Enam bulan bahkan belum cukup untuk memanen padi dari lahan baru, tapi bagi Joao Angelo De Sousa Mota, waktu itu sudah cukup untuk memutuskan mundur dari kursi Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero).
Apa alasannya?
Joao Mota menyampaikan bahwa dirinya malu karena belum bisa memberi kontribusi berarti bagi negara. Terdengar sederhana, tapi kalau kita cermati, ini lebih dari sekedar alasan.
Agrinas sendiri bukan BUMN yang lahir organik dari kebutuhan pasar. Ia adalah hasil transformasi PT Yodya Karya (Persero), dimasukkan ke dalam holding pangan Danantara yang dikelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Tugasnya membantu mewujudkan kedaulatan pangan, sebuah ambisi besar yang sering digaungkan Presiden Prabowo.
Namun kenyataannya, Agrinas bahkan belum menerima anggaran sejak berdiri. Joao Mota menyebut minimnya dukungan stakeholder sebagai salah satu alasan ia angkat kaki.
Lebih jauh, ia menyoroti pola kerja BPI Danantara yang dinilai terlalu birokratis dan kurang berorientasi bisnis. Kritik ini tidak datang dari sembarang orang. Sebelum di Agrinas, Joao punya rekam jejak di dunia pangan dan industri strategis. Jadi ketika ia bicara soal birokrasi yang menghambat, ada kemungkinan besar masalahnya memang serius.
Di media sosial, ada yang memuji langkah Joao sebagai sifat kesatria, karena memilih mundur ketimbang duduk diam menerima gaji sambil melihat perusahaan stagnan. Ada pula yang menyayangkan, orang dengan visi misi jelas justru tersingkir karena tak mampu mengubah sistem yang membelenggu.
Di sini letak ironi BUMN kita. Banyak yang diberi misi sebesar langit, tapi disuplai sumber daya setinggi lutut.
Kisah ini juga menyingkap paradoks lain, bahwa pemerintah bisa membentuk holding pangan dengan nama gagah, tapi belum tentu menyiapkan infrastruktur dan modal yang memadai.
Agrinas bukan satu-satunya contoh. Sejarah kita penuh dengan BUMN yang lahir dengan tujuan mulia tapi kemudian tersandung karena terjebak di persimpangan politik, birokrasi, dan realita pasar.
Pertanyaannya, mengapa perusahaan yang mengemban misi strategis negara bisa berjalan tanpa anggaran? Apakah ini tanda bahwa proyek ini sebenarnya belum matang dari awal, atau memang ada tarik-ulur politik di baliknya?
Kalau seorang dirut yang baru diangkat saja merasa mustahil bergerak, bagaimana mungkin target besar seperti swasembada beras atau kemandirian pangan bisa tercapai?
Apalagi kalau yang di atas kertas disebut holding ternyata di lapangan hanya jadi kelompok perusahaan yang saling menunggu instruksi dari pusat tanpa inisiatif bisnis yang nyata.
Birokrasi dalam industri pangan terkadang bisa membunuh momentum, telat sehari bisa berarti harga jagung naik, atau beras langka di pasar.
Tapi kalau keputusan pengadaan saja harus melewati meja-meja pejabat yang sibuk rapat koordinasi lintas kementerian, jangan heran kalau lapangan sudah kosong saat mereka akhirnya bertindak.
Terlebih, jabatan di BUMN sering kali bukan murni soal kemampuan profesional, melainkan hasil kalkulasi politik. Direktur utama bisa jadi orang titipan yang diharapkan membawa visi pihak tertentu.
Dalam skenario seperti ini, orang yang terlalu independen atau terlalu vokal soal kekurangan sistem bisa cepat tersingkir atau memilih mundur sebelum dipinggirkan.
Publik sering mendengar ambisi besar soal kedaulatan pangan, tapi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di ruang rapat holding BUMN. Berapa sebenarnya anggaran yang sudah ada, kenapa tidak cair, dan siapa yang memutuskan aliran dana itu tertahan?
Kepergian Joao menjadi bukti rapuhnya fondasi kedaulatan pangan yang sering kita banggakan. Karena tampaknya, sistem kita lebih sibuk menjaga struktur ketimbang memberi ruang bagi eksekusi di lapangan.
Dalam keadaan seperti ini, mundur memang bisa jadi pilihan paling waras. Karena kalau bertahan, ia hanya akan menjadi nama di papan organisasi, sementara impian besar yang dijanjikan kepada publik tetap berada di brosur dan pidato.
Baca Juga
-
Roblox dan Budaya Panik Moral: Apakah Kita Terlalu Cepat Menghakimi?
-
Gamers vs Pemerintah: Polemik Pemblokiran Roblox yang Kontraproduktif
-
Serasa ke Bangkok Tanpa Naik Pesawat: Cerita dari Thai Festival 2025 di Jakarta
-
OpenAI Bikin Sejarah Lagi: GPT-5 Tidak Hanya Cerdas, Tapi Juga Empatik?
-
Merah Putih One For All: Propaganda Politik Berkedok Animasi Anak?
Artikel Terkait
-
Terobosan Energi Hijau: Pertamina Jadi Pelopor SAF di Asia Tenggara dengan Minyak Jelantah
-
Geger! OTT KPK Sasar Direksi BUMN Kehutanan: 9 Orang Diciduk
-
Grup Emiten Boy Thohir Disebut Dapat Diskon Tak Wajar atas Pembelian Solar di Pertamina
-
Danantara Tunjuk Ketua Ormas jadi Komisaris PT KAI
-
Rumah Produksi Film Milik BUMN Apa Saja, Perfiki Kreasindo Termasuk?
Kolom
-
Ada Harga Mahal di Balik Citra Keluarga yang Tampak Harmonis di Luar
-
Paradoks Media Sosial: Semakin Lama Online, Ternyata Semakin Tidak Bahagia
-
Objektifikasi di Balik Akun Kampus Cantik: Siapa yang Diuntungkan?
-
Roblox dan Budaya Panik Moral: Apakah Kita Terlalu Cepat Menghakimi?
-
Generasi Z, UMKM, dan Era Digital: Kolaborasi yang Bikin Bisnis Naik Level
Terkini
-
Sempat Ngobrol dengan VR46, Pedro Acosta: Sebagai Bentuk Rasa Hormat
-
Bikin Jerawat dan Kemerahan Auto Reda! 4 Pelembab Korea Kandungan Tea Tree
-
Review Motorola G86 Power 5G: HP Badak, Baterai Nyaris Nggak Habis-Habis
-
Teknologi dalam Dunia Futsal: Dari Analisis Video hingga Wearable Device
-
Ulasan Novel Dari Arjuna untuk Bunda: Kisah Angst Keluarga Berbalut Trauma