Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | e. kusuma .n
Ilustrasi Opor Ayam (SHUTTERSTOCK/Ratih Ra)

Bagi seorang perempuan yang hidup di dunia dengan budaya patriarki yang kental, kemampuan memasak seolah menjadi kewajiban yang melekat tanpa bisa didebat. Perempuan harus bisa memasak, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga keluarganya. Setidaknya begitulah doktrin dalam masyarakat yang masih tumbuh subur hingga saat ini.

Aku pun tumbuh dalam keluarga di mana sosok ibu menjadi panutan atas standar masakan terenak di dunia. Tanpa disadari, momen untukku yang saat itu masih berstatus mahasiswi tingkat akhir 'dipaksa' memasak pun tiba, yaitu hari di mana ibu tidak mampu lagi melakukan pekerjaan domestik karena harus terbaring di ranjang rumah sakit.

Tugas memasak di rumah beralih padaku tanpa ada aba-aba 'serah terima jabatan' dari ibu. Aku pun harus mengambil alih peran ini demi memenuhi kebutuhan perut untuk bapak dan adik lelakiku yang masih duduk di bangku SMP. Untuk masakan sehari-hari yang sederhana, tentu bukan hal yang sulit dilakukan. Sekadar sayur sop sampai bening bayam beserta lauk pauk a la rumahan masih cukup mudah dieksekusi.

Hanya saja, cara Tuhan mendorongku terjun dalam situasi ini cukup ekstrem. Sakitnya ibu seolah menjadi 'training camp' untukku belajar aneka menu masakan rumahan. Hingga akhirnya ibu berpulang, aku sudah memiliki dasar mengambil alih pekerjaan domestik di dapur, termasuk mengatur keuangan rumah tangga.

Namun, di penghujung bulan Ramadan pertama setelah ibu wafat, muncul banyak pertanyaan dalam benakku. Bagaimana aku akan memegang kendali atas menu lebaran tahun ini tanpa ibu? Bumbu apa saja yang harus digunakan untuk membuat opor ayam? Apakah masakan lebaranku akan seenak buatan ibu?

Di tengah kemelut pikiranku sendiri, satu hari bapak pulang dari bekerja dan memberiku dua lembar catatan. Bumbu opor ayam dan bumbu sambal goreng, itulah judul besar dari dua lembar kertas yang lengkap dengan urutan memasaknya.

Bapak bilang, beliau bertanya pada rekan kantor karena aku belum tahu bagaimana memasak menu lebaran. Tulisan tangan dalam catatan tersebut sama sekali asing. Namun, hal sederhana dari sikap bapak tersebut sangat familier dan menjadi bentuk perhatian yang sangat berharga untukku.

Bahagia, tentu saja. Dua lembar kertas itu menjadi modal utama untukku memulai 'tugas negara' memasak menu lebaran favorit keluarga. Tidak sendiri, bapak dan adik lelakiku bahkan ikut membantu acara memasak keluarga ini. Priceless moment yang tak pernah hilang dari ingatanku sampai detik ini.

Kami saling berbagi tugas, mulai dari menyiapkan santan manual sejak memarut kelapa utuh untuk diambil sarinya sampai menghaluskan bumbu tanpa bantuan mesin blender. Kami pun berhasil melalui hari tersibuk di penghujung Ramadan demi berbuka puasa dengan menu lebaran pertama buatanku.

Opor ayam dan sambal goreng kentang krecek rampung dibuat. Tidak disangka, hasilnya cukup memuaskan untuk masakan perdana. Meski belum seenak masakan buatan ibu tentu saja. Namun, aku cukup puas dengan hasil tersebut.

Jika ada satu penyesalan terbesar, maka itu adalah ketidakhadiran ibu untuk mencicipi 'proyek' menu lebaranku. Akan tetapi, aku yakin ibu pasti bangga dengan hasil kerja kerasku bersama bapak dan adik lelakiku hari itu.

Opor ayam perdanaku yang menjadi menu lebaran pertama sepeninggal ibu. Masakan yang tidak akan pernah aku lupakan selamanya. Bukan hanya soal rasa, tapi juga sepanjang prosesnya hingga menu tersebut sukses tersaji di meja makan.

Ramadan dan Idul Fitri pertama tanpa ibu ditemani menu lebaran perdana sepeninggal partner debat tersayangku.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

e. kusuma .n