Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi Karakter film Merah Putih One for All (21cineplex)

Ada yang bilang, uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tapi bagi sebagian orang, uang bisa membeli segalanya, termasuk aset digital untuk bikin film animasi. Kabar terbaru yang ramai di jagat maya, khususnya Twitter X dan TikTok, adalah soal film animasi bertajuk Merah Putih: One For All.

Alih-alih bikin bangga, film ini malah jadi bahan olok-olokan. Dengan anggaran yang dikabarkan mencapai Rp 6,7 miliar, film ini justru dicap sebagai “film Rp 6,7 miliar rasa Daz3D”. Ya, betul, Daz3D, platform tempat para 3D artis bisa jualan aset visual.

Tapi, yang bikin geleng-geleng kepala bukan cuma asetnya, melainkan juga respons dari sang produser, Toto Soegriwo, yang terkesan adem ayem menanggapi kritik pedas netizen.

Alih-alih minta maaf atau memberikan penjelasan yang valid, beliau justru bilang, “Kalau kalian enggak suka, ya sudah.” Sebuah jawaban yang setajam silet, tapi justru memotong semangat para penggiat industri kreatif lokal.

Bagaimana mungkin sebuah film yang digadang-gadang akan tayang menjelang 17 Agustus, yang seharinya lagi adalah hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, dibuat dengan serba kilat dan bahan seadanya?

Jangan lupakan, ini adalah film yang seharusnya menjadi penanda kehebatan anak bangsa, bukan malah bikin malu. Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar?

Apakah ini murni kesalahan teknis, atau ada hal yang lebih fundamental dari hanya “salah beli aset”? Mari kita bedah bersama, dengan kepala dingin dan sedikit humor, karena kalau terlalu serius, bisa-bisa kena darah tinggi.

Kisah Klasik Tentang Anggaran Fantastis dan Kualitas Minim

Sejak zaman dahulu kala, kisah tentang anggaran besar dan hasil yang tidak sebanding sudah sering kita dengar. Mulai dari proyek pemerintah yang mangkrak, sampai acara konser yang biayanya triliunan tapi sound-nya bocor.

Kali ini, kasus yang sama menimpa dunia animasi kita. Film Merah Putih: One For All, yang kabarnya dikerjakan kurang dari sebulan, menghabiskan uang Rp 6,7 miliar.

Sebagai perbandingan, mari kita tengok film-film animasi lain. Contoh paling kentara, anime Jepang. Produksi satu episode anime top sekelas One Piece atau Attack on Titan biasanya menghabiskan sekitar $100.000 hingga $300.000, atau sekitar Rp 1,5 miliar hingga Rp 4,5 miliar.

Dan itu untuk durasi 23-25 menit, dengan kualitas gambar yang memanjakan mata, bahkan bikin mata kita perih karena terlalu sering meneteskan air mata (baik karena terharu maupun kesedihan).

Lalu, apa yang membuat film kita lebih mahal? Apakah uang Rp 6,7 miliar itu dipakai untuk menyewa para dewa animasi dari Hollywood? Atau jangan-jangan, uangnya dipakai buat beli cincin-cincin sakti yang bisa membuat animasi jadi lebih bagus secara instan?

Sayangnya, dari hasil investigasi netizen, yang ditemukan justru aset-aset 3D yang bisa dibeli dengan harga murah meriah di Daz3D.

Bahkan, ada yang berasal dari set “Street of Mumbai”, yang mana jika kita lihat dengan mata telanjang saja, nuansa India-nya terlalu kental.

Mungkin mereka ingin memberi pesan global, bahwa bendera merah putih tidak hanya milik Indonesia, tapi juga milik dunia, termasuk Mumbai. Sebuah ide yang jenius, tapi sayangnya, salah tempat.

(Zhang, 2023) dalam penelitiannya mengatakan bahwa penggunaan aset 3D stok memang dapat meningkatkan efisiensi dan menekan biaya produksi. Ini adalah fakta. Tapi, kata kuncinya adalah “meningkatkan efisiensi”, bukan “mengurangi kualitas”.

Efisiensi seharusnya membuat kita bisa menghasilkan karya yang lebih baik dengan waktu yang lebih singkat. Bukan sebaliknya.

