Hikmawan Firdaus | Mira Fitdyati
Ilustrasi orang putus asa hampir menyerah (Pexels/Mikhail Nilov)
Mira Fitdyati

Pernah enggak sih kamu merasa hidup seperti berjalan di tempat, sementara orang lain tampak melesat jauh di depan?

Melihat teman sebaya sudah berhasil mencapai mimpinya sering kali membuat kita bertanya-tanya, “Kenapa bukan aku?” Padahal kita merasa sudah berusaha keras, bahkan mungkin lebih keras dari mereka.

Namun, dibanding terus menyalahkan diri sendiri, kadang kita hanya perlu berhenti sejenak untuk memahami bahwa setiap orang punya waktu dan jalannya masing-masing.

Tidak ada yang terlambat, tidak ada yang tertinggal. Kita hanya sedang menapaki perjalanan hidup dengan kecepatan yang berbeda.

Di Balik Senyum, Ada Rasa Lelah yang Tak Terlihat

Ilustrasi orang putus asa hampir menyerah (Pexels/Arina Krasnikova)

Kita sering kali merasa sudah berusaha keras, bahkan mungkin lebih keras dari orang lain. Namun, hasilnya belum juga tampak. Saat itu, muncul perasaan ingin menyerah dan kecewa pada diri sendiri.

Banyak orang mengira kita kuat karena mereka tak pernah melihat air mata yang jatuh di balik senyum yang kita pasang setiap hari.

Mereka melihat tawa, tapi tak tahu seberapa berat langkah yang sedang kita tempuh. Nyatanya, kita hanya pandai menyembunyikan luka dan pura-pura baik-baik saja.

Rasa ingin menyerah itu nyata. Ia datang tanpa permisi, bahkan ketika kita sudah berjuang sekuat tenaga. Tak peduli seberapa besar usaha yang dikeluarkan, perasaan lelah itu akan tetap datang.

Namun, yang perlu diingat rasa lelah bukan tanda kegagalan, melainkan sinyal bahwa tubuh dan hati butuh jeda.

Racun Membandingkan Diri Sendiri

Ilustrasi orang bersedih (Pexels/Keira Burton)

Sering kali, kita lupa bahwa membandingkan diri dengan orang lain hanya akan menambah luka yang tidak perlu. Kita menaruh standar kebahagiaan berdasarkan pencapaian orang lain, hingga lupa bersyukur atas hal kecil yang sebenarnya sudah membuat kita bahagia.

Melalui podcast Kita dan Waktu di kanal YouTube Helo Bagas pada (30/5/2025), Bagas menyampaikan bahwa rasa ingin menyerah biasanya datang ketika kita sedang kelelahan. Rasa capek itu membuat kita lupa dengan apa saja yang sudah pernah kita raih dan bangun dengan susah payah.

Ketika tubuh dan pikiran lelah, satu-satunya cara untuk pulih bukan dengan memaksa diri, melainkan dengan beristirahat.

Namun, sering kali justru saat kita merasa capek, kita malah mendorong diri lebih keras, seolah tak memberi ruang untuk bernapas. Akibatnya, kita semakin jauh dari keseimbangan yang kita butuhkan.

Istirahatlah. Ingat kembali tujuan awal kamu melangkah. Sebab, terkadang yang membuat kita tersesat bukan keadaan, tapi pikiran sendiri yang terlalu sering berubah arah.

Setiap Orang Punya Waktu Mekarnya Sendiri

Ilustrasi orang wisuda (Pexels/RDNE Stock project)

Tidak apa-apa jika kamu masih berada di posisi saat ini. Tidak apa-apa kalau pencapaianmu belum sebesar orang lain. Hidup bukan perlombaan tentang siapa yang sampai duluan, melainkan tentang siapa yang mampu bertahan sampai akhir.

Mungkin perjalananmu terasa berat, penuh kerikil dan ragu. Kamu bisa saja bertanya-tanya, “Kenapa jalanku tak semulus orang lain?”

Namun percayalah, setiap orang punya waktu mekarnya sendiri. Ada yang tumbuh cepat, ada yang lambat, tapi semuanya tetap berharga di mata Tuhan.

Jangan jadikan keberhasilan orang lain sebagai tolok ukur kebahagiaanmu. Ukurlah dirimu dengan versi terbaikmu kemarin.

Lihat sejauh mana kamu sudah bertahan, belajar, dan tumbuh. Itu jauh lebih berarti daripada terus membandingkan langkah dengan orang lain.

Kalau suatu hari rasa ingin menyerah itu datang lagi, berhentilah sebentar. Tarik napas dalam-dalam, lalu lihat kembali seberapa jauh kamu telah berjalan. Kamu tidak gagal, kamu hanya sedang butuh waktu untuk beristirahat.

Mungkin tidak selalu ada orang yang benar-benar memahamimu, tapi tidak apa-apa. Seperti kata Bagas di akhir podcast-nya.

“Karena sebaik-baik berpegangan adalah berpegangan dengan diri sendiri.”