Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin | Aninditha Nur Shafira
Ilustrasi atlet sepak bola perempuan.(Freepik/mdjaff)

Saya di sini, memulai tulisan ini dengan sepenggal cerita. Satu hal yang melatarbelakangi saya untuk menulis, sebutlah karangan esai ini, tidak lain adalah berangkat dari keresahan saya (atau barangkali kegalauan saya) terhadap stigma yang sering kali dilekatkan pada perempuan yang menunjukkan kecintaannya terhadap olahraga yang dianggap “maskulin”.

Barangkali perlu diketahui sebelumnya bahwa saya adalah seseorang yang amat menyukai sepak bola, yang bahkan akhir-akhir ini juga kerap mengikuti perkembangan berbagai cabang olahraga lainnya yang dipandang maskulin. Kendati begitu, saya tidak bisa mengklaim diri saya sebagai seorang yang paham betul tentang dunia olahraga.

Saat ini, saya masih berada pada tahap sebagai penggemar, tanpa merasa cukup pantas menyebut diri sebagai “pengulas”. Namun begitu, ketertarikan saya yang kuat terhadap dunia olahraga ini bukan hanya sekadar hobi, tapi bisa dibilang sebagai bagian dari identitas saya, yang kemudian mendorong saya untuk berbagi pandangan melalui tulisan ini.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, satu-satunya hal yang mendorong saya menulis karangan esai ini adalah stigma maskulin dalam dunia olahraga yang belakangan ini menjadi kegelisahan saya.

Kegelisahan saya sebenarnya tidaklah terletak pada bagaimana saya harus menyikapi berbagai persepsi tentang perempuan yang mencintai olahraga “maskulin” —terutama sepak bola, karena sadar kita tidak bisa menampik anggapan bahwasanya sepak bola hanya untuk laki-laki. Kekhawatiran saya justru lebih cenderung pada bagaimana stigma ini bisa mencederai kepercayaan diri dan menghambat identitas perempuan, terutama bagi mereka yang terlibat secara langsung dalam olahraga “maskulin”.

Minat pada Olahraga Maskulin, Terutama Sepak Bola, Bukan Sekadar FOMO

Ilustrasi suporter perempuan. (freepik.com)

Perempuan yang menggemari olahraga “maskulin”, bahkan menjadi atletnya, kerap dicap “tomboy”, atau “nggak feminin” karena melakukan sesuatu yang dianggap sebagai ranah laki-laki—seolah-olah kecintaan pada olahraga bertentangan dengan femininitas. Padahal, di luar itu, mereka bisa saja tampak seperti perempuan pada umumnya.

Terlepas dari persepsi yang berseliweran, saya tidak ingin mendorong Anda semua ke suatu arah pikiran tertentu selepas membaca tulisan ini. Sebab, ini hanyalah dorongan yang saya anggap 'normal'—biasanya saya sering merasakannya saat mendapatkan ilham untuk menulis.

Merasa belum cukup dengan stigma, berbagai bentuk diskriminasi juga kerap dialami perempuan termasuk saya, saat mulai menggemari sepak bola sebagai hobi.

Mungkin hampir semua perempuan yang menyukai olahraga maskulin terutama sepak bola, pasti pernah minimal sekali diragukan kecintaannya pada olahraga ini. Mereka sering kali menghadapi pertanyaan, seperti misalnya, "Emang beneran kamu suka bola? Kamu cewek lho, kan ini olahraga cowok banget."

Bahkan saya tidak ragu mengatakan bahwasanya perempuan yang menyukai sepak bola dianggap hanya karena mengikuti tren (FOMO) atau mencari eksistensi dan ingin dianggap ‘berbeda’ oleh laki-laki. Hal ini membuat banyak orang mikir kalau anggapan bahwa perempuan yang menyukai sepak bola cuma sekadar ingin meniru laki-laki atau mencari sensasi.

Sering kali, ketika perempuan menunjukkan kecintaannya terhadap sepak bola, mereka malah menghadapi tuduhan bahwasanya mereka tidak tahu-menahu tentang dunia persepakbolaan, atau olahraga maskulin lainnya.

Masyarakat memang lebih akrab melihat sepak bola sebagai olahraga maskulin, baik sebagai pemain maupun sekadar penggemar. Hal ini terlihat dari banyaknya laki-laki yang sering menonton dan bermain sepak bola, sementara perempuan yang menunjukkan minat sebagai penggemar saja agaknya masih dianggap bukan hal yang wajar.

Sejujurnya, pandangan seperti itu sungguh mengecewakan. Meski begitu, saya tidak bisa menyangkal bahwa memang ada perempuan yang menyukai sepak bola hanya karena tertarik pada fisik pemain atau sekadar ikut-ikutan. Namun, kiranya tidak adil untuk menggeneralisasi bahwa semua perempuan menyukai sepak bola hanya untuk mencari sensasi. Rasa-rasanya masih banyak perempuan di luar sana yang benar-benar menyukai sepak bola karena minat mereka yang serius, tanpa embel-embel seperti itu.

