Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Zuyyina Laksita Dewi
Ilustrasi Penulis Online (Unsplash/Jannies Klingebiel)

Beberapa waktu terakhir, saat sedang rajin mengecek sosial media Intsagram, saya makin sering melihat lowongan kerja penulis berseliweran di media sosial, website loker, bahkan grup-grup komunitas. Judulnya terdengar meyakinkan dan menggiurkan: "Dibutuhkan Penulis Artikel", "Ayo Bergabung Bersama Kami", "Kesempatan Emas untuk Berkarya". Sebagai penulis pemula, tentu saya tergoda. Siapa sih yang tidak ingin menambah pengalaman dan portofolio?

Tapi setelah saya klik dan baca detailnya, ternyata banyak dari "lowongan kerja" itu hanyalah bentuk lain dari proyek tanpa bayaran. Tidak ada gaji, tidak ada fee per artikel, bahkan terkadang tidak ada kontrak atau kesepakatan hitam di atas putih. Yang ditawarkan hanya satu: exposure dan portofolio. Saya mengetahui ini dari beberapa pernyataan dari orang-orang yang mampir di kolom komentar dengan nada yang sama: Jangan mau, ini nggak dibayar. 

Awalnya, saya mencoba memahami. Oke, mungkin ini bagian dari proses awal sebagai penulis pemula. Saya pun sempat ikut beberapa di antaranya—menulis beberapa artikel, ikut rapat editorial, bahkan merevisi tulisan sesuai arahan editor. Tapi setelah semua itu, saya hanya mendapatkan tautan artikel yang sudah tayang dan ucapan terima kasih. Tidak lebih. Mungkin bagi sebagian orang, ini bukan masalah besar. Tapi bagi teman-teman penulis yang sedang mencoba menjadikan menulis sebagai profesi, ini adalah bentuk ketidakadilan.

Portofolio Bukan Alasan untuk Menghindari Bayaran

Jangan salah. Saya sepenuhnya sadar bahwa sebagai penulis pemula, saya belum punya banyak pengalaman. Saya tahu bahwa membangun portofolio adalah bagian dari proses belajar. Tapi bukan berarti saya harus terus-menerus “bekerja gratis” demi pengakuan.

Masalah utamanya ada di kejujuran sejak awal. Banyak "pemberi kerja" yang tidak transparan menyebutkan bahwa posisi tersebut tidak dibayar. Penjelasan seperti itu biasanya baru muncul setelah kita mengirimkan lamaran atau setelah tulisan diterima. Beberapa bahkan tetap menggunakan kata "pekerjaan" seolah-olah itu adalah posisi profesional dengan bayaran.

Kalau memang proyeknya tidak bisa menggaji penulis, pemberi kerja bisa jelaskan sejak awal. Dengan begitu, penulis bisa menentukan sikap. Apakah mereka memang ingin menulis demi portofolio, atau sedang mencari penghasilan. Sederhana, tapi sering tidak dilakukan.

Jangan Bungkus Eksploitasi dengan Idealisme

Yang membuat saya geram adalah ketika praktik seperti ini dibungkus dengan kata-kata manis: “Kami ingin membangun komunitas menulis”, “Kami percaya karya yang baik lahir dari semangat, bukan uang”, atau “Kami baru merintis, jadi belum bisa memberi bayaran”.

Kita semua tahu, membangun komunitas dan media itu tidak mudah. Tapi membangun dengan memanfaatkan tenaga gratis orang lain tanpa kejelasan? Itu bukan idealisme, itu eksploitasi. Karena pada akhirnya, tulisan-tulisan itu tetap dimuat, tetap membawa trafik, bahkan kadang dijadikan aset brand. Lalu, penulisnya? Hilang begitu saja setelah menyetor karya.

Menulis Itu Kerja, Bukan Sukarela Selamanya

Saya tidak anti terhadap proyek sukarela. Saya juga tidak menuntut semua orang langsung membayar mahal untuk tulisan pemula. Tapi setidaknya, ada penghargaan yang wajar. Jika tidak bisa dalam bentuk uang, maka sampaikan secara jujur dari awal. Jangan jadikan “tidak dibayar” sebagai jebakan yang baru diketahui setelah penulis sudah bekerja.

Sudut pandang ini adalah bentuk keresahan pribadi. Jika kamu pernah mengalami hal serupa, mungkin kita tidak sendirian. Sudah saatnya penulis pemula berani bicara—karena karya layak dihargai, sekecil apa pun itu. Karena pada akhirnya, menulis adalah kerja intelektual. Sama seperti profesi lainnya, ia butuh waktu, tenaga, dan pikiran. Kita boleh saja pemula, tapi bukan berarti tidak pantas dihargai. Menulis itu kerja. Dan kerja, sudah sepantasnya mendapat bayaran.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Zuyyina Laksita Dewi