Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | siti nurrobani
SPF UGM Tuntut Pencairan Tukin Dosen (DocPribadi/Nurrobani)

Pada 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial Hindia Belanda yang eksklusif, elitis, dan bersifat segregatif. Pendidikan versi kolonial saat itu dirancang hanya untuk kalangan tertentu yang diharapkan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan kolonial—tenaga terampil yang tunduk pada sistem, bukan yang membebaskan rakyat.

Mengutip (Wiryopranoto dkk., 2017) Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan adalah alat politik dan sosial untuk memanusiakan manusia. Ia menyebut pendidikan sebagai proses yang harus membentuk kepribadian manusia yang merdeka, serta berakar pada nilai-nilai kebudayaan lokal, kesetaraan sosial, dan kehendak untuk hidup bersama secara damai. Dalam bahasanya, pendidikan bukan hanya untuk mencetak ahli, tetapi juga untuk “memayu hayuning bawana”—menjaga keharmonisan hidup dan dunia.

Lebih jauh, semangat populisme Ki Hadjar Dewantara yang berpihak pada wong cilik membuatnya berusaha menutup jurang sosial antara bangsawan dan rakyat biasa. Ia percaya bahwa pendidikan yang merata adalah fondasi penting untuk membangun demokrasi sejati, yakni yang berakar pada kehendak dan kebutuhan rakyat banyak.

PTN-BH dan Kapitalisasi Pendidikan Tinggi

Seabad setelah Taman Siswa berdiri, pendidikan di Indonesia justru semakin menjauh dari cita-cita KHD. Transformasi banyak perguruan tinggi negeri menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri – Badan Hukum) sejak tahun 2012 mencerminkan pergeseran besar dalam orientasi institusi pendidikan tinggi: dari lembaga publik menjadi entitas semi-korporat yang tunduk pada logika pasar.

Otonomi yang diberikan melalui status PTN-BH awalnya dimaksudkan agar kampus bisa lebih mandiri, responsif, dan inovatif. Namun dalam praktiknya, banyak kampus justru terjebak dalam semangat kapitalisme akademik. Pendidikan berubah menjadi komoditas, bukan lagi sebagai hak yang harus dipenuhi secara cuma-cuma. Mahasiswa dilihat sebagai konsumen dan dosen sebagai penyedia jasa pengetahuan yang harus bersaing demi tunjangan atau indeks kinerja.

Fenomena ini tampak jelas dalam kasus di Universitas Gadjah Mada baru-baru ini. Dalam Nurrobani & Sitepu (2025), memaparkan bagaimana para Serikat Pekerja Fisipol (SPF) UGM melakukan aksi solidaritas untuk menuntut tunjangan kinerja (Tukin) para dosen ASN. Hak mereka yang tak kunjung dipenuhi dari tahun 2020 ini mencerminkan bagaimana sistem PTN-BH mengabaikan kesejahteraan dosen, menjadikan mereka bagian dari mesin produksi akademik yang diukur dengan efisiensi dan angka. 

Sistem PTN-BH justru mengaburkan nilai-nilai penting dalam profesi dosen, seperti tanggung jawab moral, kebebasan berpikir, dan penghargaan atas kerja intelektual. Dosen didorong untuk terus mengejar angka dan target, seperti jumlah publikasi atau besar dana hibah—sementara hak dasar mereka seperti tunjangan kinerja justru diabaikan.

Akibatnya, dosen tidak lagi dipandang sebagai pendidik yang merdeka, melainkan sebagai pekerja akademik yang harus mengikuti logika untung-rugi pendidikan kapitalis. Otonomi yang seharusnya memberi kebebasan bagi kampus malah dipakai untuk menekan dosen agar terus “produktif”, tanpa jaminan kesejahteraan yang adil. Hal ini menunjukkan bahwa PTN-BH, alih-alih memerdekakan, justru bisa memperkuat ketimpangan dan ketidakadilan di dalam kampus.

Pendidikan Kolonial dalam Wajah Baru

Situasi ini mengajak kita untuk melakukan refleksi mendalam. Apakah sistem pendidikan kita hari ini sungguh telah merdeka dari pengaruh kolonial? Jawabannya yakni, tidak sepenuhnya. Justru dalam banyak hal, pendidikan hari ini mereproduksi logika pendidikan kolonial, hanya dalam bentuk yang lebih tersembunyi.

Jika dahulu pendidikan kolonial bersifat elitis, materialistik, dan bertujuan mencetak tenaga kerja tunduk, kini hal itu dilakukan melalui sistem kapitalisme pendidikan: kampus sebagai korporasi, mahasiswa sebagai konsumen, dan dosen sebagai buruh.

Hal yang paling mengkhawatirkan adalah sistem ini dijalankan dengan bantuan oligarki dan modal besar. Pendanaan riset, beasiswa, hingga infrastruktur kampus kini seringkali bergantung pada sponsor korporat, lembaga donor, atau kerjasama industri yang tak jarang mempengaruhi arah kurikulum, nilai ilmiah, dan independensi akademik. Pendidikan tinggi menjadi semakin eksklusif dan menyingkirkan rakyat kecil, memperluas jurang antara mereka yang bisa mengakses pendidikan berkualitas dan mereka yang tidak.

Demokrasi yang Terancam oleh Tirani Pasar

Ki Hadjar Dewantara membayangkan pendidikan sebagai fondasi dari demokrasi, yakni pemerintahan rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, demokrasi ini kini terancam oleh tirani pasar. Sistem pendidikan yang dikapitalisasi hanya menguntungkan segelintir elit ekonomi dan merugikan kepentingan kolektif rakyat.

Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang menyatukan rakyat dan bangsa, seperti yang dikatakan Ernest Renan (dalam Wiryopranoto dkk., 2017) bahwa bangsa adalah keinginan untuk hidup bersama. Namun hari ini, pendidikan justru menjadi mekanisme pemisah yang memperdalam ketimpangan sosial dan memperkuat dominasi kelas atas.

Kembali ke Akar, Melawan Komodifikasi Pendidikan

Sudah waktunya kita mengevaluasi arah transformasi pendidikan di Indonesia. Alih-alih menjadi wahana pembebasan, pendidikan kini lebih mirip ladang bisnis. Jiwa dari Taman Siswa harus dihidupkan kembali, bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai landasan kritik terhadap sistem yang sedang berjalan.

Pendidikan bukan komoditas, bukan mesin korporasi, dan bukan alat oligarki. Pendidikan adalah hak rakyat dan jembatan menuju keadilan sosial. Jika kita ingin demokrasi yang kuat, kita harus mulai dari kampus yang adil. Jika kita ingin bangsa yang merdeka, kita harus punya pendidikan yang membebaskan. Terakhir, jika kita masih menghormati warisan Ki Hadjar Dewantara, kita tidak boleh tinggal diam ketika pendidikan dijadikan alat akumulasi modal.

Referensi: 

  • Nurrobani, S., & Sitepu, G. (2025, February 15). Gemuruh Aksi Solidaritas SPF UGM: Tuntut Pencairan Tukin Dosen ASN. LPPM Sintesa Fisipol UGM.
  • Wiryopranoto, S., Prof. Dr. Nina Herlina, M. S, Prof. Dr. Djoko Marihandono, & Dr. Yuda B Tangkilisan. (2017). Ki Hajar Dewantara, pemikiran dan perjuangannya. Museum Kebangkitan Nasional, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.

siti nurrobani