Hayuning Ratri Hapsari | inaya khoir
Ilustrasi Kereta Cepat (Pexels.com/Ingo Joseph)
inaya khoir

Proyek infrastruktur megah di bidang transportasi yang dijanjikan tanpa membebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Woosh, kini justru menjadi panggung perdebatan sengit antara Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan.

Perdebatan kasus KCJB ini menjadi menarik karena terjadi di tengah euforia pemerintah yang menggadang-gadang KCJB sebagai simbol kemajuan infrastruktur Indonesia, terutama di bidang transportasi.

Setelah proyek molor dan biaya yang membengkak, keberhasilan secara teknis proyek KCJB ini seolah ingin menegaskan bahwa dahaga pemerintahan era sebelumnya dalam membangun peradaban baru di sektor transportasi telah berhasil diredakan.

Namun, di balik kilau keberhasilan yang tampak dari luar itu, tersisa tumpukan angka dan komitmen finansial negara yang tidak bisa diabaikan. 

Publikasi laporan keuangan tahunan 2022, menjelaskan bahwa total investasi mega proyek KCJB mencapai angka US$ 7,26 atau setara Rp119,79 triliun (asumsi kurs Rp16.500/US$). Angka tersebut termasuk pembengkakan biaya proyek sebesar US$ 1,21 miliar dari nilai investasi awal sebesar US$ 6,05 miliar.

Mayoritas porsi pendanaan proyek KCJB ini berasal dari pinjaman konsorsium Tiongkok melaluI China Development Bank dengan bunga utang sebesar 3,3% dan tenor hingga 45 tahun.

Risiko mega proyek ini muncul karena sebagian skema pembiayaan berada di luar penganggaran langsung negara, tetapi tetap menuntut jaminan dan subsidi dari negara jika proyeksi pendapatan dari proyek KCJB ini gagal tercapai. 

Jika ditilik dari sisi ekonomi, proyek KCJB memang tidak bisa dilihat hanya dari kacamata untung-rugi jangka pendek. Proyek infrastruktur skala besar selalu membawa efek lanjutan, mulai dari mendorong pertumbuhan kawasan, munculnya investasi-investasi baru, hingga memudahkan mobilitas publik.

Meski demikian, sikap kehati-hatian yang ditunjukkan Menteri Purbaya sebagai bendahara negara adalah krusial dan mendasar.

Proyeksi penumpang KCJB yang  belum stabil, biaya operasional tinggi, hingga fluktuasi nilai tukar rupiah, dapat mengubah hitungan awal yang penuh keoptimisan menjadi beban rakyat dalam jangka panjang.

Di sisi lain, Luhut Binsar Panjaitan sebagai ketua DEN, melihat proyek kereta berkecepatan 350 km/jam ini sebagai misi geopolitik dan visi besar pembangunan infrastruktur.

Baginya, KCJB bukan hanya sekadar moda transportasi, melainkan juga simbol kepercayaan diri Indonesia dalam menjalin kerja sama internasional, terutama dengan Tiongkok. Dalam konteks tersebut, utang yang dimiliki proyek KCJB bukan menjadi masalah besar asalkan dikelola dengan disiplin. 

Masalahnya, perbedaan jalur Purbaya dan Luhut kini berpotongan di titik yang sensitif, yaitu utang proyek yang membengkak dan transparansi pengelolaannya.

Dalam konteks ini, alih-alih duduk bersama dan mencari solusi terbaik, publik justru diperlihatkan perdebatan narasi dan saling lempar tanggung jawab secara terbuka di ruang media.

Luhut membela proyek yang sudah terlanjur jadi kebanggaan nasional, sementara Purbaya mengingatkan bahwa besaran angka tidak bisa ditutup-tutupi.

Meski terjadi ketegangan pada siapa yang harus membayar utang mega proyek KCJB ini, argumen kedua nahkoda kebijakan ekonomi tersebut, yaitu Purbaya dan Luhut, tentulah sama-sama berakar pada kepentingan nasional. Hanya saja, perbedaan prioritas menjadikan mereka seolah saling melemparkan tanggung jawab kepada satu sama lain.

Purbaya melihat dari kacamata keberlanjutan dan tanggung jawab fiskal agar pembangunan tidak mewariskan beban utang kepada rakyat, sementara Luhut menekankan pada kemampuan Indonesia bekerja sama dengan mitra asing untuk membuka jalan hadirnya investasi-investasi baru di bidang lain. 

Dalam masalah utang proyek KCJB ini, para pemangku kebijakan seharusnya tidak terjebak pada pertarungan narasi, tetapi harus fokus pada upaya penyelesaian permasalahan secara struktural.

Skema mitigasi risiko proyek, pembiayaan dan upaya penyelesaian utang yang jelas, dan evaluasi operasional KCJB yang transparan harus segera dilakukan sebagai bahan pertimbangan untuk rencana proyek-proyek serupa di kemudian hari.

Pertarungan sengit antara menteri keuangan dan ketua DEN dalam kasus proyek KCJB ini harus dijadikan pembelajaran bahwa proyek negara untuk kepentingan publik tidak boleh berjalan tanpa koordinasi lintas lembaga terkait secara jelas dan kuat.

Ambisi atas KCJB sebagai kereta tercepat pertama di Asia Tenggara tentulah harus diimbangi dengan kecepatan pemerintah dalam menjelaskan bagaimana pembiayaan proyek tersebut dan sejauh mana manfaatnya untuk kepentingan publik.