Tanggal 2 Juni sering lewat seperti hari biasa—tanpa parade, tanpa pidato megah, apalagi trending topic. Padahal, di tanggal itu pada tahun 1897, seorang pemikir besar lahir di Suliki, Sumatera Barat: Sutan Ibrahim, atau yang kita kenal sebagai Tan Malaka.
Ia bukan hanya tokoh revolusi, tapi juga pelopor gagasan republik di kala mayoritas masih bermimpi tentang raja dan mahkota. Bahkan Muhammad Yamin pun menggelarinya "Bapak Republik Indonesia", bukan karena faktor nasib, tapi karena narasi dan nalar.
Tan Malaka adalah tokoh langka: cerdas, keras kepala, dan sangat konsisten. Dalam pengasingan, ia justru menulis gagasan-gagasan besar yang menjadi bahan bakar kemerdekaan.
Bukunya, Naar de Republiek Indonesia, menjadi manifestasi awal cita-cita republik: negara tanpa tuan, rakyat jadi pemilik sah. Sayangnya, seperti buku yang dibiarkan berdebu di rak toko buku lawas, pemikirannya sering dilupakan.
Meski tak menikah, hidup berpindah-pindah, dan berakhir tragis ditembak tentara republik sendiri, Tan Malaka meninggalkan warisan yang tak ternilai: arah moral dan intelektual republik. Ini saatnya bangsa ini berhenti melupakan.
Sebab melupakan Tan Malaka adalah melupakan cikal bakal republik yang hari ini kita nikmati, meski kadang lebih mirip reality show daripada demokrasi.
Menelusuri ulang gagasan Tan Malaka bukan cuman napak tilas sejarah. Ini soal menyulam ulang makna kebangsaan yang mulai robek di sana-sini—karena terlalu sering dicuci dengan jargon, bukan dengan ide.
Republik Bukan Kerajaan Tanpa Mahkota
Tan Malaka bukan hanya menolak sistem kerajaan; ia mencoret tebal-tebal pada lembar sejarah bahwa Indonesia harus berbentuk republik.
Dalam Naar de Republiek Indonesia, ia menegaskan bahwa republik adalah satu-satunya bentuk negara yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan (Alamudi, 2023). Gagasan ini muncul jauh sebelum pidato-pidato kemerdekaan digemakan. Ia tak menunggu teks proklamasi, ia sudah memproklamasikan ide lebih dulu.
Ponirin dan Silaban (2019) menyebut Tan Malaka sebagai tokoh pertama yang berani memformulasikan negara republik secara sistematis.
Saat yang lain masih berkutat dengan kompromi kerajaan atau bentuk dominasi lain, ia justru berteriak tentang demokrasi sejati. Republik bukan hanya struktur politik, tetapi sebuah kesadaran kolektif bahwa tidak boleh ada satu golongan pun yang menjadi majikan bangsa.
Namun ironisnya, kita hari ini hidup dalam republik yang sering berperilaku feodal. Dari gelar akademik yang disembah seperti pusaka, hingga birokrasi yang lebih sibuk menjaga status daripada melayani. Mungkin kita butuh Tan Malaka baru untuk mengingatkan: republik itu kerja keras, bukan sekadar upacara.
Sebagaimana ia tolak sistem monarki, Tan Malaka juga menolak segala bentuk kultus individu. Ia bukan pencari nama, bukan pengemis pangkat. Dalam catatan hidupnya, ia lebih banyak ditolak ketimbang dipuja. Tapi justru dari sanalah muncul keaslian: bahwa republik, sejatinya, harus menolak mitos dan memihak akal sehat.
Kemerdekaan 100 Persen, Bukan Diskon Kolonialisme
Setiawan et al. (2024) mencatat bahwa Tan Malaka adalah satu dari sedikit tokoh yang menolak segala bentuk kompromi dengan kolonialisme. Ia menyebut kemerdekaan Indonesia haruslah "100 persen", tanpa syarat, tanpa negosiasi setengah hati. Di saat sebagian tokoh mencoba merayu penjajah dengan meja bundar, Tan Malaka mengusulkan palu godam.
Bagi Tan Malaka, diplomasi yang berujung pada konsesi hanya akan menciptakan kemerdekaan palsu. Ia menentang keras segala bentuk perjanjian yang tetap memberi ruang dominasi asing atas tanah air. Baginya, merdeka berarti bebas sepenuhnya—ekonomi, politik, dan ideologi. Tidak ada istilah "setengah republik" dalam kamusnya.
Kita bisa menganggap gagasan ini radikal. Tapi di tengah situasi hari ini, ketika ekonomi negara bisa goyah karena rating kredit, dan kebijakan publik sering tunduk pada tekanan asing, ide kemerdekaan penuh Tan Malaka justru terasa sangat relevan. Kita sudah merdeka secara administratif, tapi apakah kita benar-benar bebas dari logika kolonial?
Diskursus Tan Malaka memberi kita kaca pembesar untuk melihat bahwa penjajahan bisa bertransformasi: dari serdadu bersenjata menjadi investasi bermata dua. Republik yang ia idamkan bukan hanya berdiri, tapi juga berdikari.
Republik untuk Rakyat, Bukan untuk Elit
Dalam Naar de Republiek Indonesia, Tan Malaka mengusulkan sistem sosial yang menolak segala bentuk eksploitasi dan perbedaan kelas (Alamudi, 2023). Baginya, republik sejati adalah republik yang tidak membiarkan segelintir orang kenyang di atas piring kosong orang lain. Ia percaya, keadilan sosial bukan jargon politik, tapi fondasi negara.
