Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Alfino Hatta
Sejarah dan Perkembangan Taman Siswa, Pusat Pendidikan yang Mengubah Indonesia (Dok/tamansiswapusat.com)

Pendidikan Indonesia memiliki fondasi kuat dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh perintis pendidikan nasional yang memandang pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia, memerdekakan jiwa, dan membentuk karakter bangsa.

Melalui Taman Siswa, ia memperjuangkan pendidikan yang berkeadilan, berbasis budaya, dan inklusif, yang tetap relevan dalam konteks pendidikan masa kini.

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Lahirnya Taman Siswa

Ki Hadjar Dewantara, lahir sebagai Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889, merupakan tokoh yang menentang sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif. Ia mengkritik kebijakan yang hanya memberikan akses pendidikan bagi kalangan elite dan Eropa.

Tulisan-tulisannya yang kritis menyebabkan pengasingannya ke luar negeri oleh pemerintah kolonial pada 1913. Namun, masa pengasingan tersebut justru menjadi momentum baginya untuk memperdalam ilmu pendidikan.

Sekembalinya ke Indonesia, ia mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta. Lembaga ini bukan sekadar institusi pendidikan formal, melainkan simbol perlawanan terhadap kolonialisme melalui pendidikan.

Taman Siswa menekankan pendidikan yang berpihak pada rakyat, menghargai identitas budaya, serta menekankan kemerdekaan berpikir dan pengembangan karakter.

Salah satu warisan paling terkenal dari Ki Hadjar adalah prinsip Patrap Triloka, yaitu:

  • Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberi teladan),
  • Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat),
  • Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).

Prinsip ini mengubah paradigma guru dari sosok otoritatif menjadi fasilitator pembelajaran. Menurut arsip Yayasan Taman Siswa, pada tahun 1940, lebih dari 6.000 siswa telah terdaftar di jaringan Taman Siswa, mencerminkan keberhasilannya dalam memperluas akses pendidikan bagi rakyat pribumi.

Pendekatan dalam Pendidikan Kontemporer

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tetap relevan dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini. Filosofi “memerdekakan manusia” sejalan dengan visi Kurikulum Merdeka, yang menekankan pembelajaran yang kontekstual dan fleksibel.

Program ini, yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), bertujuan mengembangkan potensi siswa sesuai dengan kodrat alam dan zamannya.

Salah satu aspek penting dari pemikiran Ki Hadjar adalah pentingnya muatan lokal dalam pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan harus mencerminkan budaya, bahasa, dan nilai-nilai lokal.

Data Kemendikbudristek mencatat bahwa 78% sekolah di Indonesia telah mengintegrasikan muatan lokal dalam kurikulum, yang terbukti meningkatkan partisipasi dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran budaya.

Ki Hadjar juga mengadvokasi pendidikan yang inklusif dan bebas diskriminasi. Visi ini kini diwujudkan dalam berbagai program oleh organisasi nirlaba seperti Yayasan Sayangi Tunas Cilik, yang sejak 2020 telah membantu lebih dari 10.000 anak di daerah terpencil seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua untuk mengakses pendidikan berkualitas. Program tersebut berhasil mengurangi kesenjangan pendidikan hingga 15% di wilayah sasaran.

Di samping itu, Ki Hadjar menekankan pendidikan karakter, yang kini diimplementasikan melalui program Profil Pelajar Pancasila. Program ini bertujuan membentuk generasi yang religius, kreatif, berpikir kritis, dan berintegritas.

Menurut survei Kemendikbudristek, 85% siswa yang terpapar pendidikan karakter ini menunjukkan kemampuan lebih baik dalam menyelesaikan konflik dan berinteraksi secara etis.

Strategi Implementasi dalam Praktik Pengajaran

Untuk membawa pemikiran Ki Hadjar Dewantara ke dalam praktik, diperlukan strategi implementasi yang terarah:

1. Pengembangan Potensi Siswa Secara Personal

Pendidikan harus berfokus pada pengenalan dan pengembangan potensi setiap individu. Guru dapat melakukan asesmen awal seperti observasi dan wawancara untuk memahami bakat dan minat siswa.

