Tak semua kenangan tercipta dari momen-momen luar biasa. Ada kenangan yang tumbuh dari hal remeh—seperti aroma kelapa sangrai, gurih ayam goreng, dan sentuhan tangan orang tercinta yang menyuapkan makanan ke piring kita. Hal-hal sederhana seperti itulah yang sering justru menetap paling lama dalam hati.
Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan artikel tentang rumah makan milik Bobon Santoso—sosok yang dikenal luas di media sosial karena gaya memasaknya yang spektakuler dan penuh kejutan. Ia membuka rumah makan bernama Kuali Merah Putih yang mengusung konsep makanan rumahan khas Indonesia.
Salah satu menu yang disebutkan di artikel itu adalah ayam goreng serundeng. Namun siapa sangka, memori saya langsung terlintas di pikiran yang mengingatkan saya pada satu sosok yang sampai sekarang gak bisa lepas dari otak yaitu mendiang Kakek yang biasa saya panggil dengan sebutan bahasa Jawa "Mbah Kakung".
Sebungkus Ayam Goreng Sederhana Namun Bermakna Besar
Saat saya masih di kelas empat sekolah dasar, Jumat adalah hari favorit yang paling saya nantikan. Bukan karena besok libur sekolah, tapi karena Mbah Kakung biasanya datang bersama orang tua saya untuk menjemput saya pulang dari sekolah sekaligus juga mampir melihat lingkungan sekolah di sana.
Kami tak pernah naik kendaraan. Kami tidak pernah menggunakan kendaraan. Beliau lebih suka mengajak saya berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil hingga sampai di rumah. Namun, yang benar-benar saya tunggu adalah bungkusan mungil yang selalu ada di tangannya.
Isinya tak pernah berubah: Ayam goreng serundeng dari warung langganan Mbah Kakung yang berada dekat pasar. “Mangan sing okeh, le. Ben cepet lemu (Makan yang banyak, Nak. Biar cepat gemuk),” katanya sambil tersenyum.
Ayam itu digoreng hingga renyah di luar namun lembut di dalam, dengan taburan serundeng kelapa yang manis gurih dan wangi. Tapi lebih dari sekadar rasa, yang membuat momen itu membekas adalah cara beliau memberikannya—penuh perhatian dan kasih.
Setelah Mbah Kakung tiada, warung langganan itu juga ikut menghilang. Namun, kenangan tentang bungkusan sederhana itu tetap hidup dan tak pernah benar-benar pudar. Cita rasa ayam serundeng itu seolah tertinggal dalam ingatan, membekas begitu dalam.
Mencicipi Masa Lalu di Restoran Bobon Santoso
Rasa penasaran membawa saya ke Kuali Merah Putih. Restorannya kecil, tidak banyak dekorasi berlebihan, tapi ada kehangatan yang terasa sejak masuk. Begitu ayam serundeng diletakkan di meja, harum kelapa sangrai langsung membangkitkan memori yang telah lama tersimpan.
Saya menyendoknya pelan. Dan ketika suapan pertama masuk ke mulut, waktu seolah berhenti. Tekstur kulitnya yang krispi, aroma dagingnya yang lezat, serta rasa serundengnya yang pas, semuanya mengingatkan saya pada ayam serundeng yang dulu rutin dibawakan mendiang Mbah Kakung. Rasanya bukan hanya enak—tapi juga akrab, seperti menyentuh bagian kecil dari masa lalu yang selama ini hanya hidup dalam ingatan.
Tanpa sadar, saya menunduk. Menyantap perlahan. Seolah ingin menahan waktu agar tak cepat berganti. Suasana restoran menghilang, dan saya seperti kembali duduk di serambi rumah, ditemani Kakek yang tak banyak bicara, tapi penuh perhatian.
Rasa yang Menghubungkan Masa, Bukan Sekadar Mengenyangkan
Kuali Merah Putih bukan sekadar tempat makan. Ia menjadi ruang temu yang unik antara masa lalu dan sekarang. Dalam satu suapan, saya merasa diberi kesempatan untuk menyapa seseorang yang telah lama pergi, melalui rasa yang seolah dititipkan dalam menu sederhana.
Di saat banyak kuliner kini berlomba tampil unik demi viral di media sosial, tempat seperti ini justru memberi rasa hangat dan familiar, layaknya pulang ke rumah. Tak heboh, tapi tulus. Tak viral, tapi membekas.
Mungkin Food Vlogger keturunan Tionghoa tersebut tidak tahu bahwa satu porsi menu masakan Nusantara khas buatan tangannya itu bisa menjadi reminder yang mengkoneksikan seorang cucu pada kenangan terindah bersama alharhum Mbah Kakung.
Jika kamu punya kenangan yang serupa—tentang makanan, orang tersayang, atau momen yang pernah hilang—barangkali, sepiring makanan rumahan bisa jadi jembatan untuk bertemu kembali. Bukan secara fisik, tapi lewat rasa. Dan itu, kadang lebih dari cukup.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Rasa Rindu di Balik Sepiring Indomie Goreng yang Sederhana
-
Ketupat Pecel dan Keragaman Rasa yang Menyatukan Keluarga di Hari Raya Lebaran
-
Sepiring Nasi Telur di Pagi Hari: Sesuap Ungkapan Bisu Kasih Sayang Ibu
-
Opor Ayam: Masakan Lebaran Pertamaku Sepeninggal Ibu
-
Dapur Kosan Tanpa Pepes Ikan: Cerita Rasa dan Rumah yang Tertinggal
Kolom
-
Rasa Rindu di Balik Sepiring Indomie Goreng yang Sederhana
-
FOMO Membaca: Ketika Takut Ketinggalan Justru Membawa Banyak Manfaat
-
Ketupat Pecel dan Keragaman Rasa yang Menyatukan Keluarga di Hari Raya Lebaran
-
Viral dan Vital: Memaknai Ulang Nasionalisme dalam Pendidikan Digital
-
Boros karena FOLU: Waspada Perilaku Konsumtif dari TikTok Shop
Terkini
-
Air Terjun Sumber Pitu Tumpang: Surga Tersembunyi di Malang Timur
-
5 Rekomendasi Film Baru Sambut Akhir Pekan, Ada How to Train Your Dragon!
-
Piala Presiden 2025 Janjikan Hadiah Fantastis Meski Tak Sentuh Uang Negara
-
4 Inspirasi Gaya Rambut ala Ziva Magnolya yang Cocok Buat Pipi Chubby!
-
Ulasan Buku Move It, Mencintai Diri Sendiri dengan Menjaga Pola Hidup Sehat