Menjadi orang baik adalah nilai yang diajarkan sejak kecil. Di mana sejak dini kita semua telah ditanamkan ntuk bersikap ramah, menolong, memahami perasaan orang lain, hingga mengutamakan kebaikan hati. Namun, dalam praktiknya, kebaikan sering kali tidak selalu dibalas dengan penghargaan atau perlakuan yang sama.
Sebaliknya, tak sedikit orang baik justru sering tersakiti, dimanfaatkan, bahkan kehilangan jati diri demi menyenangkan orang lain. Karena masalah inilah yang membuat seseorang lebih baik memilih untuk menindas daripada ditindas, apalagi dimanfaatkan kebaikannya. Jadi, inilah yang mendasari beberapa pertanyaan yang selalu terbesit di dalam pemikiran tentang apakah menjadi orang baik itu merugikan?
Fenomena Orang yang Dikenal People Pleaser
Sering berbuat baik dan tidak enakan inilah yang menjadi penyebab mengapa kebaikan seseorang selalu disalah gunakan.
Fenomena ini kerap dialami oleh mereka yang people pleaser atau sebutan bagi seseorang yang terlalu takut mengecewakan orang lain, sehingga rela menekan keinginan sendiri, berkata "iya" saat ingin berkata "tidak," dan terus mengorbankan waktu, tenaga, bahkan emosi, demi membuat orang lain nyaman.
Awalnya terlihat sebagai bentuk empati. Namun perlahan, ini bisa berubah menjadi ketergantungan akan validasi eksternal.
Ketika rasa berharga diri hanya datang dari disukai orang lain, maka saat itu pula kita kehilangan pijakan pada identitas dan kebutuhan diri sendiri karena selalu mengutamakan orang lain dan ingin menyenangkan hati orang lain.
Makna dan Bahaya Toxic Altruism
Di sisi lain, sikap people pleaser ini juga disebut sebagai "toxic altruism", yakni sebuah bentuk pengorbanan yang terlihat mulia, tapi merusak diri secara perlahan.
Orang yang terlalu baik sering memikul beban yang bukan miliknya, merasa bersalah jika tidak membantu, atau menoleransi perlakuan buruk karena takut dianggap egois. Padahal, kebaikan sejati tidak menuntut kita untuk terus memberi sampai habis.
Kebaikan tanpa batas bisa menjadi bumerang yang membuat kita kelelahan, terluka, bahkan kehilangan harga diri.
Batas antara kebaikan dan kehilangan diri sangatlah tipis. Di sinilah pentingnya membedakan antara 'being kind' dan 'being nice'. "Kind" berasal dari niat tulus tanpa mengorbankan integritas diri.
Sementara "nice" sering kali muncul karena tekanan sosial atau rasa takut ditolak. Menjadi baik bukan berarti selalu setuju, selalu membantu, atau tidak pernah marah.
Justru dengan menetapkan batasan yang sehat, kita menunjukkan bahwa kita menghargai diri sendiri sama seperti kita menghargai orang lain.
Sayangnya, masyarakat sering memberi label buruk pada mereka yang mulai bersikap tegas. Orang yang mulai berkata jujur dianggap berubah. Yang mulai menetapkan batas dianggap “jahat.”
Padahal, itu adalah bentuk keberanian untuk tetap baik tanpa harus tersakiti. Kita tidak harus menyenangkan semua orang. Kita hanya perlu menjadi orang baik yang juga adil pada diri sendiri.
Akhirnya, menjadi baik bukan tentang berapa banyak yang bisa kita beri, tapi seberapa tulus kita memberi tanpa mengorbankan diri.
Kebaikan yang sehat dimulai dari keberanian untuk mengatakan "cukup," dari kemampuan mencintai diri tanpa merasa bersalah.
Karena orang baik yang tidak belajar menjaga dirinya sendiri, lama-lama akan habis bukan karena jahatnya dunia melainkan karena tak tahu kapan harus berhenti dan justru merusak diri sendiri dengan sikapnya.
Jadi, menjadi pribadi yang baik harus tetap ditanamkan dalam diri sendiri tanpa memerlukan imbalan ataupun pujian, tetapi tetap kamu harus berani mengekspresikan diri dan tahu tempat.
Jangan sampai mengorbankan diri demi menyenangkan orang lain. Karena jika kita terluka, orang lain tidak akan peduli dan hanya dirimu sendirilah yang mampu mengerti.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Mangrove dan Manusia Pelajaran tentang Kesabaran yang Tak Instan
-
Menaklukkan atau Bertahan? Belajar Harmoni dengan Alam dari Cara Hidup Masyarakat Pesisir
-
Laut Mengambil Kembali Haknya: Belajar Etika Ekologi dari Abrasi
-
Kegigihan Pesisir: Ketahanan yang Dipikul oleh Nelayan dan Para Perempuan
-
Siap Rilis Januari 2026, Sinopsis 28 Years Later: The Bone Temple
Artikel Terkait
-
Berbagi di Ramadan: Satu Kebaikan Bisa Menginspirasi Banyak Orang
-
Kebaikan Nikita Mirzani Yang Tidak Diketahui Banyak Orang, Kini Ditahan Kasus Pemerasan
-
Ramadhan Jazz Festival Siap Digelar Kembali: Jadikan Musik sebagai Jembatan Kebaikan
-
13 November Memperingati Hari Apa? Ada 2 Perayaan Penting di Hari Ini
-
Raffi Ahmad Lupa Kebaikan Sendiri: Beli Mobil untuk Biaya Kaki Palsu Seorang Anak, tapi Barangnya Tak Pernah Diambil
Kolom
-
Ketika Rumah Tak Lagi Ramah: Anak yang Tumbuh di Tengah Riuh KDRT
-
Menggugat Indeks Kepercayaan Polri di Akhir Tahun, Publik Bertanya: Bagaimana di Lapangan?
-
Kritik Penanganan Bencana dan Ancaman bagi Mereka yang Mengingatkan
-
Reformasi yang Direvisi Diam-Diam: Apa yang Sebenarnya Hilang di 2025?
-
Jebakan Euforia Kolektif: Menelaah Akar Psikologis Perayaan Tahun Baru yang Merusak
Terkini
-
4 Drama Korea Bertema Hukum Dibintangi yang Jung Kyung Ho, Layak Ditonton!
-
3 Micellar Water dengan Ekstrak Blueberry untuk Kulit Bersih dan Segar
-
Waspada Ancaman Digital: Kenali dan Atasi Virus Komputer
-
Mulan Jameela Bangga, Tiara Savitri Lolos S2 di New York University SPS
-
Oblivion Battery Season 2 Rilis Visual Teaser Baru, Dipastikan Tayang 2027