Rak-rak buku di toko besar kini banyak dipenuhi oleh satu genre yang paling laris dan terus dicetak ulang. Ya, buku self- improvement atau bisa disebut juga buku self-help.
Mulai dari buku tentang bagaimana menjadi versi terbaik dari diri sendiri, mengatur waktu, mengatasi overthinking, hingga kiat sukses ala CEO muda usia 30-an.
Buku-buku seperti ini banyak menawarkan jalan keluar dari kebingungan-kebingunan hidup modern. Biasanya berisi serangkaian panduan atau cara-cara agar kita dapat mencapai pribadi yang lebih baik dalam menjalani kehidupan.
Tapi, mari kita jujur sebentar, berapa banyak dari kita yang sudah membaca buku-buku itu, bahkan mencatat poin-poin pentingnya, namun tetap merasa stuck, capek, dan tidak tahu arah? Apakah kamu juga pernah mengalami hal demikian?
Fenomena ini bukan hal baru yang terjadi di kalangan pembaca. Tidak sedikit juga dari pembaca buku self-improvement, terutama generasi milenial dan Gen Z, menjadikan buku self-improvement sebagai bagian dari rutinitas.
Rasanya produktif, seolah ada harapan bahwa setelah halaman terakhir, kita akan menjadi pribadi yang lebih fokus, disiplin, dan tahu apa yang harus dilakukan.
Namun kenyataannya, hidup tetap berantakan. Kebiasaan buruk tetap sulit ditinggalkan, masih saja tidak bisa untuk konsisten, motivasi hanya bertahan beberapa hari, dan kebingungan tetap datang setiap malam.
Lalu, di mana letak masalahnya? Pertama, banyak buku pengembangan diri bersifat terlalu general dan kadang klise. Tips seperti “jangan bandingkan dirimu dengan orang lain” atau “keluarlah dari zona nyaman” terdengar inspiratif, tapi dalam praktiknya tidak selalu realistis.
Setiap orang punya latar belakang, nilai hidup, dan beban mental yang berbeda. Sering kali, nasihat yang ditulis dengan gaya universal justru terasa jauh dari kenyataan yang kita hadapi.
Kedua, ada pergeseran makna dalam membaca buku self-help, dari refleksi ke konsumsi. Banyak dari kita membaca untuk merasa baik, bukan untuk berubah.
Buku-buku ini menjadi semacam hiburan intelektual, bukan alat transformasi. Kita merasa sudah “berproses” hanya karena membaca, padahal belum ada perubahan konkret dalam pola pikir maupun tindakan.
Ketiga, beberapa ide dalam buku-buku ini sering kali berbenturan dengan idealisme atau prinsip pribadi. Misalnya pandangan tentang dorongan untuk selalu tampil positif bisa jadi racun bagi mereka yang sedang berjuang dengan isu kesehatan mental.
Tidak semua orang butuh untuk “menjadi luar biasa” kadang kita hanya ingin menjadi cukup dan damai. Hal itu lantas dirasa bersebrangan dengan idealisme pribadi dan wajar apabila kita tidak serta merta melakukan apa yang disarankan dalam buku self-improvement.
Keempat, bila kita jujur menelusuri isi berbagai buku self-improvement, kita akan menemukan pola yang nyaris serupa seperti tetapkan tujuan hidup, atur waktu dengan disiplin, hindari lingkungan toxic, dan percaya pada proses.
Pesannya memang baik, tapi ketika kita membaca lima atau sepuluh buku dengan inti yang hampir sama, rasanya jadi repetitif, seolah hanya dikemas ulang dengan gaya bahasa berbeda.
Alih-alih mendapatkan wawasan baru, kita sering merasa seperti membaca versi lain dari buku yang sama. Akibatnya, motivasi yang awalnya membuncah perlahan menumpul karena isinya tidak lagi memberi kejutan atau perspektif segar.
Lantas, haruskah kita berhenti membaca buku self improvement? Tidak juga. Buku tetap bisa jadi jembatan pemahaman dan sumber inspirasi.
Tapi kita perlu lebih kritis. Jangan telan mentah-mentah semua nasihat, dan jangan merasa gagal hanya karena tidak bisa mengikutinya. Self improvement seharusnya membantu kita mengenal diri, bukan membuat kita merasa tidak pernah cukup.
Yang lebih penting dari membaca adalah menyaring. Pilih mana yang relevan dengan hidup kita, mana yang perlu dikesampingkan.
Karena pada akhirnya, perubahan sejati tidak datang dari kutipan motivasi, tapi dari keberanian untuk jujur pada diri sendiri, dan melangkah, meski pelan-pelan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ketika Buku Dijuluki 'Barang Bukti': Sebuah Ironi di Tengah Krisis Literasi
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Membaca untuk Melawan: Saat Buku Jadi Senjata
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel The Three Lives of Cate Kay: Antara Karier dan Keluarga
-
Ulasan Novel Good Bad Girl: Empat Perempuan dan Satu Misteri Kematian
-
Ulasan Buku 'Who Are You?', Cara Memahami Pikiran Bawah Sadar Seseorang
-
Buku Mahal, Gaji Kecil: Apakah Membaca Hanya untuk yang Punya Uang?
-
Review Buku The Principles of Power: Tentang Menjadi Berpengaruh Tanpa Harus Berkuasa
Kolom
-
Dulu Ramai, Kini Sepi: Kisah Redupnya Pusat Buku Taman Pintar Yogyakarta
-
E10 Wajib 10 Persen: Kenapa Kebijakan Etanol Ini Dikhawatirkan?
-
Menkeu Purbaya Potong Anggaran Daerah: Shock Therapy untuk Pemda Lamban
-
Ketika Gandrung Menari di Irama Tarian Penghancur Raya oleh .Feast
-
No Closure is a Closure: Kadang, Gak Dijelasin Itu Justru Jawabannya
Terkini
-
Takluk dari Arab Saudi, Bukti Gagalnya Tim Kepelatihan Terbaik di Timnas!
-
Les Temptes de la Vie: Ketika Musik, Paris, dan Badai Hidup Menyatu
-
Ngampus Tetap On Point! Ini 4 OOTD Xaviera Putri yang Bikin Auto Stylish
-
A24 Hadirkan Rom-Com Afterlife Paling Menyentuh Lewat Film Eternity
-
Matahari Mata Hati: Mimpi yang Tumbuh dari Pesantren dan Persahabatan