Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi Kota Kotor yang Terancam Pemotongan Anggaran DAK (Pexels/LeoPatrizi)

Dulu, piala Adipura dipajang bangga di lobi balai kota. Ia difoto, disandingkan dengan walikota, bahkan diarak keliling kampung—seolah-olah trofi ini bukan cuma milik pejabat, tapi kebanggaan seluruh warga.

Namun kini, Adipura berubah wajah: bukan lagi penghargaan prestisius, melainkan alat paksaan yang menempelkan ancaman anggaran di ujung lidahnya. “Kalau kotor, siap-siap DAK-mu dipotong,” begitu kira-kira narasi terbaru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Apakah ini bentuk kedewasaan birokrasi atau justru pengalihan tanggung jawab? Apakah memotong Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah strategi jitu atau sekadar akal-akalan agar tanggung jawab kolektif berubah jadi hukuman sektoral?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengendap di balik tumpukan sampah yang tidak terangkut, di balik TPA yang masih bau terbakar, dan di tengah masyarakat yang mulai letih memilah sampah hanya untuk melihatnya kembali disatukan oleh truk pemerintah.

Mari kita kupas, dari simbol kehormatan hingga menjadi alat pengendali fiskal, bagaimana Adipura kini berbelok arah. Mungkin kita akan menemukan bahwa di balik senyum manis piala berwarna emas itu, terselip tekanan yang bikin kota-kota berkeringat dingin.

Kota Kotor dan Ancaman Fiskal: Ketika Anggaran Dipakai sebagai Rotan

KLHK telah mengeluarkan pernyataan yang mengguncang urat nadi kepala daerah: “Daerah yang masih kotor akan berisiko dipotong DAK-nya.” Di dunia pendidikan, istilah ini mirip seperti "tidak naik kelas dan uang jajannya disita".

Tapi ini bukan sekolah dasar, ini anggaran publik yang menghidupi layanan kota. Saat Adipura digunakan sebagai parameter, maka kota yang gagal menjaga kebersihan bukan cuma kehilangan prestise, tapi juga uang.

Langkah ini disebut sebagai bentuk disinsentif. KLHK sadar mereka bukan lembaga hukum, mereka tidak bisa mengeluarkan surat tilang, apalagi menjebloskan walikota ke penjara karena terlalu banyak sampah. Tapi dengan mengaitkan Adipura ke DAK, mereka memegang senjata pamungkas, yaitu dompet.

Namun kritik bermunculan. Seorang kepala daerah (yang memilih anonim karena takut DAK-nya beneran dipotong) menyebut, “Kalau anggaran kita sudah kecil, terus dipotong lagi, bukannya makin parah pengelolaan sampah kita?”

Dan benar saja, menurut penelitian Viljoen et al. (2021), daerah dengan anggaran terbatas cenderung gagal dalam pengumpulan dan pengolahan sampah secara optimal, menyebabkan penumpukan dan praktik pembuangan ilegal yang marak.

Artinya, skema ini bisa jadi lingkaran setan: kota kotor dipotong anggaran → pengelolaan makin buruk → kota makin kotor → dipotong lagi. Kalau ini strategi pembersihan, sayangnya pakai sapu yang menyebar debu ke mana-mana.

TPA: Dari Lubang Sampah ke Lubang Hitam Anggaran

KLHK saat ini mendampingi 343 pengelola Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang masih pakai sistem open dumping. Itu artinya, kita masih membuang sampah seperti zaman kolonial: tumpuk, bakar, lupakan.

Padahal, standar minimal sekarang adalah sanitary landfill atau paling tidak controlled landfill, sistem yang lebih manusiawi bagi bumi dan makhluk yang menghirup udara.

Anehnya, banyak TPA kita lebih mirip Jurassic Park daripada fasilitas modern. Sampah bertumpuk setinggi rumah, truk-truk mogok di tengah lumpur, dan burung bangkai beterbangan—semuanya nyata. Seperti sinetron, cuma beda episode.

Menurut Mukwevho et al. (2024), keterbatasan dana menjadi hambatan utama dalam mengubah TPA menjadi fasilitas yang layak. Infrastruktur mahal, peralatan teknis butuh pelatihan, dan SDM masih di level “asal gak bau.”

Maka ketika KLHK mengatakan TPA semacam itu akan dikeluarkan dari penilaian Adipura, rasanya seperti mengatakan kepada siswa yang tak punya buku, “Kalau tidak bawa alat tulis, kamu tidak boleh ikut ujian.”

Ini bukan sekadar soal standar, tapi juga soal keadilan. Pemerintah pusat harus sadar bahwa perubahan sistem di TPA membutuhkan investasi awal yang besar. Menyerahkan tanggung jawab penuh kepada daerah sambil menggenggam palu disinsentif adalah pendekatan yang kurang bijak, kalau tidak mau dibilang culas.