Ponirin dan Silaban (2019) menyatakan bahwa pemikiran Tan Malaka menyentuh akar-akar sosialisme, tetapi tetap dalam bingkai nasionalisme. Ia bukan pengimpor ide kiri, melainkan penggali nilai-nilai keadilan dari pengalaman kolonialisme. Dalam hal ini, republik baginya bukan cuman bentuk pemerintahan, tetapi juga mimpi kolektif tentang tatanan yang adil.
Melihat kondisi hari ini—ketimpangan ekonomi yang melebar, subsidi yang menguap untuk elite, dan rakyat yang dicekoki jargon populis—gagasan Tan Malaka seolah berteriak dari masa lalu. Seakan ia berkata: "Itu bukan republik, itu arena sirkus."
Kita terlalu sering mengira demokrasi berarti pemilu lima tahun sekali, padahal Tan Malaka bicara tentang kesetaraan yang nyata.
Ia ingin republik yang menampung aspirasi rakyat, bukan mencatutnya untuk elektabilitas. Republik yang memihak warung kecil, bukan konglomerat. Dan dalam hal ini, warisan Tan Malaka justru jadi bahan evaluasi nasional.
Pendidikan sebagai Jantung Republik
Tan Malaka percaya bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk membebaskan bangsa dari kolonialisme, kebodohan, dan ketertindasan (Setiawan et al., 2024). Ia tidak hanya menulis tentang pendidikan, tapi juga mempraktikkannya. Ia mendirikan sekolah-sekolah alternatif, mengajarkan logika, matematika, dan semangat kritis.
Wahyu Trisno Aji et al. (2024) mencatat bahwa model pendidikan Tan Malaka sangat inklusif, berbasis rakyat, dan menjadikan kaum miskin sebagai pusat perhatian. Ia bukan sekadar pengajar, tapi juga penggerak—yang percaya bahwa kecerdasan kolektif rakyat adalah fondasi republik yang sejati.
Sayangnya, sistem pendidikan kita hari ini justru jauh dari cita-cita itu. Kurikulum sibuk mengejar ranking PISA, guru dibebani administrasi absurd, dan sekolah menjadi tempat mencetak nilai, bukan manusia merdeka. Republik yang cerdas harus dimulai dari ruang kelas yang membebaskan, bukan membosankan.
Dalam konteks ini, Tan Malaka tidak hanya relevan, tapi mendesak. Pendidikan bukan sekadar hak, tapi jalan menuju kemerdekaan sejati. Dan jika kita gagal di sini, maka kita membiarkan republik ini tumbuh dengan kaki pincang.
Menghidupkan Ulang Republik, Bukan Sekadar Mengenangnya
Tan Malaka bukan sekadar tokoh sejarah; ia adalah percikan api yang masih bisa menyalakan semangat republik hari ini. Gagasannya soal kemerdekaan total, pendidikan rakyat, dan keadilan sosial, bukan hanya warisan, tapi juga tantangan. Kita harus lebih dari sekadar mengenang; kita harus menjalankan.
Di tengah gelombang politik identitas, komersialisasi pendidikan, dan ketimpangan sosial, republik terasa makin jauh dari cita-cita awalnya. Kita butuh keberanian untuk kembali pada pemikiran yang jujur, radikal, dan tak takut berbeda—seperti Tan Malaka.
Mungkin sudah saatnya tanggal 2 Juni tidak hanya jadi catatan kaki di buku sejarah. Tapi juga menjadi momen refleksi nasional: apakah kita masih setia pada ide republik, atau hanya pura-pura?
Jika tidak, mungkin suatu saat nanti, republik ini benar-benar tinggal nama. Dan yang tersisa hanyalah kemasan demokrasi, dengan isi yang sudah dijual ke pasar bebas.
Tan Malaka sudah memberi cetak birunya. Tinggal kita, mau membacanya atau membiarkannya berdebu seperti naskah tua di rak kebudayaan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
PDIP ke Pemerintah Soal Penulisan Ulang Sejarah: Tolong Sesuai Fakta, Bukan Cerita Pemenang
-
Hapus Istilah Orde Lama, Puan Wanti-wanti Proyek Menbud Fadli Zon: Jangan sampai Ada yang Tersakiti
-
Ulasan Novel Broken Country: Antara Cinta Pertama dan Kehidupan Masa Kini
-
Anak Buah Sebut Penolak Proyek Buku Sejarah 'Sesat', Fadli Zon Minta Maaf Saat Rapat di DPR
-
Fadli Zon Berharap Pelajaran Sejarah Kembali Diwajibkan di Sekolah
Kolom
-
Eksistensi Novel Populer: Ketika Karya Fiksi Menjadi Cerminan Kehidupan
-
Crab Mentality di Medsos: Scroll Komentar yang Lebih Menakutkan dari Gagal
-
Cermin Keberagaman! Saatnya Merangkul Kecantikan Inklusif di Era Modern
-
Melampaui Stigma: Menempatkan Buku Kiri dalam Perspektif Literasi
-
Pancasila di Ujung Jari: Refleksi Hari Lahir 1 Juni di Era Digital
Terkini
-
Debut Lawan Cina, Emil Audero Ungkap Kondisi Terkini Skuad Timnas Indonesia
-
Spoiler Alert! Plot Film The Fantastic Four - First Steps Bocor!
-
Film The Call: Dering Telepon di Dunia Paralel yang Bisa Mengubah Takdir
-
Oppo Kenalkan Smartphone Terbaru Kelas Menengah Lewat Reno 14 Pro, Desain Kamera Mirip iPhone
-
A Thousand Reasons oleh Haechan NCT: Seribu Alasan Menyukai Seseorang