Menikah dengan pria asal Sumatra dan merantau ke Jakarta menjadi awal dari banyak petualangan baru dalam hidupku. Salah satunya adalah belajar memasak. Kedengarannya sepele, tapi percayalah, untuk seseorang yang sebelumnya hanya bisa masak mie instan, telur dadar, dan nasi goreng, dunia dapur itu bisa terasa seperti hutan belantara.
Suamiku bukan tipe yang rewel soal makanan. Selama perut kenyang dan rasa cukup masuk akal, dia akan makan dengan senang hati. Tapi ada satu momen yang tak terlupakan—saat dia bilang rindu rumah dan minta dibuatkan sop iga sapi kesukaan masa kecilnya.
“Pengen makan sop iga kayak buatan Mama,” katanya suatu malam, dengan nada pelan namun dalam.
Aku pun memberanikan diri. Aku hubungi ibu mertua, mencatat resep dengan penuh semangat. Bahan-bahannya tak rumit: iga sapi yang direbus lama, wortel dan kentang sebagai pelengkap sayurannya, bawang putih dan merah yang ditumis, daun bawang, sejumput pala, kapulaga, cengkeh, kayu manis, lada, dan kaldu. Terdengar simpel. Tapi entah kenapa hasilnya… sungguh mengenaskan.
“Kurang,” kata suamiku pelan, berusaha menjaga perasaan. Padahal bagiku, itu bukan sekadar ‘kurang’. Rasanya nyaris tak bisa ditelan. Aku coba lagi, kali ini dengan merebus lebih lama, menyaring kuah lebih baik, dan mengikuti saran mama. Tapi tetap saja, iganya alot, kuahnya hambar. Rasanya jauh dari harapan.
Jujur, saat itu aku sedih. Bukan semata karena gagal memasak, tapi karena merasa tak bisa menghadirkan semangkuk rumah untuk suami di tempat kami merantau ini. Mungkin ini bukan cuma tentang sop iga. Ini tentang rasa rindu yang dibungkus kuah hangat, tentang kenangan masa kecil yang tersimpan dalam aroma rempah.
Pandemi membuat kami nggak bisa pulang kampung. Baru setahun kemudian kami akhirnya bisa ke Medan. Di sanalah aku akhirnya mencicipi “sop iga sapi terenak” yang selama ini hanya pernah kudengar. Dan ya, ternyata memang enak sekali.
Rasa rempahnya kuat, kuahnya sedikit kental, dan dagingnya empuk. Aku terharu bisa memakannya, apalagi saat melihat suamiku makan dengan lahap. Tapi yang membuatku terkejut, bumbunya... persis seperti yang kubuat dulu. Tidak ada bumbu rahasia. Tapi hasil akhirnya? Bisa jauh berbeda.
Di situlah aku belajar bahwa makanan bukan hanya soal resep. Tapi juga soal tangan yang memasak, suasana saat menikmatinya, dan perasaan yang menyertainya. Mungkin karena itu, meski berkali-kali kucoba meniru, hasilnya tetap tak sama.
Waktu berlalu, kami pindah ke rumah sendiri di Tangerang Selatan. Tak disangka, ada warung pecak dekat rumah yang juga menjual sop iga. Dan mengejutkannya, rasanya nyaris seperti buatan mama mertua di Medan. Kami langsung jadi pelanggan tetap. Bahagia itu ternyata sesederhana: semangkuk sop iga yang rasanya membawa pulang kenangan.
Sekarang aku sudah nggak lagi ngotot harus bisa membuat yang terenak. Kadang aku masih coba memasak, kadang gagal, kadang lumayan. Tapi aku belajar menerima bahwa setiap orang punya “tangan rasa”-nya sendiri.
Dan untuk suamiku, biarlah sop iga terenak di dunia baginya itu akan selalu milik mamanya, yang menjadi pengingat rindu kami sampai kapan pun. Dan beruntungnya, meski jauh dari kampung halaman, kami tetap bisa merasakannya kembali—dalam semangkuk sop iga di warung kecil dekat rumah. Sop iga terenak itu kini bisa kami rasakan lebih sering sekarang.
Aku sadar, ternyata kasih dalam makanan memang sulit direka ulang dalam bentuk yang sama. Ia cukup hadir dalam kenangan, dalam rasa yang familiar, dalam momen-momen kecil yang kita nikmati bersama orang terdekat, karena yang membuat sesuatu terasa istimewa sering kali bukan rasa masakannya, tapi siapa yang ada di sana dan kebersamaannya yang nggak akan pernah bisa diganti.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Setelah Jadi Ibu, Mimpi Harus Diarsipkan: Saat Perempuan Tetap Butuh Mimpi
-
Interpretasi Film Sore, Istri dari Masa Depan: Bagiku, Seperti Interaksi Tuhan dan Makhluk-Nya
-
Fenomena IRT Jadi Affiliator: Emansipasi atau Eksploitasi Tersembunyi?
-
Rilis Lagu Manchild, Sabrina Carpenter Sindir Cowok Bocah yang Bikin Capek Hati
-
Menulis Tak Dibayar: Lowongan Kerja Jadi Ajang Eksploitasi Portofolio
Artikel Terkait
-
Ayam Serundeng dan Kakek: Rasa Tak Mati di Kuali Merah Putih
-
Rasa Rindu di Balik Sepiring Indomie Goreng yang Sederhana
-
Jusuf Kalla: Aceh Dibentuk oleh Undang-Undang, Lebih Tinggi Dibanding Kepmen
-
Ketupat Pecel dan Keragaman Rasa yang Menyatukan Keluarga di Hari Raya Lebaran
-
Sepiring Nasi Telur di Pagi Hari: Sesuap Ungkapan Bisu Kasih Sayang Ibu
Kolom
-
Sound Horeg dan Dinamika Budaya Populer di Era Digital
-
Peran Keluarga dalam Menangkal Konten Absurd dan Brain Rot Pada Anak
-
Timnas Indonesia, Spesialis Runner Up AFF, dan Kerinduan pada Orang Lama
-
Healing atau Konsumsi? Mengungkap Ilusi di Balik Tren Pemulihan Diri
-
Bioremediasi: Solusi Alami Laut untuk Mengurai Tumpahan Minyak
Terkini
-
Kabar Bahagia! Gummy dan Jo Jung Suk Umumkan Kehamilan Anak Kedua
-
Menyelami Dunia Fantasi dalam Novel The Girl Who Fell Beneath the Sea
-
Lagu Golden Kpop Demon Hunter Tempati Posisi 1 di Streaming Rapid Oricon
-
Review Film Presence, Sajikan Horor Baru dari Sudut Pandang Hantu
-
4 Sunscreen dengan Hasil Akhir Glass Skin, Harga di Bawah Rp160 Ribuan!