Lintang Siltya Utami | Budi Prathama
Ilustrasi kekerasan terhadap anak. (Pixabay.com/@Counselling)
Budi Prathama

Kita sering menganggap rumah sebagai tempat paling aman di dunia. Tempat pulang, tempat berlindung, tempat segalanya seharusnya baik-baik saja. Sayangnya, anggapan itu tidak berlaku bagi semua anak. Bagi sebagian dari mereka, rumah justru menjadi ruang penuh ketegangan, tempat suara bentakan lebih sering terdengar daripada kata-kata hangat.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi masalah yang terus berulang di berbagai lapisan masyarakat. Meski anak tidak selalu menjadi korban langsung, mereka hampir selalu menjadi saksi. Dan menjadi saksi kekerasan, percaya atau tidak, sama menyakitkannya. Anak melihat, mendengar, dan merasakan semuanya, meskipun orang dewasa kerap berpura-pura bahwa anak “tidak tahu apa-apa”.

Bagi anak, rumah semestinya menjadi tempat paling aman untuk tumbuh. Namun ketika pertengkaran, ancaman, atau kekerasan justru hadir di ruang makan dan kamar tidur, rasa aman itu pelan-pelan runtuh. Anak belajar bahwa rumah bukan lagi tempat berlindung, melainkan tempat untuk waspada. Dari sinilah masalah mulai tumbuh, diam-diam, tanpa suara.

Anak-anak memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka mungkin tidak memahami konflik orang tua secara utuh, tetapi mereka bisa merasakan ketegangan. Anak yang terbiasa hidup di tengah konflik sering menunjukkan perubahan perilaku. Ada yang menjadi lebih pendiam, lebih penakut, atau gampang cemas. Ada pula yang kesulitan fokus di sekolah, nilainya menurun, dan tampak tidak lagi bersemangat menjalani hari.

Gangguan tidur, mimpi buruk, hingga kehilangan minat bermain juga bukan hal yang jarang. Padahal, bermain adalah dunia anak. Ketika dunia itu ikut runtuh, kita patut bertanya: seberapa besar luka yang sedang mereka simpan?

Sayangnya, perubahan-perubahan ini sering dianggap sepele. Anak dicap “bandel”, “pemalas”, atau “kurang motivasi”. Padahal, bisa jadi mereka sedang kelelahan secara emosional karena harus tumbuh di lingkungan yang tidak ramah. Anak-anak ini belajar terlalu dini tentang konflik orang dewasa—sesuatu yang seharusnya bukan urusan mereka.

Di sinilah peran orang dewasa menjadi krusial. Tanggung jawab melindungi anak tidak hanya berhenti pada orang tua. Keluarga besar, guru, dan lingkungan sekitar memiliki peran penting untuk memastikan anak tidak merasa sendirian. Kadang, satu orang dewasa yang peduli sudah cukup untuk membuat anak merasa aman dan didengar.

Di sekolah, guru sering menjadi pihak pertama yang menyadari perubahan perilaku anak. Murid yang biasanya ceria tiba-tiba murung, menarik diri, atau prestasinya menurun. Kepekaan guru terhadap tanda-tanda ini sangat penting. Pendekatan yang empatik, obrolan sederhana, hingga rujukan ke layanan konseling bisa menjadi pintu awal bagi pemulihan anak.

Selain itu, edukasi tentang pola pengasuhan yang sehat dan cara menyelesaikan konflik secara dewasa perlu terus digencarkan. Anak tidak seharusnya menjadi penonton apalagi korban dari masalah orang tuanya. Jika konflik memang tak terhindarkan, setidaknya orang dewasa bertanggung jawab untuk tidak menyeret anak ke dalam pusarannya.

Secara hukum, negara sebenarnya sudah menyediakan payung perlindungan. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Perlindungan Anak hadir untuk melindungi korban, termasuk anak. Namun seperti banyak aturan lain, keberadaannya sering kali lebih kuat di atas kertas daripada di lapangan.

Anak yang terdampak KDRT membutuhkan lebih dari sekadar pasal hukum. Mereka memerlukan pendampingan psikologis yang tepat, seperti konseling, terapi bermain, atau aktivitas kreatif yang membantu mereka menyalurkan emosi. Proses pemulihan ini tidak instan dan membutuhkan kesabaran serta konsistensi.

Pada akhirnya, anak yang tumbuh di tengah kekerasan rumah tangga membutuhkan lebih banyak empati daripada penghakiman. Mereka bukan anak “bermasalah”, melainkan anak yang sedang berjuang memahami dunia yang tidak ramah. Dengan kerja sama antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan tenaga profesional, rumah bisa kembali dimaknai sebagai tempat aman, bukan sekadar bangunan, tetapi ruang tumbuh yang layak bagi anak.