Remaja hari ini hidup di antara dua dunia: dunia nyata yang semakin kompleks dan dunia maya yang menjanjikan pelarian sempurna. Dari layar-layar mungil yang mereka genggam setiap hari, mereka tidak hanya menjelajah medan pertempuran atau dunia fantasi, tetapi juga tanpa sadar menjauh dari dunia nyata dunia keluarga, sekolah, dan relasi sosial yang autentik. Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan baru, melainkan sebuah gejala yang sudah merayap menjadi epidemi kecanduan game online.
Penelitian yang dilakukan Ramadhoni dan Kholidin (2025) dari Institut Agama Islam Negeri Kerinci terbit dalam Jurnal Pembelajaran, Bimbingan, dan Pengelolaan Pendidikan menjadi titik masuk yang penting dalam memahami dinamika ini. Dalam jurnal berjudul Analisis Sistematis Dampak Kecanduan Game Online terhadap Kesehatan Mental, Interaksi Sosial, dan Prestasi Akademik, para peneliti ini mengumpulkan berbagai literatur ilmiah dari lima tahun terakhir (2020–2025) dan menguraikan secara sistematis bagaimana game online telah membentuk ulang perilaku, kesehatan mental, dan kualitas hidup para pemainnya, khususnya kalangan remaja.
Dari hasil kajian tersebut, kita belajar bahwa game online tidak bisa dilihat hanya sebagai hiburan semata. Ia adalah fenomena budaya baru yang kompleks, dengan dampak multidimensional. Di satu sisi, game menawarkan ruang ekspresi, relasi, dan kolaborasi. Namun di sisi lain, terutama ketika dimainkan secara berlebihan dan tanpa kendali, ia dapat menjelma menjadi jebakan digital yang menyeret pemainnya ke dalam isolasi, depresi, dan kegagalan akademik.
Mari kita mulai dari isu kesehatan mental. Penelitian ini menyoroti bagaimana kecanduan game online kerap disertai gangguan tidur, kegelisahan, bahkan depresi. Salah satu temuan menarik adalah bahwa para pemain kerap menunjukkan gejala mirip sindrom putus zat ketika tidak bermain, seperti gelisah, mudah marah, dan kehilangan semangat. Dalam beberapa kasus ekstrem, game menjadi prioritas utama, bahkan mengalahkan kebutuhan dasar seperti makan dan tidur. Kondisi ini bukan hanya soal kurang disiplin, melainkan menyentuh persoalan psikologis yang lebih dalam yaitu pelarian dari tekanan, rasa tidak aman, atau ketidakbahagiaan dalam kehidupan nyata.
Tak dapat dimungkiri, dunia virtual menawarkan apa yang kadang tidak bisa diberikan dunia nyata diantaranya kontrol, kemenangan, pengakuan. Dalam game, seseorang bisa menjadi pemimpin, pejuang, atau penyelamat dunia. Hal ini sangat menggoda, terutama bagi remaja yang sedang mencari jati diri dan sering kali merasa tidak cukup baik di mata keluarga, guru, atau lingkungan sekitarnya. Game memberikan ruang alternatif untuk menunjukkan kemampuan, sekaligus pelarian dari rasa cemas dan kecewa terhadap kehidupan nyata.
Masalah kedua yang dibahas dalam penelitian ini adalah soal interaksi sosial. Game online memang sering digembar-gemborkan sebagai sarana membangun jaringan sosial baru. Namun apakah jaringan itu benar-benar sosial dalam arti sesungguhnya? Ternyata, banyak pemain yang justru mengalami penurunan kemampuan komunikasi interpersonal di dunia nyata. Mereka merasa lebih nyaman berbicara lewat suara di dalam game ketimbang berdialog langsung dengan teman sebaya atau orang tua.
Persoalan ini menjadi dilema baru, keterhubungan digital yang tidak dibarengi dengan keterampilan sosial nyata. Kita menghadapi generasi yang pandai berkoordinasi dalam misi daring, tapi kikuk dalam forum diskusi kelas. Mereka bisa berstrategi secara tim dalam game, tapi gagal membangun empati saat teman sebangku curhat.
