
-
Luka Psikologis yang Tak Terlihat di Balik Senyum Ibu Baru
-
Mindful Eating atau Makan Sambil Scroll? Dilema Makan Sehat dan Screen Time
-
Membangun Resiliensi Intelektual untuk Pendidikan Indonesia 2030
-
Refleksi Diri Mahasiswa di Balik Kritik, Jangan Terlalu Defensif!
-
Belajar Membaca Peristiwa Perusakan Makam dengan Jernih
Terkini
-
7 Rekomendasi Film Horor Terbaik dari tahun 80-an, Sudah Nonton?
-
Mees Hilgers, Laga Kontra Cina dan Performa Buruknya di Timnas Indonesia
-
Harapan Pupus! Ada 2 Alasan Kekalahan MU dari Spurs Kali Ini Terasa Jauh Lebih Menyakitkan
-
Kembang Goyang Luna Maya Patah Detik-Detik Sebelum Akad, Pertanda Apa?
-
Mulai Rp1,4 Juta, Ini Daftar Harga Tiket Konser Doh Kyung-soo di Jakarta