Baru-baru ini, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali unjuk diri lewat video di kanal YouTube pribadinya. Setelah sebelumnya ia membahas mengenai Bonus Demografi, kali ini Gibran juga mengangkat judul yang cukup ambisius: "Hilirisasi dan Masa Depan Indonesia".
Dalam video itu, Gibran menjelaskan pentingnya hilirisasi untuk memperkuat ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ia menegaskan bahwa memiliki kekayaan sumber daya alam saja tidak cukup. Tantangan sesungguhnya justru ada pada bagaimana kita mampu mengolah kekayaan itu menjadi produk bernilai tambah tinggi.
Secara prinsip, apa yang disampaikan Gibran benar. Konsep hilirisasi memang telah menjadi bagian penting dalam strategi pembangunan ekonomi Indonesia, terutama untuk keluar dari ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Namun, penyampaian Gibran dalam video ini terasa terlalu dangkal.
Padahal, hilirisasi adalah isu kompleks yang membutuhkan pembahasan lebih dalam, lebih rinci, dan tentu saja, harus berbasis pemahaman nyata, bukan hanya membaca teks.
Hilirisasi bukan sekadar soal mengolah daun teh menjadi teh aromatik, sebagaimana contoh yang diberikan Gibran.
Hilirisasi membutuhkan infrastruktur industri yang kuat, sistem logistik yang efisien, ketersediaan tenaga kerja terampil, riset dan inovasi teknologi, serta kebijakan fiskal dan investasi yang konsisten.
Menyampaikan hilirisasi sebatas "mengeringkan daun teh" tentu saja tidak cukup untuk menggambarkan tantangan besar yang sedang dihadapi bangsa ini.
Kritik publik terhadap video ini sebagian besar bermuara pada kekecewaan bahwa komunikasi yang dibangun oleh seorang wakil presiden seharusnya bisa jauh lebih berbobot.
Bukan hanya membaca narasi yang ditulis timnya, melainkan juga menunjukkan penguasaan materi, visi yang jelas, dan komitmen terhadap solusi.
Masyarakat hari ini lebih kritis. Mereka bukan hanya menilai isi pesan, tetapi juga kredibilitas pembawa pesan.
Mereka bisa membedakan mana pidato berisi, mana pidato hasil bacaan. Mana pemimpin yang menguasai masalah, mana yang sekadar cosplay sebagai pemimpin demi konten.
Ketika video tersebut terasa dangkal dan terbaca hanya seperti formalitas komunikasi politik, wajar jika publik mempertanyakan: Apakah para pemimpin kita sungguh memahami masalah yang mereka bicarakan?
Apalagi di tengah ekonomi yang semakin berat, lapangan kerja sulit, harga-harga melambung — rakyat butuh pemimpin yang bisa menawarkan solusi nyata, bukan sekadar video ala seminar motivasi online.
Kekhawatiran ini beralasan, mengingat posisi Gibran sebagai wakil presiden membawa tanggung jawab besar dalam arah pembangunan nasional, termasuk soal hilirisasi.
Hilirisasi itu proyek besar. Bukan cuma soal mengeringkan daun teh atau memoles produk tambang.
Ini soal membangun industri, memperkuat rantai pasok nasional, memperbaiki infrastruktur, meningkatkan kualitas tenaga kerja, melawan korupsi di sektor sumber daya alam, hingga membenahi regulasi investasi yang tumpang tindih.
Satu saja dari persoalan ini tidak beres, maka mimpi hilirisasi hanya akan berakhir sebagai jargon kampanye.
Atau dalam kasus ini, sebagai konten YouTube bertema patriotisme instan.
Sebagai bagian dari generasi muda yang kini berada di puncak kekuasaan, Gibran sebenarnya memiliki peluang besar untuk membawa warna baru dalam politik nasional.
Namun peluang itu hanya bisa diambil jika ada kesungguhan untuk belajar lebih dalam, berbicara lebih berbobot, dan membuktikan bahwa kehadirannya di panggung kekuasaan bukan semata-mata karena garis keturunan politik.
Video-video edukatif tentang isu strategis seperti hilirisasi sebenarnya penting untuk membangun literasi publik.
Tetapi penting juga untuk memastikan bahwa setiap pesan yang disampaikan bukan sekadar wacana kosong, melainkan benar-benar merepresentasikan pemahaman, pengalaman, dan visi jangka panjang.
Hilirisasi adalah masa depan Indonesia. Ia tidak cukup diperjuangkan dengan pidato singkat atau slogan-slogan menarik.
Ia membutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan komunikasi publik yang jujur serta berbobot.
Harapannya, di masa depan, kita tidak lagi disuguhi narasi besar yang terasa kecil dalam eksekusi. Kita butuh pemimpin yang benar-benar menghidupkan gagasan besar itu menjadi gerakan nyata, kebijakan konkret, dan perubahan yang bisa dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
Membangun masa depan tidak pernah cukup dengan sekadar bicara. Masa depan dibangun oleh mereka yang sungguh-sungguh memahami tantangannya dan berani menghadapi realitas, bukan sekadar membacakan teks.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Program 3 Juta Rumah: Solusi atau Beban Baru Rp14,4 Triliun per Tahun?
-
Janji Mundur atau Strategi Pencitraan? Membaca Ulang Pernyataan Prabowo
-
Prabowo Tunjuk Jenderal BIN Jadi Dirjen Bea Cukai: Loyalitas di Atas Kompetensi?
-
Prioritas yang Salah: Ketika Baznas Pilih Beli Mobil Ketimbang Bantu Rakyat
-
Efisiensi atau Ilusi? Mengulik RAPBN 2026 di Tengah Ambisi dan Realita
Artikel Terkait
-
Desakan Pemakzulan Gibran: Antara Proses Hukum dan Realitas Politik
-
Monolog Gibran soal Bonus Demografi Dicibir Warganet, Akademisi: Anak Muda Rentan dan Terpinggirkan
-
Monolog Gibran Dibela Wamensesneg: Pekerjaan Pejabat Itu Ya Bicara
-
Setneg Beberkan Alasan Soal Unggahan Video Monolog Gibran di YouTube: Agar Tak Bias
-
Ramai Desakan Ganti Wapres, Pakar Hukum Pernah Bocorkan Caranya: Gibran Bisa Dimakzulkan
Kolom
-
FOMO Membaca: Ketika Takut Ketinggalan Justru Membawa Banyak Manfaat
-
Ketupat Pecel dan Keragaman Rasa yang Menyatukan Keluarga di Hari Raya Lebaran
-
Viral dan Vital: Memaknai Ulang Nasionalisme dalam Pendidikan Digital
-
Boros karena FOLU: Waspada Perilaku Konsumtif dari TikTok Shop
-
Pantai Teluk Asmara: Miniatur Raja Ampat yang Sama-Sama Tersakiti
Terkini
-
Tatap Piala Dunia U-17 2025, Ini Rencana PSSI untuk Timnas Indonesia U-17
-
5 Rekomendasi Buku dari Lima Negara Berbeda, Jalan-jalan Lewat Bacaan!
-
2 Cara agar Browser Bisa Refresh Otomatis Tanpa Capek Klik-Klik Lagi
-
Anti Ribet, Ini 4 Gaya Smart Casual ala Doyoung NCT yang Bisa Disontek
-
7 Rekomendasi Film Garapan Sutradara Wes Anderson, Penuh Warna dan Keunikan