Fenomena ini semakin mengkhawatirkan ketika dikaitkan dengan prestasi akademik. Dalam berbagai studi yang dirangkum Ramadhoni dan Kholidin, terlihat jelas bahwa waktu bermain game yang berlebihan berdampak pada penurunan prestasi belajar. Para remaja yang kecanduan game cenderung menunda-nunda tugas sekolah, sulit berkonsentrasi di kelas, dan menunjukkan penurunan motivasi belajar. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, mereka mulai bolos sekolah demi menyelesaikan misi atau mengejar peringkat tertentu dalam permainan.
Perkara ini bukan sekadar soal manajemen waktu, melainkan soal pergeseran nilai dan prioritas. Game memberikan penghargaan instan dalam bentuk poin, skin, atau kemenangan. Sementara pendidikan formal menuntut proses panjang yang tidak selalu memberikan umpan balik langsung. Bagi otak remaja yang dibentuk oleh era digital, kecepatan dan stimulasi instan itu jauh lebih menarik daripada membaca buku teks atau menghafal rumus matematika.
Namun penting dicatat, penelitian ini tidak serta-merta menempatkan game sebagai musuh. Game, seperti teknologi lain, bersifat netral. Yang menjadi masalah adalah ketika ia digunakan secara berlebihan, tanpa kontrol, dan tanpa pemahaman tentang risikonya. Dalam konteks inilah, Ramadhoni dan Kholidin mengingatkan pentingnya literasi digital dan pengawasan orang tua.
Sayangnya, masih banyak orang tua yang gagap dalam memahami dunia digital anak-anak mereka. Beberapa memilih melarang total, sementara yang lain menyerah dan membiarkan anak larut dalam dunia maya tanpa pengawasan. Keduanya bukan solusi. Larangan total bisa memicu pemberontakan dan kecanduan sembunyi-sembunyi. Sebaliknya, pembiaran total sama saja dengan membiarkan anak tersesat di hutan tanpa kompas.
Kita memerlukan pendekatan yang lebih bijak dan berimbang. Anak-anak perlu diberi pemahaman tentang bagaimana game bekerja, bagaimana ia memengaruhi otak dan perilaku, serta bagaimana mengatur waktu bermain secara sehat. Fenomena ini adalah tugas bersama orang tua, guru, bahkan pengembang game.
Para peneliti juga menyoroti pentingnya membangun kembali ruang-ruang sosial yang sehat bagi remaja. Banyak remaja memilih game sebagai pelarian karena mereka merasa kesepian, tidak didengar, atau tidak memiliki ruang berekspresi. Jika rumah dan sekolah gagal menyediakan ruang itu, maka game akan mengisinya dengan sangat efisien. Oleh karena itu, kita perlu menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental dan sosial remaja.
Sekolah, misalnya, bisa mulai membentuk klub diskusi, komunitas kreatif, atau ruang konsultasi psikologis yang mudah diakses. Orang tua bisa menyediakan waktu rutin untuk berbicara dari hati ke hati, bukan sekadar menanyakan nilai atau PR. Dan masyarakat bisa membuka lebih banyak ruang partisipasi untuk remaja, dari kegiatan olahraga hingga kegiatan sosial.
Menariknya, beberapa game sebenarnya bisa menjadi alat pembelajaran jika digunakan dengan bijak. Game strategi, simulasi ekonomi, atau permainan berbasis sejarah bisa membantu mengembangkan keterampilan berpikir kritis, manajemen waktu, bahkan empati. Namun ini hanya bisa terjadi jika game diposisikan sebagai alat bantu, bukan sebagai dunia utama.
Di sisi lain, pengembang game juga memiliki tanggung jawab moral. Mereka harus mulai mempertimbangkan fitur-fitur yang mendorong perilaku bermain sehat. Misalnya, fitur pengingat waktu, mode pembatasan bermain otomatis, atau insentif bagi pemain yang menjaga keseimbangan antara bermain dan kehidupan nyata. Beberapa game besar sudah mulai melakukannya, tapi belum menjadi praktik umum.
