Dua puluh tujuh tahun setelah Reformasi 1998, kata “reformasi” masih sering disebut, tapi makin jarang dirasakan. 2025 menjadi tahun yang aneh sekaligus mengkhawatirkan.
Tidak ada satu peristiwa besar yang secara dramatis mengumumkan matinya reformasi. Tidak ada tank di jalanan, tidak ada pula pembubaran parlemen. Yang terjadi justru sebaliknya, reformasi berubah perlahan, rapi, dan sering kali dibungkus bahasa administratif.
Sobat Yoursay, sepanjang 2025, banyak kebijakan dan wacana hukum yang jika dilihat satu per satu tampak teknis dan tidak terlalu menghebohkan. Tapi ketika disusun, ada gerak mundur yang konsisten dari semangat pembatasan kekuasaan menuju normalisasi kewenangan besar negara.
Kita mulai dari wacana revisi sejarah. Ketika negara mulai aktif menata ulang narasi masa lalu, bukan untuk membuka kebenaran, tetapi untuk merapikan citra, di situlah reformasi terancam mati.
Reformasi lahir dari keberanian mengakui luka sejarah, seperti pelanggaran HAM, kekerasan negara, dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun di 2025, justru muncul upaya menyederhanakan masa lalu, mengaburkan tanggung jawab, bahkan memoles figur-figur bermasalah dengan simbol kehormatan. Sejarah kini tidak lagi diperlakukan sebagai ruang refleksi, melainkan alat legitimasi.
Lalu kita melihat RUU TNI. Reformasi dulu dengan tegas memisahkan militer dari ruang sipil. Prinsipnya, senjata tidak boleh mengatur kehidupan warga.
Tapi di 2025, pembahasan RUU TNI kembali membuka pintu bagi perluasan peran militer di ranah non-pertahanan. Alasannya selalu sama, demi stabilitas, efisiensi, dan ketertiban. Kata-kata ini terdengar rasional, sampai kita ingat bahwa stabilitas versi Orde Baru juga dibangun dengan menekan kebebasan.
UU Penyiaran tidak kalah mengusik. Aturan yang memberi ruang lebih besar bagi negara untuk mengawasi, mengendalikan, bahkan menghentikan konten siaran, memperlihatkan kecemasan lama terhadap suara publik.
Reformasi dulu membuka kebebasan pers setelah puluhan tahun dikekang. Kini, dengan dalih etika dan ketertiban, kebebasan itu kembali dipagari. Bukan dengan sensor kasar, tapi dengan pasal-pasal lentur yang bisa ditafsirkan sesuai selera penguasa.
Dan puncaknya, RKUHAP. Revisi hukum acara pidana seharusnya menjadi alat yang melindungi warga dari kesewenang-wenangan aparat. Namun banyak pasal justru memperluas kewenangan penegak hukum dengan kontrol yang minim.
Ketika kritik bermunculan, kita justru diminta untuk judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sobat Yoursay, di sini terlihat jelas bagaimana tanggung jawab politik dialihkan menjadi urusan hukum semata. Seolah-olah tugas wakil rakyat selesai begitu palu diketuk.
Yang hilang dari semua ini adalah ruh reformasi itu sendiri. Reformasi berarti membangun kesadaran bahwa kekuasaan harus dibatasi, diawasi, dan selalu bisa dikritik.
Tahun 2025 justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Kritik dianggap gangguan. Diskusi dibubarkan. Dan aktivisme distereotipkan sebagai keresahan yang menghambat pembangunan.
Ironisnya, semua ini terjadi tanpa kegaduhan besar. Kebijakan datang bergantian, isu bergeser cepat, dan masyarakat dipaksa lelah sebelum sempat merangkai perlawanan. Inilah mungkin strategi paling efektif untuk melemahkan reformasi, bukan dengan membatalkannya secara frontal, tapi dengan menggerogotinya sedikit demi sedikit.
Namun seperti semua proses politik, kemunduran ini bukan tak terelakkan. Sepanjang 2025, penolakan tetap muncul. Mahasiswa turun ke jalan, masyarakat sipil bersuara, jurnalis membongkar kejanggalan, dan warga biasa mulai berani bertanya. Reformasi mungkin direvisi diam-diam, tapi kesadaran publik belum sepenuhnya dibungkam.
Akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk berhenti sejenak dan menarik garis. Jika kita menganggap semua ini sebagai hal biasa, maka tahun-tahun ke depan hanya akan terjadi hal yang sama.
Tapi jika kita mulai menghubungkan titik-titiknya, maka kita akan sadar bahwa yang dipertaruhkan bukan sekadar undang-undang, melainkan arah bangsa.
Sobat Yoursay, reformasi tidak akan runtuh dengan ledakan. Tapi reformasi bisa hilang karena kita terlalu lelah untuk menjaganya.
Baca Juga
-
Setahun Menghela Napas: Mengapa 2025 Terasa Lebih Melelahkan?
-
Internet Cepat, Nalar Lambat: Urgensi Literasi Kritis di Era Digital
-
Harapan di Ujung Tahun: Apa yang Masih Bisa Diselamatkan dari Indonesia?
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
Belajar dari Pembubaran Diskusi Reset Indonesia: Mengapa Ruang Diskusi Perlu Dilindungi
Artikel Terkait
-
Kaleidoskop DPR 2025: Dari Revisi UU Hingga Polemik Gaji yang Tuai Protes Publik
-
Rayakan 30 Tahun Berkarya, Tipe-X Bongkar Sejarah Lagu 'Genit' di Big Bang Festival 2025
-
Catatan Buruk Rupiah di 2025: Sempat Tembus Rp16.800, Menjadi Mata Uang Terlemah Kedua di Asia
-
Gagal Juara Piala AFF Futsal U-19 2025, Pelatih Apresiasi Perjuangan Timnas Indonesia U-19
-
Hasil Piala AFF Futsal U-19: Ditekuk Thailand, Indonesia Harus Puas Jadi Runner-up
Kolom
-
Jebakan Euforia Kolektif: Menelaah Akar Psikologis Perayaan Tahun Baru yang Merusak
-
Antara Sumpah 'Rela Mati' Prabowo dan Kepungan Sengkuni Modern
-
Nasib Generasi Sandwich: Roti Tawar yang Kehilangan Cita-Cita
-
Di Balik Kilau Kembang Api: Psikologi Normalisasi Polusi dalam Perayaan
-
Bukan Sekadar Resolusi: Tahun Baru sebagai Ruang Belajar dan Resiliensi
Terkini
-
Teror Tawa di Tengah Malam: Hantu Penunggu Kios Sayur
-
5 Outfit Dinner Malam Tahun Baru ala Park Bo Young buat Look Fresh dan Manis
-
Resmi Cabut Laporan, Inara Rusli Pilih Patuh sebagai Istri Insanul Fahmi
-
CERPEN: Tata Cara Mati dengan Bahagia
-
Erick Thohir Disebut Tak Ikut Campur soal Pemilihan Pelatih Baru, Kok Bisa?