Sejak kecil, terutama ketika saya memasuki usia SMP, saya mulai benar-benar tertarik dengan sepak bola dan mengikutinya dengan serius sebagai seorang penggemar. Terus terang, saya tidak menyangka bahwa ketertarikan terhadap sepak bola—yang identik dengan dunia laki-laki—harus menemui berbagai kendala hanya untuk menunjukkan bahwa saya punya minat murni karena suka.

Meskipun lingkungan tempat tinggal saya tidak terlalu mempermasalahkan perempuan yang menyukai sepak bola, namun persepsi di lingkungan sekolah terutama media sosial memandang berbeda pada perempuan yang menyukai sepak bola. Hal ini saya rasakan sendiri ketika mulai menggunakan media sosial.

Saat berinteraksi di dunia maya, komentar-komentar sarkastik dan meremehkan sering kali saya hadapi, seolah-olah perempuan tidak berhak untuk mendalami dunia sepak bola. Komentar-komentar menyebalkan itu sering kali membuat saya merasa risih karena dianggap tidak tahu apa-apa tentang dunia sepak bola.

Bahkan, teman laki-laki yang tahu saya menyukai sepak bola sering melontarkan lelucon yang menyangkut tim favorit saya. Meski saya sering menganggapnya sebagai candaan biasa dalam konteks olahraga, tetapi saya merasa hal ini mencerminkan norma-norma maskulinitas yang masih dominan.

Hal ini membuat saya menyadari, ternyata hanya sekadar menjadi penggemar sepak bola tidak semudah kelihatannya.

Jujur saja, meskipun hanya sekadar menonton pertandingan atau mengikuti perkembangan berbagai cabang olahraga lainnya seperti sepak bola, hal itu selalu menjadi kesenangan bagi saya.

Saya selalu merasa tertarik dengan dinamika dan semangat yang ada di dalamnya. Sepak bola, bagi saya, bukan hanya sekadar permainan, tapi “itu kayak ngeliat gimana cara kerja sama, bikin rencana, dan solid bareng-bareng buat menang”. Sayangnya, minat saya ini sering kali dianggap nyeleneh atau nggak wajar oleh sebagian orang hanya karena saya perempuan.

Tidak hanya penggemar sepak bola perempuan yang kerap menghadapi perlakuan diskriminasi, tetapi juga para pemain sepak bola perempuan. Mereka sering kali diremehkan dan dianggap hanya sebagai objek hiburan. Kemampuan olahraganya sering kali diragukan dan dianggap jauh di bawah pemain laki-laki.

Saat itu, saya belum tahu bagaimana membantah argumen murahan mereka dan hanya bisa menerimanya. Namun, sekarang situasinya berbeda.

Kiprah Perempuan dalam Dunia Olahraga

Di era sepak bola modern yang sangat komersial ini, kehadiran perempuan dalam dunia sepak bola sudah menjadi hal yang umum dan tidak asing lagi. Perempuan kini sudah lebih mampu menampilkan jati diri mereka, bahkan kita sering melihat mereka berkontribusi dalam berbagai peran di dunia ‘si kulit bundar’.

Kita dapat melihat bahwa perempuan tidak hanya hadir sebagai penggemar atau pemain dalam dunia sepak bola, tetapi juga berkontribusi dalam berbagai peran lainnya seperti pelatih, komentator, manajer, atau posisi penting lainnya. Jadi, perempuan juga berhak dan dapat merasakan atmosfer yang ditawarkan oleh sepak bola. 

Dengan kata lain, perempuan kini lebih sering terlihat dan memiliki peran aktif serta signifikan dalam sepak bola. Hal ini menandakan adanya kemajuan dalam penerimaan dan partisipasi mereka di bidang olahraga ini.

Peningkatan signifikan dalam jumlah perempuan yang terlibat dalam berbagai posisi kepemimpinan di federasi sepak bola nasional juga menunjukkan bahwa pandangan masyarakat terhadap perempuan dalam sepak bola semakin positif dan terbuka.

Dari situ sudah cukup membuktikan terkait pandangan yang menyatakan bahwa sepak bola adalah 'dunia laki-laki' tampaknya sudah usang. Stigma yang ada membatasi pandangan kita tentang apa yang seharusnya dianggap sebagai minat atau hobi yang sah bagi perempuan, dan menghalangi mereka untuk mengejar apa yang benar-benar mereka cintai.

Hal seperti itulah yang ingin saya sampaikan dalam karangan esai ini, bahwasanya sepak bola atau olahraga yang dipandang 'maskulin' seharusnya layak dinikmati oleh siapapun, tidak dibatasi oleh gender.

Perempuan juga sudah semestinya berhak terjun ke bidang olahraga apapun, termasuk sepak bola, tanpa harus menghadapi diskriminasi gender.

Did you know? Banyak penelitian bilang kalau keberagaman dalam minat dan hobi bisa bikin kita lebih kreatif dan bahagia. Mungkin sudah saatnya kita mengubah pandangan kita dan merayakan keberagaman minat di semua gender.

Kalau boleh saya bilang dengan bahasa yang lebih santai,  "Sekarang udah jelas banget, kan? Sepak bola bukan cuma buat cowok doang". Jadi, mau suka bola, masak, atau nge-dance, semua sah-sah aja!"

Aninditha Nur Shafira