Bukankah ironis, film yang harusnya jadi karya kebanggaan, justru terkesan seperti tugas akhir mahasiswa yang mepet deadline? Padahal, uangnya bisa dipakai untuk memberdayakan ribuan animator muda berbakat yang tersebar di seluruh Indonesia.

Jalan Pintas yang Menjebak: Kreativitas vs Aset Stok

Dalam industri kreatif, jalan pintas adalah godaan yang paling mematikan. Kita semua tahu, membuat aset 3D dari nol itu butuh waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari konsep, modelling, texturing, rigging, sampai rendering.

Prosesnya panjang dan melelahkan. Maka, muncullah ide cemerlang untuk menggunakan aset stok. Beli aset jadi, tempel-tempel, lalu rendering. Prosesnya lebih cepat, biayanya lebih murah. Setidaknya, itu yang ada di kepala kita. Namun, apa yang terjadi pada Merah Putih: One For All justru sebaliknya. Biayanya mahal, tapi asetnya terkesan beli jadi.

(Yan et al., 2023) menjelaskan bahwa kualitas visual dan artistik sangat dipengaruhi oleh bagaimana aset-aset tersebut diintegrasikan secara kreatif. Ini bukan hanya soal menempelkan aset satu per satu. Ada unsur sinematografi, komposisi, pencahayaan, dan tekstur yang harus dipikirkan matang-matang.

Aset stok, sekalipun dibeli dari Daz3D atau platform lain, bisa menjadi bagian dari karya yang orisinal jika diolah dengan tangan kreatif. Contohnya, banyak film Hollywood yang menggunakan visual effect (VFX) dari pihak ketiga. Tapi mereka punya tim kreatif yang handal untuk mengintegrasikan VFX itu agar menyatu dengan cerita.

Masalahnya, dalam kasus ini, integrasi asetnya terasa janggal. Netizen menemukan aset yang sama persis di marketplace Daz3D, tanpa ada perubahan signifikan. Bahkan, karakter-karakternya terlihat kaku dan minim ekspresi, seperti robot yang baru selesai diprogram.

Jujur saja, melihat karakter yang tidak bisa menggerakkan wajahnya saat sedih atau senang itu rasanya seperti nonton film horor. Kita bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar manusia, atau hanya boneka yang dihidupkan dengan magic?

Yang paling mengherankan adalah alasan di balik penggunaan aset stok ini. Apakah karena kita kekurangan animator handal? Tentu tidak. Indonesia punya banyak sekali animator muda yang berbakat.

Contohnya, animasi buatan anak-anak sekolah yang viral di TikTok, atau film-film animasi lokal yang bertebaran di Youtube. Mereka mungkin tidak punya budget Rp 6,7 miliar, tapi kreativitas dan semangat mereka jauh melampaui batasan finansial. Jadi, bukan karena kita tidak mampu, tapi mungkin karena kita memilih jalan pintas yang salah.

Sisi Jenaka dari Sebuah Kritik Tajam

Kritik tajam dari netizen kadang punya sisi jenaka. Kasus Merah Putih: One For All ini, bagi saya, adalah contoh terbaik dari bagaimana netizen bisa mengolah kekesalan menjadi humor yang menghibur.

Mereka bukan hanya mengkritik, tapi juga membuat meme, video parodi, bahkan thread di Twitter X yang isinya sindiran halus tapi menusuk. Salah satu yang paling kocak adalah ketika netizen membandingkan animasi ini dengan game Free Fire atau game-game PS2.

“Ini mah kayak nonton cutscene game Free Fire,” kata salah satu netizen.

Ada juga yang bilang, “Bayangkan, 6,7 miliar buat bikin film yang kualitasnya kayak render PS2.”

Tentu saja, sindiran ini tidak datang tanpa alasan. Jika kita bandingkan dengan game engine modern seperti Unreal Engine atau Unity, visual yang ditawarkan oleh film ini memang terasa seperti flashback ke masa lalu. Bahkan, ada game indie yang dibuat oleh satu orang dengan budget minim, tapi visualnya jauh lebih bagus.

