Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi penggunaan laptop di sekolah (Pexels/Agung Pandit Wiguna)

Di negeri ini, laptop sepertinya bukan lagi sekadar perangkat elektronik, tapi semacam “pintu masuk” proyek yang selalu terbuka lebar—bahkan ketika pintu lain di dunia pendidikan masih berderit-derit minta diperbaiki.

Kali ini, giliran Kementerian Sosial yang akan memborong lebih dari 15.000 laptop untuk setiap murid Sekolah Rakyat, dengan anggaran Rp140 miliar.

Anak-anak di Sekolah Rakyat, yang sering berada di wilayah terpencil dan minim fasilitas, akan punya laptop sendiri. Teknologi merata, akses internet terbuka, masa depan cerah.

Di tengah panasnya kasus dugaan korupsi laptop di Kemendikbudristek pada era Nadiem Makarim, publik justru dihadapkan pada hal serupa. Tak heran banyak yang meragukan dan khawatir bahwa kita akan jatuh ke lubang yang sama.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf sudah menegaskan proses pengadaan ini akan terbuka dan didampingi aparat penegak hukum. Janji transparansi terdengar meyakinkan, tapi publik kita sudah terlalu sering disuguhi kalimat serupa sebelum akhirnya membaca berita tersangka baru beberapa bulan kemudian.

Banyak pengamat pendidikan menilai laptop bukan kebutuhan mendesak untuk Sekolah Rakyat, terutama ketika infrastruktur dasar pendidikan masih bolong-bolong.

Di banyak wilayah, anak-anak sekolah masih duduk di bangku reyot, atap kelas bocor, dan buku teks terbatas. Kesejahteraan guru pun kerap jauh dari layak.

Apa gunanya laptop jika listrik di sekolah sering padam, jaringan internet lemah, atau guru bahkan belum dibekali keterampilan mengajar berbasis teknologi?

Masalahnya bukan lagi soal korupsi, melainkan prioritas. Ketika Rp140 miliar diarahkan ke laptop, itu berarti ada hal lain yang dikorbankan.

Di tengah keterbatasan anggaran, setiap rupiah yang dipakai untuk proyek teknologi adalah rupiah yang tidak dipakai untuk memperbaiki toilet sekolah, membeli buku, atau menambah gaji guru.

Tentu ada argumen bahwa teknologi adalah masa depan, dan anak-anak harus dibekali sejak dini. Tapi teknologi bukan sekadar perangkat keras. Teknologi juga butuh listrik stabil, internet memadai, guru terlatih, dan konten pembelajaran yang relevan.

Ada pula yang mempertanyakan, mengapa Kementerian Sosial yang mengambil inisiatif ini, bukan Kementerian Pendidikan?

Memang Sekolah Rakyat ada di bawah program Kemensos, tapi urusan penyediaan sarana belajar seharusnya punya koordinasi erat dengan instansi yang lebih paham kebutuhan pendidikan. Tanpa itu, risiko salah spesifikasi atau pemborosan semakin besar.

Dan kita tahu alasan lain kenapa proyek pengadaan barang selalu populer, karena ada kepastian hasil. Beda dengan program pelatihan guru atau perbaikan kurikulum yang butuh evaluasi jangka panjang, pengadaan laptop langsung terlihat nyata.

Ada barang, ada foto, ada serah terima. Sempurna untuk laporan kinerja—dan, sayangnya, juga sempurna untuk jadi ladang bermain bagi mereka yang lihai mengutak-atik angka.

Dalam dunia politik anggaran, proyek seperti ini selalu punya dua wajah. Satu wajah tampil di depan publik dengan senyum, bicara tentang kesempatan belajar setara bagi semua anak.

Wajah satunya lagi bekerja di balik layar, mengatur spesifikasi, vendor, dan aliran dana. Publik jarang melihat wajah kedua, tapi sering merasakan dampaknya, dari kualitas barang rendah, distribusi lambat, dan manfaatnya minim.

Laptop untuk Sekolah Rakyat bisa menjadi investasi berharga, tapi mungkin juga sekadar proyek yang membuat segelintir orang makin kaya. Bedanya tipis.

Anak-anak mungkin akan menerima laptop itu dengan gembira, tapi tugas kita adalah memastikan mereka menerima manfaat nyata. Karena kalau tidak, Rp140 miliar itu akan menjadi pelajaran pahit, bahwa di negeri ini, pendidikan sering hanya dijadikan alasan, bukan tujuan.

Fauzah Hs