Yayasan Sayangi Tunas Cilik mencatat bahwa pendekatan personal meningkatkan keterlibatan siswa hingga 25% di lingkungan sekolah inklusif.

2. Integrasi Budaya Lokal dan Nilai Sosial

Pembelajaran yang kontekstual dapat dilakukan dengan mengintegrasikan budaya lokal dalam materi ajar. Misalnya, seni wayang kulit dapat digunakan sebagai media pembelajaran sejarah atau sastra.

Di banyak sekolah, kegiatan seperti hari budaya dan proyek seni daerah terbukti memperkuat identitas siswa dan meningkatkan penghargaan terhadap keberagaman budaya.

3. Pendidikan Inklusif dan Berbasis Karakter

Pendidikan harus menjangkau semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Model pembelajaran kolaboratif yang melibatkan siswa dari latar belakang berbeda dapat menumbuhkan toleransi dan empati.

Nilai-nilai Pancasila, seperti gotong royong dan keadilan sosial, sebaiknya ditanamkan melalui kegiatan diskusi, studi kasus, dan simulasi.

4. Pembelajaran Berbasis Proyek dan Kemandirian

Pendekatan project-based learning memungkinkan siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreativitas.

Contoh proyek seperti kampanye pelestarian budaya lokal atau pengembangan media digital tentang kearifan lokal dapat meningkatkan keterampilan abad 21. Data Kemendikbudristek menunjukkan bahwa model ini meningkatkan keterampilan problem solving hingga 40%.

5. Kolaborasi dengan Lembaga Pemerintah dan Nirlaba

Penerapan pendidikan berbasis nilai memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Program pelatihan guru dari Kemendikbudristek telah menjangkau lebih dari 1,2 juta guru sejak 2020.

Selain itu, kerja sama dengan organisasi nirlaba dapat memperkuat kapasitas sekolah dalam menghadirkan pendidikan inklusif dan berkualitas.

6. Komunitas Belajar Berkelanjutan

Pembentukan komunitas belajar di sekolah melibatkan guru, siswa, dan orang tua dalam diskusi rutin mengenai strategi pembelajaran.

Komunitas ini dapat menjadi ruang refleksi dan berbagi praktik baik. Platform digital seperti webinar dan forum daring juga dapat memperluas jaringan antarpendidik dan meningkatkan literasi pedagogis.

Tantangan dan Peluang

Implementasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara menghadapi sejumlah tantangan, antara lain keterbatasan fasilitas sekolah di daerah tertinggal.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa 60% sekolah di wilayah terpencil kekurangan infrastruktur dasar dan sumber belajar. Selain itu, resistensi terhadap perubahan kurikulum juga menjadi kendala dalam proses transformasi pendidikan.

Namun, dukungan kebijakan seperti Kurikulum Merdeka dan kolaborasi lintas sektor telah membuka peluang besar untuk menerapkan pendekatan pendidikan yang lebih manusiawi, inklusif, dan kontekstual. Peran aktif guru, kepala sekolah, dan masyarakat sangat penting untuk memastikan keberlanjutan transformasi ini.

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara melalui Taman Siswa merupakan warisan intelektual yang tetap relevan dalam membangun sistem pendidikan nasional. Sekolah tidak hanya menjadi tempat transmisi pengetahuan, tetapi juga arena perjuangan untuk memerdekakan, memanusiakan, dan membentuk karakter.

Dengan menerapkan prinsip Patrap Triloka, pendidikan dapat menjadi proses yang membebaskan, membangun, dan mendorong potensi peserta didik.

Melalui integrasi budaya, pendekatan inklusif, serta kolaborasi lintas sektor, pendidikan Indonesia dapat bergerak menuju cita-cita luhur: menciptakan generasi yang cerdas, berkarakter, dan bangga akan identitas budayanya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Alfino Hatta