Akhirnya, jika kita ingin menyelamatkan generasi digital dari bahaya kecanduan game, kita harus berhenti menyalahkan mereka. Sebaliknya, kita harus mulai menyelami dunia mereka, memahami kebutuhan mereka, dan membangun jembatan antara dunia nyata dan dunia maya. Remaja tidak butuh hukuman; mereka butuh panduan.
Kita harus bertanya secara kritis, mengapa dunia nyata terasa begitu menekan hingga mereka lebih memilih tinggal di dunia virtual? Mengapa relasi keluarga dan sekolah tidak cukup memuaskan sehingga mereka lebih memilih teman dari dunia maya? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan refleksi, bukan hanya regulasi.
Sebab jika kita terus membiarkan remaja bertualang sendirian dalam dunia game tanpa arah, tanpa pendampingan, tanpa pemahaman, maka bukan tidak mungkin mereka akan membangun rumah kedua di sana. Dan rumah pertama kita rumah nyata akan kehilangan penghuninya sedikit demi sedikit.
Masih ada waktu untuk berubah. Masih ada ruang untuk dialog. Dunia game tidak harus menjadi musuh. Tapi ia juga tidak boleh menjadi pelarian utama. Kita butuh keseimbangan. Dan itu hanya bisa dicapai jika kita, sebagai orang dewasa, mau lebih peduli, lebih mendengar, dan lebih memahami.
Sebab masa depan generasi ini ditentukan bukan oleh seberapa tinggi level yang mereka capai dalam game, tapi seberapa dalam makna yang mereka temukan dalam kehidupan nyata.
Tag
Baca Juga
-
Secawan Kopi, Menikmati Kopi dan Hidangan Khas Bengkalis di Pekanbaru
-
Rasa Tak Bohong: Pempek Uduy, Sensasi Kuliner yang Wajib Dicoba di Jambi
-
Work-Family Enrichment, Menemukan Keseimbangan bagi Perempuan Pekerja
-
Khitanan Massal di Legok, Aksi Nyata Mahasiswa FKIK UNJA untuk Masyarakat
-
Gurihnya Mieswan Tek Mina, Dijamin Balik Lagi
Artikel Terkait
-
11 Kebiasaan Gen Z yang Dianggap Kurang Ajar oleh Baby Boomer Padahal Benar
-
Bahasa Zilenial: Upaya Generasi Muda Berkomunikasi dan Mendefinisikan Diri
-
Lee Mu Jin 'Coming of Age Story': Masa Dewasa Awal Penuh Keluhan Khas Gen Z
-
Konsep Barak Militer Ala Dedi Mulyadi Untuk Remaja yang Bar-bar di Jawa Barat
-
Dedi Mulyadi Bicara Soal Aura Cinta Dan Remaja : Problemnya Kini Makin Akut Dan Ngeri
Kolom
-
Ekonomi Baik-Baik Saja? Pak Presiden, Rakyat Minta Bukti, Bukan Janji
-
Guru Identik dengan Buruh? Menelaah Posisi Pendidik di Indonesia
-
Bukan Sekadar Libur: Hari Buruh dan Renungan tentang Makna Menjadi Manusia
-
Mengenal Trah Tumerah, Istilah Silsilah Jawa yang Makin Sering Dilupakan
-
Ketika Mahasiswa Jadi Content Creator Demi Bertahan Hidup
Terkini
-
Anti Boring! Intip 4 Padu Padan Gaya Kasual ala Mingi ATEEZ yang Effortless
-
Jadi Dokter Spesialis, Gong Myeong Ungkap Perannya di Second Shot At Love
-
Sudirman Cup 2025: Indonesia Juara Grup D, Kalahkan Denmark 4-1
-
Menelaah Aturan AFC tentang Tuan Rumah Ronde Keempat, Benarkah Bermain di Tempat Netral?
-
Secawan Kopi, Menikmati Kopi dan Hidangan Khas Bengkalis di Pekanbaru