Di balik wajah remaja yang ceria, energik, dan penuh semangat, ada satu sisi rapuh yang kerap tersembunyi: kerentanan terhadap kehilangan. Ketika seseorang menyebut kata “kehilangan”, kita cenderung membayangkannya sebagai bagian dari kedewasaan sebuah ujian emosional yang akan lebih relevan dialami mereka yang telah dewasa. Namun, realitas menunjukkan bahwa kehilangan, terutama dalam bentuk kematian orang tua, justru menyentuh remaja dengan luka yang dalam dan tak kasatmata. Penelitian mutakhir oleh Ngabito, Sudarnoto, dan Suryani (2024) yang terbit dalam Jurnal Ilmiah Psikologi Mind Set menegaskan pentingnya melihat duka remaja sebagai gejala psikologis yang bukan hanya nyata, tapi juga mendesak untuk ditangani secara ilmiah.
Pandemi COVID-19 menjadi konteks tragis yang menyorot betapa masifnya dampak kematian terhadap kehidupan anak-anak dan remaja. Data UNICEF dan Kementerian PPPA menyebutkan lebih dari 25.000 anak Indonesia kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya akibat pandemi. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah kisah pilu tentang meja makan yang kehilangan kursi, tentang pelukan terakhir yang tak sempat diberikan, dan tentang rumah yang sunyi setelah kehilangan suara orang tua.
Namun pertanyaannya, seberapa dalam kita benar-benar memahami reaksi duka pada remaja? Apakah kita hanya melihat mereka sebagai anak-anak yang menangis sebentar lalu kembali bermain? Apakah kita mengira bahwa duka akan larut bersama waktu, tanpa perlu pendekatan psikologis yang sistematis dan valid?
Melalui pendekatan ilmiah berbasis psikometri, penelitian Ngabito dan rekan-rekannya mencoba menjawab keraguan tersebut dengan menyusun alat ukur reaksi duka yang ditujukan secara spesifik kepada remaja. Ini bukan sekadar formulir tanya-jawab biasa. Ini adalah upaya membingkai duka dalam struktur ilmiah agar bisa diukur, dianalisis, dan direspons secara tepat.
Mereka menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA), sebuah pendekatan statistik mutakhir yang mampu menguji validitas konstruk dari alat ukur psikologis. Dalam bahasa sederhana, CFA membantu memastikan bahwa setiap pernyataan dalam kuesioner benar-benar mengukur dimensi yang dimaksud baik itu pikiran, perasaan, perilaku, atau sensasi fisik akibat duka. Hasilnya menunjukkan bahwa alat ini tidak hanya valid secara statistik, tetapi juga reliabel dengan koefisien 0,954 angka yang sangat tinggi dalam standar psikometri.
Namun yang lebih menggugah bukan hanya keberhasilan teknis alat ukur ini, melainkan temuan mengenai seberapa besar intensitas duka yang dialami oleh remaja. Dari 66 remaja usia 12–17 tahun yang menjadi partisipan, sebanyak 38% menunjukkan reaksi duka dalam kategori “cukup kuat”, 33% berada di kategori “kuat”, dan 2% dalam kategori “sangat kuat”. Ini berarti lebih dari 70% remaja yang mengalami kehilangan orang tua menunjukkan gejala duka yang serius dan berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang.
Di sinilah ironi sosial kita mulai terlihat. Ketika seorang remaja kehilangan orang tuanya, kita cenderung fokus pada aspek logistik: siapa yang akan mengasuh, bagaimana biaya sekolah, atau di mana ia akan tinggal. Namun kita lupa bahwa kehilangan orang tua bukan hanya soal fisik dan ekonomi. Ini adalah trauma psikologis yang menyerang langsung pusat kestabilan identitas dan rasa aman mereka.
Remaja yang kehilangan orang tua bukan hanya kehilangan figur yang mengasuh atau membiayai. Mereka kehilangan jangkar psikologis yang selama ini menautkan mereka pada rasa dicintai, diakui, dan dimiliki. Seperti dijelaskan dalam konsep secondary loss yang dikutip dari Schonfeld & Quackenbush (2021), kematian orang tua bukan hanya tentang kehilangan satu sosok, tapi juga kehilangan harapan, kepercayaan diri, hingga struktur identitas yang selama ini menjadi fondasi kehidupan mereka.
Kita bisa bayangkan bagaimana seorang remaja yang sebelumnya merasa dirinya “anak ayah yang tangguh” atau “putri ibu yang cerdas” mendadak kehilangan narasi itu ketika orang tuanya tiada. Duka seperti ini bersifat eksistensial. Ia tidak hanya menciptakan kesedihan, tetapi juga kehampaan identitas. Ini bukan sekadar perasaan sedih, tapi krisis psikologis yang kompleks.
Sayangnya, dalam konteks Indonesia, pembicaraan tentang duka masih dibungkus oleh norma-norma sosial yang menuntut ketegaran, apalagi pada laki-laki. “Jangan cengeng,” “Kamu harus kuat,” atau “Ini sudah kehendak Tuhan” adalah frasa-frasa yang sering dilontarkan dengan maksud baik, tapi justru menutup ruang validasi emosional bagi remaja yang sedang berduka. Alih-alih diberi ruang untuk mengungkapkan emosi, remaja justru dibebani ekspektasi untuk segera bangkit.
Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh Danese dkk. (2020), remaja yang tidak mendapat ruang aman untuk mengolah emosinya pascakehilangan berisiko mengalami berbagai gangguan psikologis serius seperti gangguan mood, kecemasan, penyalahgunaan zat, hingga pikiran bunuh diri. Bahkan, dalam jangka panjang, mereka juga berpotensi mengembangkan strategi koping yang maladaptif seperti self-medication, emotional eating, hingga perilaku menyakiti diri sendiri.
Realitas ini seharusnya cukup membuat kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah kita benar-benar siap secara sistem untuk mendampingi remaja dalam proses berdukanya?
Ironisnya, dalam sistem pendidikan kita, topik seperti “dukacita” atau “kesehatan mental remaja pasca-kehilangan” masih sangat jarang dibahas. Kurikulum sekolah tak menyediakan ruang untuk itu. Bahkan dalam pelayanan psikologi sekolah, fokusnya lebih banyak pada akademik, bimbingan karier, atau kenakalan remaja. Padahal, sebagaimana dibuktikan dalam penelitian ini, duka yang tak tertangani bisa menjadi akar dari berbagai problem perilaku dan prestasi yang kerap kita temui pada remaja.
Oleh karena itu, keberadaan alat ukur reaksi duka seperti yang dikembangkan Ngabito dan tim bukan hanya penting dari sisi akademis, tapi juga memiliki makna praktis yang sangat luas. Ia bisa digunakan oleh psikolog sekolah untuk mengidentifikasi siswa yang butuh pendampingan. Ia bisa menjadi dasar intervensi psikososial oleh LSM yang fokus pada kesejahteraan anak. Bahkan, dengan adaptasi yang tepat, alat ini bisa membantu para guru dan orang tua memahami sejauh mana reaksi duka yang sedang dialami remaja di lingkungan mereka.
Namun tentu saja, alat ukur hanyalah langkah awal. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah keberanian sistemik untuk menjadikan grief literacy atau literasi tentang duka sebagai bagian dari pendidikan dan kebijakan publik. Kita perlu membangun ekosistem yang bukan hanya responsif terhadap duka, tetapi juga preventif dalam membekali remaja dengan kemampuan mengelola emosi.
Sudah saatnya kita berhenti melihat duka sebagai hal privat yang harus ditanggung sendiri. Duka, apalagi pada remaja, adalah isu publik yang butuh perhatian kolektif. Dalam konteks pascapandemi, isu ini menjadi semakin relevan. Ribuan anak-anak kita menyimpan luka yang tak terlihat, dan mereka tak bisa menunggu lebih lama untuk didengar.
Dunia yang baik adalah dunia yang tidak hanya menciptakan ruang aman bagi mereka yang bersuara lantang, tetapi juga bagi mereka yang bisunya lahir dari kehilangan. Dunia yang sehat secara mental adalah dunia yang tidak hanya memberi perhatian pada remaja yang aktif dan produktif, tetapi juga pada remaja yang sedang patah hati karena ditinggal orang tuanya.
Kita, sebagai masyarakat, sebagai pendidik, sebagai pembuat kebijakan, harus memilih: apakah kita ingin menjadi bagian dari sistem yang membiarkan remaja memikul duka sendirian, ataukah kita ingin menciptakan sistem yang menjadikan proses berduka sebagai bagian dari pembelajaran emosional yang sehat dan manusiawi?
Baca Juga
-
Menikmati Lupis di Warung Lintau Pekanbaru, Cita Rasa Tak Terlupakan
-
Dukungan Sosial atau Ilusi Sosial? Realita Psikologis Ibu Baru
-
Menikmati Hidangan Istimewa dan Kuah Gurih di Sup Tunjang Pertama Pekanbaru
-
Koran Cetak di Era Digital, Masihkah Relevan?
-
Cafe Hello Sapa, Kombinasi Sempurna antara Kopi dan Pemandangan Danau Sipin
Artikel Terkait
-
Dituding NPD, Baim Wong Jalani Tes Kesehatan Mental Sampai HIV
-
Dukungan Sosial atau Ilusi Sosial? Realita Psikologis Ibu Baru
-
Review Film Dead Teenagers: Lima Remaja Berjuang Bertahan Hidup dalam Ancaman
-
Kembali Produktif Usai Libur Lebaran: Tips Psikolog agar Semangat Kerja Pulih Tanpa Stres
-
Gerebek Markas Geng Tawuran di Kemayoran, Polisi Sita Celurit hingga Stick Golf
Kolom
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Jadi Alarm Penting Taat Berlalu Lintas
-
Blaka Suta: Kejujuran dalam Daily Life dan Hukum Tabur Tuai Lintas Generasi
-
Ketika Seni Menjadi Musuh Otoritarianisme
-
Menemukan Kembali Semangat Politik Ki Hadjar Dewantara di Era digital
Terkini
-
Lolos ke 8 Besar, Timnas Indonesia U-17 Bawa Harga diri Negara ASEAN di Piala Asia
-
4 Drama yang Dibintangi Andrea Brillantes, Ada High Street!
-
Dim Sum of All Fears: Teka-Teki Kematian Dua Mayat di Restoran China
-
Tatap Perempat Final Piala Asia U-17, Timnas Indonesia Punya Modal Bagus
-
3 Anime Orisinal Netflix Tayang April 2025, Jangan Sampai Kelewatan!