Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Tentara Nasional Indonesia (Puspen TNI)

Bayangkan kampus tempat kamu kuliah tiba-tiba didatangi seragam loreng. Dosen tamu bukan lagi profesor atau peneliti, tapi perwira aktif TNI. Ruang diskusi yang dulu bebas kini dibayangi rasa was-was.

Inilah skenario yang sedang diwacanakan pemerintah—memasukkan militer ke dunia kampus dengan dalih 'kerja sama akademik'.

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, menegaskan bahwa kampus adalah ruang terbuka bagi siapa saja yang ingin bekerja sama—termasuk Tentara Nasional Indonesia.

Kata beliau, TNI bisa terlibat dalam pengajaran, pengisian materi, bahkan riset. Bahkan menurutnya, hal ini sudah berjalan di beberapa universitas.

Pertanyaannya: perlu nggak sih tentara aktif terlibat dalam dunia akademik? Atau jangan-jangan, ini upaya sistematis menjinakkan kritisisme mahasiswa?

Kampus adalah tempat lahirnya ide, tempat mahasiswa bertanya tanpa takut, mengkritik tanpa ancaman, dan menumbuhkan nalar kritis. Dari kampus pula lahir gerakan reformasi, perubahan sosial, hingga kritik tajam terhadap kebijakan negara.

Ketika aktor militer masuk ke dalam kampus, wajar jika publik merasa waswas. TNI bukan lembaga sipil. Ia punya struktur komando, punya kewenangan, dan punya sejarah panjang—yang kadang tidak selaras dengan prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.

Jadi, meskipun disampaikan dalam konteks riset atau kuliah umum, kehadiran tentara di ruang akademik tetap memunculkan kekhawatiran: apakah benar ini sebatas “sharing ilmu”, atau ada agenda tersembunyi yang membayangi?

Kekhawatiran terhadap masuknya TNI ke kampus juga tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang dwifungsi ABRI—konsep lama yang pernah memberi ruang bagi militer untuk berperan ganda: sebagai alat pertahanan negara sekaligus sebagai aktor politik dan sosial.

Selama puluhan tahun, dwifungsi ini membuat militer tak hanya hadir di barak, tapi juga duduk di parlemen, memimpin lembaga sipil, hingga mengawasi dunia pendidikan.

Di masa Orde Baru, militer punya peran sangat kuat dalam mengawasi dan bahkan mengendalikan aktivitas kampus. Dosen yang kritis bisa diberangus, mahasiswa yang vokal bisa “hilang”. Kampus bukan lagi menjadi pusat ilmu, tapi pusat ketakutan.

Reformasi 1998 sejatinya hadir untuk mengakhiri dominasi itu dan mengembalikan militer ke barak. Lalu sekarang, ketika wacana seperti ini muncul kembali, trauma masa lalu itu otomatis ikut terangkat ke permukaan.

Apalagi jika tak ada batasan jelas, tak ada transparansi, dan tak ada jaminan bahwa kehadiran mereka tidak digunakan untuk membentuk opini, mengontrol narasi, atau membungkam kritik.

Kehadiran TNI di kampus, meskipun dibungkus dengan narasi "kerja sama akademik" atau "pengayaan materi," tetap punya potensi besar untuk mengganggu ekosistem berpikir kritis. Bukan soal alergi terhadap militer, tapi soal menjaga keseimbangan kekuasaan dan kebebasan.

Ini bukan paranoid. Ini logika sehat dari sejarah panjang yang pernah kita jalani.

Kita tidak sedang mengatakan bahwa TNI harus dijauhkan sepenuhnya dari dunia kampus. Tentu saja ada ruang kerja sama yang masuk akal. Dunia akademik bisa menjadi mitra strategis bagi TNI dalam konteks riset dan pengembangan pertahanan—dengan syarat ada transparansi, batasan yang jelas, dan tujuan yang terukur.

Prinsip dasarnya jelas dan tidak bisa ditawar: kampus adalah zona sipil. Bukan cuma di atas kertas, tapi dalam semangat dan atmosfernya.

Di kampus, hierarki militer tidak berlaku. Tidak ada "perintah", yang ada adalah argumen. Tidak ada "siap komandan", yang ada adalah "saya tidak setuju, dan ini alasannya".

Begitu batas antara sipil dan militer mulai kabur, otonomi akademik ikut terancam. Dosen mulai menimbang kata saat mengajar. Mahasiswa menyensor pikirannya sendiri sebelum angkat tangan. Diskusi jadi kaku, riset jadi selektif, dan kritik terhadap isu pertahanan—yang seharusnya sah dalam demokrasi—jadi barang tabu.

Ini bukan suasana kampus yang sehat. Ini cikal bakal sunyinya ruang intelektual karena atmosfer yang dicekam “rasa tidak enak.”

Kampus bukan barak militer, dan mahasiswa bukan prajurit yang harus patuh tanpa reserve. Jika hari ini kita diam ketika TNI masuk lewat pintu akademik, besok kita mungkin tak bisa protes ketika mereka mengatur kurikulum, memilih dosen, atau membungkam suara kritis.

Sejarah sudah mengajarkan betapa mahal harga yang harus dibayar ketika militer dan akademis bercampur—jangan biarkan kita mengulangi kesalahan yang sama.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fauzah Hs