Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Xandra Junia Indriasti
Ilustrasi Indomie Goreng. [Paxel]

Indomie menjadi salah satu makanan favorit banyak orang Indonesia, khususnya varian Mi Goreng. Menu ini dianggap simpel karena proses pembuatannya yang tidak boros waktu. Namun, ada rasa rindu yang sulit diatasi di balik kesederhanaan santapan tersebut.

Aku, 13 tahun lalu, masih disibukkan dengan aktivitas sebagai siswi SMA. Kehidupan saat itu bisa dibilang cukup menyenangkan, karena belum memikirkan betapa sulitnya mencari pundi-pundi rupiah. Hal-hal yang dilakukan hanya belajar dan bermain.

Saat itu, aku dan keluarga masih menetap di rumah nenek yang biasa dipanggil Mimi. Di usianya yang tak lagi muda, ia tetap terlihat enerjik. Ia lebih senang melakukan pekerjaan apapun ketimbang hanya berdiam diri. Ia berkata, diam justru membuat penyakit mudah bersemayam dalam tubuh.

Mimi bukan hanya sosok nenek bagiku. Ia adalah temanku yang selalu diandalkan kala orang tua sedang ribut-ribut kecil. Kala itu, aku pergi ke kamarnya untuk tidur bersama. Ia pun kerap menenangkan diriku yang mengoceh tidak karuan.

Tak cukup sampai di situ, Mimi juga sering memberi uang, menyiapkan lauk pauk, hingga membelikan camilan untuk disantap pagi hari. Ia bahkan mengurus cucunya ini seperti anaknya sendiri. Ia begitu sayang denganku dan adik laki-lakiku.

Namun, rasa sayang itu sempat disalahartikan oleh aku dan adik. Pasalnya, Mimi sering kali melarang untuk melakukan beberapa hal yang sebetulnya wajar bagi anak-anak seusia kami. Atas dasar itu, kita berdua menganggapnya sebagai nenek yang galak.

Sikap tersebut bahkan sampai dikenal oleh teman-teman kami di lingkungan dekat rumah. Tak jarang dari mereka yang takut saat menghampiri aku dan sang adik untuk mengajak bermain. Lambat laun, mereka mulai terbiasa dan mengerti jika galaknya Mimi karena sayang kepada para cucunya.

Suatu hari, aku pulang sekolah menggunakan angkutan umum. Namun, mendadak napasku sesak dan merasa ada yang tidak beres. Begitu sampai rumah, aku melihat ibuku sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di dekat Mimi yang terkulai lemas.

Ibu menyuruhku makan terlebih dahulu sebelum mengikutinya membaca Al-Qur'an. Aku pun memasak menu sederhana, yakni Indomie Goreng tanpa tambahan topping. Aroma bumbu khasnya sangat menggoda, namun beberapa detik kemudian, sudah tidak menggugah lagi.

Hal itu terjadi usai ibu berteriak Mimi tidak berumur panjang. Iya, ia meninggal dunia sesaat aku akan menyantap Indomie Goreng. Aku langsung melupakan mie paling lezat itu dan menghampiri Mimi dengan tangisan hebat.

Saat itu, aku berharap Mimi bisa melihatku lulus sekolah bahkan menikah seperti sekarang ini. Namun, takdir berkata lain. Berita kematiannya diumumkan di masjid hingga para tetangga datang untuk menyampaikan bela sungkawa.

Meski galak, Mimi dikenal banyak orang sebagai sosok yang baik hati. Tak sedikit yang merasa sepi atas kepergian nenekku. Aku lebih banyak menangis dan diam melihat Mimi yang sudah ditutupi kain. Aku kemudian ikut mengantarnya ke tempat peristirahatan yang terakhir.

Keesokan harinya, aku dengan mata yang bengkak melihat sepiring Indomie Goreng sudah keras. Meski tak rela, aku terpaksa membuangnya. Makanan ini hingga kini tetap menjadi kesukaanku, namun ketika menyantapnya, sering kali teringat akan kepergian Mimi.

Mimi adalah sosok wanita renta yang rela menerpa hujan untuk menjemput cucu-cucunya. Ia juga sempat mengingatkanku untuk tidak sembarangan dekat dengan pria. Perkataannya ini baru kusadari setelah ia pergi. Pria yang saat itu menjadi pasanganku memang bukan orang baik.

Kesederhanaan mie instan, Indomie Goreng, menyimpan kenangan sedih bagiku. Rasa rindu di balik sepiring menu ini sulit diatasi. Namun, rasanya yang semakin nikmat membuatku yakin bahwa Mimi juga mendapatkan kehidupan yang baik di akhirat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Xandra Junia Indriasti