Dari Lambang Jadi Lencana: Adipura Kencana dan Gula-Gula untuk Kota Elite

Sebaliknya, kota yang berhasil meraih Adipura Kencana—tingkat tertinggi dari penghargaan ini—akan mendapatkan insentif. Ini seperti sistem ranking di sekolah, murid pintar dapat beasiswa, sementara yang kesulitan harus pinjam uang buat beli seragam.

KLHK menyebut bahwa penilaian Adipura kini mencakup sistem pengelolaan sampah, partisipasi masyarakat, dan fasilitas seperti Material Recovery Facility (MRF), TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle), serta pusat daur ulang. Masalahnya: fasilitas-fasilitas ini tidak tumbuh begitu saja seperti jamur. Mereka butuh anggaran, SDM terlatih, dan kemauan politik lokal.

Di sinilah letak jebakannya. Kota-kota besar yang sudah punya fasilitas itu akan semakin diuntungkan karena punya lebih banyak peluang untuk meraih insentif. Sementara kota-kota kecil, yang baru bisa menutup TPS dengan terpal pinjaman, dipaksa main di liga yang sama.

Zhang et al. (2024) menekankan bahwa kampanye edukasi dan pelibatan masyarakat sangat krusial dalam keberhasilan pengelolaan sampah. Tapi kota yang tidak punya dana untuk cetak pamflet saja pun, bagaimana bisa bersaing?

Insentif semacam ini membuat kita bertanya: apakah Adipura masih soal lingkungan, atau sudah berubah jadi sayembara dana pusat? Jika penghargaan ini mendorong kompetisi, bagus. Tapi jika mendorong ketimpangan, maka yang kita lihat bukan lomba lari, tapi balapan mobil F1 melawan becak.

Adipura dan PLTSa: Antara Sampah, Energi, dan Ego Nasional

Adipura kini diarahkan menjadi bagian dari kebijakan strategis nasional yang mendukung konsep waste to energy. Pemerintah sedang merevisi Perpres No. 35/2018 agar pembangunan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) bisa dipercepat, khususnya di kota dengan timbunan sampah lebih dari 1.000 ton/hari.

Di atas kertas, ini luar biasa. Sampah bukan cuma masalah, tapi juga sumber energi. Masyarakat bisa tidur tenang karena bau TPA berubah jadi cahaya lampu rumah. Tapi dalam praktiknya, proyek PLTSa sering berakhir seperti sinetron yang tidak pernah tamat: banyak plot, banyak konflik, tapi hasil tak kunjung tayang.

Masalahnya bukan cuma teknologi, tapi siapa yang mengendalikan proyek ini. PLTSa bukan proyek sembarangan. Ia menyedot triliunan rupiah, masuk dalam skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha), dan tidak jarang jadi ladang proyek bagi elite.

Maka, ketika Adipura diarahkan untuk mendukung proyek ini, muncul kecurigaan: apakah ini untuk lingkungan, atau untuk memastikan proyek besar jalan terus?

Menurut Jagun et al. (2022), disinsentif anggaran justru memperparah hambatan struktural, termasuk korupsi dan lemahnya sistem monitoring. Bayangkan: pemerintah kota harus mengejar Adipura demi membuka akses ke proyek PLTSa yang dikendalikan pusat. Sementara mereka sendiri kesulitan membayar sopir truk sampah.

Jadi, apakah Adipura versi baru ini alat percepatan pembangunan, atau sekadar prasyarat administratif agar skema waste to energy bisa dipasarkan ke investor?

Dari Sertifikat ke Sistem, Dari Medali ke Mentalitas

Perubahan wajah Adipura—dari simbol kehormatan jadi alat disinsentif—adalah cerminan bahwa kita masih kesulitan memutus antara motivasi dan tekanan. Di satu sisi, insentif dan disinsentif memang cara klasik dalam mendorong perubahan kebijakan. Tapi jika diterapkan tanpa sensitivitas sosial dan politik lokal, mereka berubah jadi instrumen kekuasaan.

Penting untuk mengingat bahwa pengelolaan sampah adalah kerja kolektif, bukan kompetisi bergengsi. Kota tidak bisa dibersihkan hanya dengan ancaman pemotongan DAK, tapi dengan kolaborasi: antara pusat dan daerah, antara pemerintah dan masyarakat.

Solusinya? Jika KLHK benar-benar ingin menjadikan Adipura sebagai pendorong sistem, maka peran pusat tidak boleh berhenti di penilaian dan pemotongan anggaran. Mereka harus hadir dalam bentuk asistensi, investasi, dan insentif berbasis kebutuhan—bukan sekadar piala.

Lebih jauh lagi, jika kita benar-benar ingin melihat kota bersih, mungkin yang harus diubah bukan hanya sistem Adipura, tapi cara kita memandang kebersihan: bukan sebagai syarat lomba, tapi sebagai bagian dari martabat hidup.

Yudi Wili Tama