Jadi, perbandingan ini, meskipun jenaka, sebenarnya adalah kritik yang valid. Kritik bahwa uang sebanyak itu seharusnya bisa menghasilkan sesuatu yang jauh lebih baik.

Respons produser Toto Soegriwo yang terkesan santai dan defensif juga menjadi bahan candaan tersendiri. Ketika ditanya tentang penggunaan aset Daz3D, beliau menjawab, “Kalau kalian enggak suka, ya sudah.”

Jawaban ini bukan hanya defensif, tapi juga terkesan menyepelekan para penonton dan penggiat industri kreatif. Padahal, penonton adalah raja. Tanpa penonton, film tidak akan berarti apa-apa. Dan kritik dari penonton, meskipun tajam, adalah vitamin yang seharusnya bisa membuat kita lebih baik.

Di sisi lain, respons produser ini juga menunjukkan kurangnya kepemilikan (ownership) terhadap kritik. Mereka tidak merasa bertanggung jawab untuk menjelaskan, apalagi memperbaiki.

Seolah-olah, film ini adalah karya yang sempurna dan tidak bisa diganggu gugat. Sikap ini sangat berbahaya, karena bisa menular dan membuat industri kreatif kita jadi mandek.

Di Mana Roh Merah Putih yang Sebenarnya?

Film ini berjudul Merah Putih: One For All. Dari judulnya saja, kita sudah bisa menebak bahwa film ini mengangkat tema nasionalisme, persatuan, dan perjuangan.

Film ini mengisahkan misi sekelompok anak menjaga dan menyelamatkan bendera pusaka menjelang perayaan kemerdekaan.

Sebuah ide cerita yang sangat mulia dan berpotensi besar untuk membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan anak muda. Tapi, jika filmnya sendiri terasa dibuat dengan asal-asalan, di mana roh Merah Putih itu sebenarnya?

Roh Merah Putih bukanlah hanya soal bendera, tapi juga soal integritas, kejujuran, dan totalitas. Membuat sebuah karya, apalagi dengan dana publik (jika memang sebagian besar dananya berasal dari pemerintah atau sponsor yang peduli), harus dengan totalitas. Bukan dengan jalan pintas dan bahan seadanya.

Jika film ini dibuat dengan niat tulus untuk menginspirasi, maka proses pembuatannya pun harus dilakukan dengan tulus. Jangan sampai, film yang mengangkat tema nasionalisme justru membuat kita kehilangan integritas sebagai bangsa yang kreatif.

Kasus Merah Putih: One For All adalah wake-up call bagi industri kreatif kita. Bahwa kita tidak bisa lagi mengandalkan anggaran besar tanpa kualitas yang sepadan.

Kita harus kembali ke esensi bahwa karya yang baik lahir dari ide yang murni, kerja keras, dan dedikasi. Bukan dari aset stok dan jalan pintas.

Jika kita bisa membuat karya yang berkualitas, dengan semangat juang yang tinggi, maka kita tidak hanya menyelamatkan bendera pusaka, tapi juga menyelamatkan industri kreatif kita dari kebangkrutan moral.

Seperti yang dikatakan (Zainal & Mat Desa, 2025), jika integrasi aset stok terasa generik atau tidak selaras dengan narasi, penonton bisa menilai film kurang orisinal atau kurang berkesan. Dan itulah yang terjadi pada film ini.

Ia menjadi film yang terlupakan, bahkan sebelum ia sempat tayang di bioskop. Karena yang diingat oleh penonton bukanlah ceritanya, melainkan kritik pedasnya.

Refleksi

Film Merah Putih: One For All ini adalah cerminan dari kondisi industri kreatif kita. Di satu sisi, kita punya banyak talenta muda yang luar biasa. Di sisi lain, kita punya segelintir orang yang merasa bahwa uang bisa membeli segalanya, termasuk kreativitas.

Padahal, yang namanya kreativitas, itu tidak bisa dibeli. Ia harus dilahirkan dari hati, dipupuk dengan kerja keras, dan disiram dengan dedikasi.

Jangan sampai, karena ambisi yang terburu-buru, kita merusak reputasi bangsa di mata dunia. Dan jangan sampai, karena sebuah kritik, kita menjadi defensif dan menutup diri. Justru, kritik adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Yudi Wili Tama