Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi tambang (Pexels/Jan-Rune Smenes Reite)

Tembaga. Logam berkilau kemerahan ini mungkin tak sekeren emas atau sepopuler nikel, tapi jangan salah, karena tembaga adalah komoditas utama yang jadi tulang punggung teknologi modern. Dari kabel listrik, kendaraan listrik, sampai panel surya, semuanya butuh tembaga. Dan Indonesia adalah salah satu pemilik cadangan tembaga terbesar di dunia.

Makanya, publik agak mengernyitkan dahi ketika dalam kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat, muncul kabar bahwa AS akan mendapatkan akses penuh terhadap sumber daya Indonesia, termasuk tembaga, dan tanpa tarif. Gratisan, katanya. Ini bukan desas-desus, tapi bagian pernyataan resmi yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump beberapa waktu lalu.

AS menurunkan tarif impor produk Indonesia menjadi 19%, sementara negara membuka pintu lebar-lebar bagi mereka untuk masuk dan mengambil bahan mentah dari bumi kita, tanpa tarif.

Jadi siapa yang sebenarnya lebih diuntungkan? Apakah ini masih bisa disebut perjanjian dagang? Atau jangan-jangan negara tanpa sadar sedang menyerahkan sumber daya penting ke tangan asing, dengan bungkus kata-kata indah bernama kerja sama strategis?

Analogi gampangnya gini, kamu punya tambang di halaman rumah. Tetanggamu datang, bilang mau beli barang dagangan kamu lebih murah dari biasanya, tapi dengan syarat, dia boleh ambil apa pun dari halaman rumahmu, bebas, tanpa bayar. Coba pikir, itu kerja sama atau kamu lagi ditipu secara halus?

Kita sering bangga menyebut Indonesia sebagai negara kaya, kaya tambang, kaya hutan, kaya laut. Tapi apa gunanya semua itu kalau dalam praktiknya, kita lebih sering jadi penyedia murah ketimbang pemilik yang berkuasa penuh?

Indonesia sudah menjadi ahlinya dalam ekspor bahan mentah. Kita kirim nikel, batu bara, tembaga, dan masih banyak lagi ke luar negeri dalam bentuk mentah, sementara negara tujuan eksporlah yang mengolah dan menjualnya kembali dalam bentuk teknologi canggih dengan harga berkali lipat. Kita jualan bahan baku, mereka panen nilai tambah.

Nah, justru belakangan ini pemerintah mulai menggaungkan hilirisasi, yaitu proses mengolah bahan mentah di dalam negeri supaya kita nggak terus-terusan rugi di ujung rantai pasok. Itu langkah yang bagus. Tapi sekarang, dengan adanya akses penuh tanpa tarif untuk AS, publik khawatir hilirisasi akan jadi mimpi di siang bolong, kita pun akan tetap menjadi penyedia bahan mentah murah untuk kepentingan diplomasi.

Apalagi, kesepakatan ini muncul dari percakapan bilateral yang katanya hanya berlangsung selama 17 menit. Bayangin aja, nasib tembaga Indonesia dibahas secepat itu, tanpa ada transparansi isi dokumen, tanpa diskusi publik, dan tanpa keterlibatan parlemen.

Rakyat mempertanyakan transparansinya. Apakah benar rakyat Indonesia tahu apa yang sedang dinegosiasikan atas nama mereka? Atau ini hanya bagian dari diplomasi satu arah, di mana pemerintah merasa tahu yang terbaik, dan rakyat cukup terima jadi penonton?

Yang lebih mengkhawatirkan, ketika akses penuh diberikan kepada negara seperti AS, yang mana memiliki kekuatan modal, teknologi, dan lobi politik yang luar biasa, kita bisa saja dengan mudah kehilangan kontrol. Hari ini mungkin tembaga. Besok? Siapa tahu. Nikel? Emas? Air? Hutan?

Kalau semua itu diserahkan begitu saja hanya demi pencitraan hubungan erat dengan negara adidaya, kita mungkin sedang menjual masa depan hanya demi headline yang terlihat bagus di berita.

Perjanjian strategis itu harus win-win, bukan sekadar win-one-side. Apalagi kalau satu pihak cuma mendapat diskon tarif, sementara pihak lain dapat tembaga gratisan.

Kekayaan alam seharusnya bukan jadi alat tawar-menawar kilat di meja diplomasi. Itu adalah hak rakyat, warisan generasi, dan tanggung jawab negara. Kalau hari ini kita biarkan tembaga keluar tanpa tarif, siapa yang bisa menjamin besok anak cucu kita masih punya apa-apa?

Fauzah Hs