Di tengah semangat literasi yang terus digaungkan, ada satu kenyataan yang sering terlupakan yaitu membaca, yang katanya adalah jendela dunia, ternyata adalah jendela yang tak semua orang bisa buka dengan mudah.
Sebab di Indonesia, membaca bukan sekadar soal minat atau waktu tapi juga soal isi dompet. Banyak yang mengeluhkan bahwa harga buku sangatlah mahal, tak heran orang akan berpikir dua kali untuk sekadar membeli buku.
Coba saja kunjungi toko buku besar di kota-kota. Harga satu buku bisa dengan mudah melayang di angka Rp80.000 hingga Rp150.000, bahkan lebih jika kita bicara soal buku-buku terbitan luar atau edisi spesial.
Untuk sebagian orang, mungkin harga tersebut sebanding dengan dua kali makan di kafe. Tapi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, angka itu adalah setara dengan kebutuhan pokok selama beberapa hari.
Maka tak heran jika membaca sering kali jadi hobi yang elit, bukan karena pembacanya ingin tampil intelektual, tapi karena memang perlu dana lebih untuk sekadar menyentuh halaman pertama.
Namun pertanyaannya adalah, apakah harga buku di Indonesia terlalu mahal, atau justru gaji kita yang terlalu kecil? Mari kita bedah sedikit.
Menurut data BPS, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat Indonesia untuk kategori bukan makanan pada 2024 masih berkisar di angka Rp1,5 juta, angka yang tidak banyak bergerak dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Di sisi lain, harga buku tentunya tidak mengikuti ritme yang sama. Biaya produksi buku di Indonesia dipengaruhi banyak faktor seperti kertas yang diimpor, ongkos cetak, distribusi, hingga royalti penulis, dan lain sebagainya.
Semua itu membuat buku jadi barang yang memang tak bisa murah-murah amat, apalagi jika penerbit ingin tetap adil terhadap penulis dan tetap berkualitas dalam produksi.
Namun persoalan yang paling mendasarnya adalah ketimpangan daya beli. Di negara-negara dengan pendapatan rata-rata lebih tinggi, membeli buku seminggu sekali mungkin sama ringannya dengan membeli kopi harian.
Tapi di Indonesia, untuk membeli satu buku, banyak orang harus menabung berhari-hari. Satu harga buku bisa setara dengan satu hari kerja dari pagi sampai sore.
Maka benarlah jika ada yang bilang membaca itu adalah hobi yang mahal, tapi bukan semata karena bukunya, melainkan karena hidup kita yang belum cukup sejahtera untuk menjadikan buku sebagai kebutuhan sehari-hari.
Ironisnya, rendahnya akses terhadap buku juga memperkuat siklus kemiskinan pengetahuan. Ketika hanya sebagian kalangan yang mampu membeli dan mengonsumsi bacaan berkualitas.
Maka, hanya sebagian itu pula yang mendapat keunggulan literasi, wawasan, dan ide. Padahal justru masyarakat luaslah yang seharusnya paling perlu diberi akses terhadap buku-buku bermutu.
Apa solusinya? Digitalisasi memang sangat membantu. Buku elektronik dan perpustakaan digital kini semakin mudah diakses, meski tantangan baru muncul, tidak semua daerah punya akses internet yang memadai, dan tidak semua orang nyaman membaca lewat layar.
Di sisi lain, komunitas berbagi buku, taman bacaan, hingga inisiatif buku gratis di ruang publik mulai tumbuh. Namun semua itu belum cukup bila pemerintah tak serius menyubsidi literasi sebagai investasi masa depan bangsa.
Membaca seharusnya menjadi hak, bukan kemewahan. Tapi untuk mencapainya, kita harus berani mengakui realita pahit bahwa membaca memang mahal dan itu adalah tanda bahwa ada yang belum beres dalam sistem kita.
Kini sudah saatnya bukan hanya menumbuhkan minat baca, tapi juga menciptakan kondisi ekonomi dan sosial yang membuat membaca jadi hal yang mungkin dilakukan siapa saja, kapan saja, di mana saja.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Review Buku The Principles of Power: Tentang Menjadi Berpengaruh Tanpa Harus Berkuasa
-
Dialog Suara.com x CORE Indonesia: Dampak Tarif AS Bagi Ekonomi Indonesia
-
Review Buku Reach Your Dreams: Jalan Terang Menuju Mimpi Besar ala Wirda Mansur
-
Kita Adalah "Produk" Masa Lalu: Sebuah Renungan Lewat Buku Ambivert
-
Duka dan Mencuci Piring: Dua Hal yang Enggan, Tapi Tak Bisa Dihindari
Artikel Terkait
-
Review Buku The Principles of Power: Tentang Menjadi Berpengaruh Tanpa Harus Berkuasa
-
Membaca Nyaring: Cara Sederhana Membangun Bonding Kuat dengan Anak
-
Ulasan Novel How to End A Love Story:Ketika Cinta Harus Bertemu Luka Lama
-
Ulasan Buku Finding My Bread, Kisah si Alergi Gluten Membuat Toko Roti
-
Saat Kita Jatuh Cinta: Tentang Luka yang Mengajari Kita Mencinta Lagi
Kolom
-
Di Balik Tren Quiet Quitting: Tanda Karyawan Lelah atau Perusahaan Gagal?
-
Tren "In This Economy": Gaya Hidup Minimalis Jadi Pilihan Anak Muda
-
Menyikapi 'Film Ozora - Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel'
-
Sirine Bahaya Krisis Iklim Berbunyi Keras: Saatnya Pendidikan Jadi Garda Terdepan!
-
Prioritas yang Salah: Ketika Baznas Pilih Beli Mobil Ketimbang Bantu Rakyat
Terkini
-
Justin Hubner Putuskan untuk Hengkang, Wolves Bakal Kehilangan Permata Terbaiknya!
-
Review Film Sayap-Sayap Patah 2 - Olivia: Kisah Baru, Luka Lama
-
Cillian Murphy dan Daniel Craig Diincar Main dalam Film Berlatar Penjara
-
5 Film Korea Terbaru yang Rajai Box Office 2025, Wajib Masuk Watchlist!
-
3 Pemain Alumni Sea Games 2023 yang Masih Bisa Main di Sea Games 2025