Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara atau Danantara tengah menjajaki langkah strategis baru. Melalui Kepala Pejabat Investasi Pandu Sjahrir, Danantara menyatakan ketertarikannya untuk menjadi penyedia likuiditas (liquidity provider) di pasar modal Indonesia.
Langkah ini bukan sekadar posisi strategis, melainkan mencerminkan kesiapan Danantara untuk turut menjaga stabilitas pasar modal nasional, terutama di tengah gejolak seperti saat ini.
Pandu menjelaskan bahwa potensi investasi publik, seperti saham badan usaha milik negara (BUMN) yang dimiliki Danantara, menjadi salah satu opsi tercepat untuk mengelola hasil dividen dan alokasi dana investasi.
Ia mengakui bahwa alokasi ini tetap harus mempertimbangkan prioritas proyek jangka menengah, namun kemungkinan untuk mengarahkan dana ke pasar modal tetap terbuka lebar.
Langkah ini terasa relevan jika melihat kondisi pasar yang sedang tidak stabil. Dalam tujuh bulan terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan hingga 25 persen, menyentuh titik terendah sebesar 5.912,06 pada awal April 2025.
Banyak analis menyebutnya sebagai krisis kecil, serupa dengan berbagai titik kejatuhan IHSG dalam sejarah, mulai dari krisis moneter 1998 hingga pandemi Covid-19.
Namun, dari setiap kejatuhan tersebut, kita belajar satu hal: pasar modal Indonesia selalu mampu pulih. Bahkan tidak sekadar pulih, tetapi bangkit dengan pertumbuhan yang signifikan.
Pada tahun 1999, IHSG melonjak lebih dari 100 persen hanya dalam waktu satu tahun setelah krisis 1998. Pada tahun 2009, setelah krisis global, indeks melesat hampir 87 persen. Bahkan pada masa pandemi, IHSG mampu bangkit kembali sebesar 63 persen hanya dalam waktu sembilan bulan.
Dalam konteks tersebut, posisi Danantara sebagai penyedia likuiditas terasa penting. Ketika investor ritel panik dan investor asing mulai menarik diri, pasar membutuhkan institusi yang mampu menjaga volume perdagangan tetap hidup. Penyedia likuiditas tidak hanya berperan dalam menstabilkan harga, tetapi juga dalam menjaga kepercayaan pasar.
Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa saat ini tekanan terhadap IHSG datang dari berbagai arah, seperti kebijakan tarif impor Amerika Serikat yang menekan ekspor, pelemahan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), serta ketidakpastian politik dalam negeri. Hal ini membuat banyak investor memilih langkah aman dengan menarik dana dari pasar saham.
Di sinilah muncul celah. Ketika likuiditas menipis, harga saham dapat anjlok tanpa alasan yang berkaitan dengan fundamental perusahaan. Danantara dapat menjadi penyeimbang, pihak yang membeli saat yang lain menjual, serta menjaga agar pasar tetap stabil.
Tentu saja, langkah ini bukan tanpa risiko. Memasukkan dana dalam skala besar ke pasar modal di tengah volatilitas merupakan keputusan yang berani.
Namun, Danantara bukanlah investor biasa. Dengan mandat untuk mengelola aset strategis BUMN dan dukungan dari negara, mereka berada dalam posisi yang jauh lebih kuat dibandingkan investor institusi lainnya.
Menariknya, Pandu juga menyebutkan bahwa dana dari Qatar akan segera masuk melalui skema dana investasi bersama. Jika hal ini terealisasi, likuiditas dari luar negeri dapat ikut menopang strategi Danantara, sekaligus menunjukkan kepercayaan global terhadap potensi pemulihan ekonomi Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah hal ini akan mengubah peran BPI dari sekadar pengelola aset menjadi semacam pelaku pembentuk pasar (market maker) nasional. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, dan bukan merupakan hal yang buruk.
Pasar modal Indonesia memang membutuhkan kekuatan domestik yang mampu menjaga stabilitas ketika arus modal global berubah arah.
Langkah ini bahkan dapat menjadi model baru bagi negara-negara berkembang. Ketika pasar modal dilanda gejolak global, siapa yang akan bertahan? Investor ritel? Kemungkinannya kecil.
Investor asing? Justru mereka yang lebih dahulu menarik diri. Maka, negara melalui institusi seperti Danantara dapat dan seharusnya turun tangan.
Pada akhirnya, keputusan Danantara untuk mengisi ruang likuiditas ini dapat menjadi penentu apakah IHSG akan terus terpuruk, atau justru mulai menemukan pijakan untuk bangkit kembali.
Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap krisis menyimpan peluang. Danantara tampaknya siap mengambil peluang tersebut, bukan semata-mata demi keuntungan jangka pendek, tetapi untuk menjaga agar jantung pasar modal Indonesia tetap berdetak.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Kronik Dehumanisasi dalam Kebijakan: Ketika Angka Membungkam Derita
-
Demokrasi, Kesejahteraan, dan Pembangunan Bangsa: Sebuah Renungan
-
Filosofi Tongkrongan: Saring Pikiran Biar Gak Jadi Ujaran Kebencian
-
Evakuasi Gaza ke Indonesia: Solidaritas atau Legitimasi Penindasan?
-
Relaksasi Aturan TKDN: Jalan Pintas yang Mengundang Petaka
Artikel Terkait
-
Ketua KPK Setyo Budiyanto Tunggu Arahan Rosan Roeslani untuk Bertugas di Danantara
-
IHSG Masih Betah Berada di Zona Hijau pada Penutupan Perdagangan Senin
-
Dana Dividen BUMN Akan 'Diparkir' di Pasar Modal? Bocoran Strategi Investasi Danantara
-
Tunggu Guyuran Dividen BUMN, Danantara Bakal Banjiri Likuiditas Pasar Modal
-
Prabowo Bawa Kabar Baik, Sebut Qatar Akan Investasi ke Danantara Sekitar Rp 33 Triliun
Kolom
-
Pancasila di Ujung Jari: Refleksi Hari Lahir 1 Juni di Era Digital
-
PHK Tanpa Akhir, Buah dari Transformasi Zaman?
-
Program 3 Juta Rumah: Solusi atau Beban Baru Rp14,4 Triliun per Tahun?
-
Menimbang Peran Artificial Intelligence dalam Kontestasi Pemilu Masa Depan
-
Penerapan Pancasila: Menjawab Tantangan Bangsa di Tengah Era Digital
Terkini
-
5 Anime Isekai Terbalik Wajib Ditonton, Terbaru Nihon e Youkoso Elf-san
-
Review Film 100 Yards: Konflik Dua Murid, dan Seratus Yard Kehormatan
-
5 Karakter Terkuat One Piece yang Tidak Pernah Terlihat Bertarung, Siapa?
-
AFF Cup U-23: Bisa Jadi Ajang Pemanasan Timnas Indonesia Jelang Kualifikasi Piala Asia U-23
-
GEF SGP Gandeng Universitas Ghent untuk Bangun Indonesia Berkelanjutan