Bullying bukan hanya terjadi di sekolah. Nyatanya, banyak orang dewasa mengalami perundungan oleh rekan atau atasan di lingkungan kerja tanpa sadar yang dikenal dengan istilah workplace bullying.
Fenomena ini sering dianggap “bumbu kantor” yang berlindung di balik tameng “cuma bercanda” hingga perilaku tidak sehat tersebut semakin banyak dinormalisasi dan membudaya.
Padahal, tekanan emosional dan psikologis akibat perundungan di tempat kerja dapat berdampak serius pada kesehatan mental, produktivitas, hingga karier seseorang. Lalu, mengapa masih dianggap normal dan marak dilakukan?
Workplace Bullying: Potensi Luka Di Balik Doktrin Gemblengan Dunia Kerja
Workplace bullying sebenarnya sudah mengarah pada perilaku intimidatif, merendahkan, atau menyakiti seseorang secara konsisten dalam konteks pekerjaan. Perilaku ini sudah bukan sekadar kritik kerja atau teguran profesional.
Tindakan berulang yang cenderung merendahkan martabat, menciptakan ketakutan atau tekanan ekstrem, dan membuat seseorang tidak nyaman bekerja menjadi ciri khas yang sebenarnya mudah dikenali tapi disepelekan.
Pelaku dan lingkungan menjadikan workplace bullying sebagai gemblengan di dunia kerja. Doktrin ini pun semakin mendarah daging seolah lazim dilakukan siapa saja, termasuk atasan, senior, dan bahkan rekan kerja.
Bentuk Workplace Bullying yang Sering Dianggap Sepele
Saking membudayanya, workplace bullying seolah menjadi kebiasaan yang hampir selalu bisa ditemui di tempat kerja dan masih sering dianggap sepele. Yang paling umum, bentuknya berupa public shaming.
Atasan atau senior seolah merasa berhak memarahi, mengkritik, atau mempermalukan seseorang di hadapan rekan kerja, di ruang rapat, bahkan grup kantor. Kalimat seperti “Kamu bikin malu tim!” atau “Ini semua salah kamu!” jadi bentuk bullying yang khas terjadi.
Bukan cuma omongan menyakitkan, micro-management berlebihan juga jadi bentuk bullying yang jarang disadari. Mengawasi setiap gerakan, meminta update tidak wajar, dan meragukan kemampuan karyawan secara terus-menerus merupakan bentuk intimidasi.
Yang sering terjadi, perundungan di tempat kerja berupa silent treatment atau pengucilan. Korban tidak diajak rapat, tidak dilibatkan proyek penting, atau sengaja diabaikan saat diskusi hingga merasa kurang dihargai.
Bahkan, pemberian beban kerja yang tidak adil juga masih sering terjadi dan menjadi bentuk bullying paling mudah dikenali di tempat kerja. Padahal, membebankan tugas berlebihan tanpa alasan logis atau memberikan deadline tidak manusiawi, termasuk bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Di tambah lagi sesama rekan kerja berbagi gosip dan rumor yang merusak reputasi. Mulai dari menyebarkan berita tidak benar sampai membicarakan kehidupan pribadi korban kerap jadi bisik-bisik kantor.
Parahnya lagi, manipulasi emosional juga jadi wujud workplace bullying dari atasan atau rekan kerja yang memanfaatkan rasa tidak enak hati korban untuk memaksanya bekerja lebih lama, menerima kesalahan yang bukan miliknya, atau menuruti keinginan tertentu.
Mengapa Workplace Bullying Sering Dianggap Normal?
Budaya “hierarki kaku” di kantor kerap menjadi alasan utama mengapa workplace bullying sering dianggap normal. Ucapan kasar dan tekanan berlebihan dari senior atau atasan dianggap hal biasa di balik dalih “biar cepat bisa” atau “di dunia kerja memang keras”.
Fenomena ini juga makin berkembang karena korban memilih menahan diri karena takut dicap tidak profesional, baperan, dan tidak tahan banting. Padahal, menjaga batasan dan martabat juga menjadi bagian dari profesionalisme kerja.
Perundungan di kantor semakin tumbuh subur karean lingkungan menormalisasi candaan merendahkan yang terus berulang. Minimnya edukasi kampanye antibullying di lingkungan kerja juga turut andil pada ketiadaan kesadaran perilaku bullying.
Dampak Workplace Bullying pada Kesehatan dan Karier
Workplace bullying bukan sekadar ketidaknyamanan saat bekerja. Dampaknya bisa cukup serius, termasuk menyangkut keberlangsungan karier dan kesehatan mental.
Menurunnya rasa percaya diri, berkurangnya produktivitas, burnout parah, performa kerja menurun, stres berkepanjangan, kecemasan dan kelelahan mental, hingga keinginan resign karena lingkungan tidak sehat jadi dampak paling nyata.
Jika workplace bullying dibiarkan atau bahkan terus tumbuh subur, kondisi ini dapat merusak karier seseorang dalam jangka panjang. Pelakunya sudah lupa, tapi korban masih menyimpan luka meski sudah pindah ke tempat kerja baru.
Cara Menghadapi Workplace Bullying
Lalu, harus pakai cara apa menghadapi workplace bullying yang terlanjur dinormalisasi di balik tameng gemblengan dunia kerja? Kenali saja polanya lebih dulu untuk membedakan candaan atau teguran profesional dengan perundungan.
Catat bukti dan kejadiannya sebagai bentuk dokumentasi jika ada permintaan bukti saat melapor agar tidak dicap baper oleh pelaku. Pastikan juga untuk mencari dukungan agar tidak merasa sendiri melawan bullying.
Beranikan diri menetapkan batasan agar pelaku sadar kalau perilakunya salah dan merasa segan merundung kembali di lain waktu. Jika terlalu toksik, pertimbangkan untuk resign sebagai bentuk perlindungan kesehatan mental diri.
Baca Juga
-
Tren Zero Post Gen Z: Memilih Diam, Tapi Tetap Bersuara di Dunia Digital
-
Mini Sling Bag Masih Jadi Favorit Cewek, Ini Daya Tarik dan Tips Memilihnya
-
Eldest Daughter Syndrome: Beban Anak Perempuan Sulung yang Terabaikan
-
Fenomena Kasus Bullying Viral: Mengapa Kita Baru Bergerak saat Sudah Telat?
-
SEA Games 2025: Tim Bulu Tangkis Beregu Indonesia Kompak Lolos ke Final
Artikel Terkait
Kolom
-
KPK setelah Revisi: Dari Macan Anti-Korupsi Jadi Kucing Rumahan?
-
Konservasi Penyu di Pantai Sukamade Banyuwangi yang Menginspirasi
-
Hak Asasi Manusia, tapi Milik Siapa?
-
Cantik Itu Luka: Mengapa Orang Rupawan Juga Bisa Jadi Korban Bullying?
-
Nasib Malang Perempuan Nelayan: Identitas Hukum yang Tak Pernah Diakui
Terkini
-
Perjuangan Melawan Kemiskinan dan Tradisi Kaku dalam Novel Bertajuk Kemarau
-
Lesti Kejora Tetap Aktif Walau sedang Hamil, Billar Alami Couvade Syndrome?
-
Tren Zero Post Gen Z: Memilih Diam, Tapi Tetap Bersuara di Dunia Digital
-
5 Tips Ampuh Mengusir Kucing Liar dan Gak Balik Lagi, Jangan Disakiti!
-
Review Film Ozora: Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel, Kritik Pedas Buat Sistem Hukum