Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (Instagram/bahlillahadalia)
Fauzah Hs

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, baru-baru ini mengumumkan bahwa pemerintah akan mewajibkan pencampuran etanol 10 persen dalam bahan bakar minyak, atau yang disebut E10.

Sebelumnya, campuran etanol di Indonesia baru 5 persen, dan hanya ada di produk Pertamax Green 95. Tapi Bahlil bilang, Presiden Prabowo sudah menyetujui langkah ini. Katanya, tujuan kebijakan ini untuk mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar fosil dan impor minyak dari luar negeri.

Kedengarannya bagus, bukan? BBM lebih ramah lingkungan, impor berkurang, negara hemat devisa, dan katanya udara bisa lebih bersih.

Tapi seperti banyak kebijakan “hijau” yang pernah kita dengar sebelumnya, masalahnya bukan di idenya, tapi siapa yang benar-benar siap menjalankannya.

Mari kita lihat lebih dekat.

Untuk menghasilkan bensin campuran etanol, tentu kita butuh etanol dalam jumlah besar. Nah, di sinilah masalah mulai terasa.

Menurut data dari Reuters (7 Oktober 2025), kapasitas produksi etanol Indonesia memang mencapai lebih dari 300 ribu kiloliter per tahun. Tapi, yang benar-benar berhasil diproduksi hanya sekitar 160 ribu kiloliter, alias baru setengahnya.

Artinya, kalau pemerintah memaksa program E10 berjalan dalam waktu dekat, kita bisa kekurangan bahan baku dan akhirnya harus impor etanol dari luar negeri.

Ironis, bukan?

Kebijakan yang katanya untuk mengurangi impor, malah bisa bikin kita impor jenis energi baru.

Lalu, bagaimana dengan kendaraan yang akan memakai BBM jenis baru ini?

Kementerian ESDM menyebut sebagian besar kendaraan di Indonesia aman menggunakan campuran etanol hingga 20 persen. Tapi faktanya, banyak pemilik mobil dan motor yang belum yakin.

Beberapa mekanik mengatakan, etanol bisa mempercepat kerusakan di bagian tertentu seperti karet, seal, atau sensor bahan bakar, apalagi pada kendaraan lama yang belum disesuaikan dengan bahan bakar bio.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah soal harga.

Etanol bukan bahan bakar murah. Untuk membuatnya, dibutuhkan bahan baku seperti tebu, singkong, atau jagung. Proses produksinya pun tidak sederhana, dan sering kali butuh insentif dari pemerintah agar harga jualnya bisa bersaing dengan bensin biasa.

Artinya, kalau harga etanol tinggi, maka BBM campuran seperti E10 bisa jadi lebih mahal. Kalau pemerintah ingin menahan harga agar tetap terjangkau, berarti subsidi harus ditambah. Dan kalau subsidi bertambah, ya ujung-ujungnya tetap uang rakyat juga yang keluar.

Beberapa ahli energi bahkan sudah memperingatkan bahwa kebijakan E10 ini bisa menjadi “beban ganda” bagi masyarakat. Di satu sisi, biaya produksi tinggi, di sisi lain, masyarakat dipaksa membeli BBM dengan harga lebih mahal, padahal belum tentu semua kendaraan siap menggunakannya.

Masalah berikutnya adalah soal bahan baku.

Kalau etanol diambil dari tebu, singkong, atau jagung, maka itu berarti tanaman pangan akan dijadikan energi.

Misalnya, kalau banyak lahan pertanian dipakai untuk menanam tebu atau singkong untuk kebutuhan bioetanol, maka pasokan untuk pangan bisa berkurang. Harga bahan makanan bisa naik, dan yang paling kena dampaknya tentu masyarakat kecil.

Di sisi lain, jika pemerintah membuka jalan bagi industri besar untuk masuk ke bisnis bioetanol, maka risiko eksploitasi lahan, termasuk pembukaan hutan baru juga mengintai. Alih-alih menjadi kebijakan hijau, E10 justru bisa menambah jejak karbon baru dari deforestasi.

Di media sosial, reaksi publik terhadap rencana Bahlil ini pun ramai. Banyak yang justru mengkritik keras kebijakan ini dan meminta agar sang menteri diganti.

Komentar-komentar seperti “Semua kebijakannya bikin rakyat susah,” muncul di berbagai platform.

Wajar saja, karena publik sudah sering mendengar janji-janji besar soal energi hijau, tapi jarang melihat hasilnya. Kita pernah dengar soal mobil listrik yang katanya akan jadi masa depan, tapi sampai sekarang stasiun pengisian dayanya masih minim. Sekarang datang lagi janji baru, BBM campur etanol.

Padahal kalau dijalankan dengan benar, konsep bioetanol ini sebenarnya bagus.

Kita bisa membantu petani tebu dan singkong, membuka lapangan kerja baru di pedesaan, dan mengurangi polusi dari bensin murni. Tapi semua itu hanya mungkin kalau pemerintah benar-benar serius menyiapkan ekosistemnya, dari pabrik, distribusi, kendaraan, sampai regulasi yang jelas.

Kebijakan E10 ini seharusnya tidak jadi proyek kebanggaan instan. Ia perlu dijalankan perlahan tapi pasti, dimulai dari kesiapan industri lokal. Jangan sampai demi tampil modern dan ramah lingkungan, rakyat justru jadi korban percobaan kebijakan yang belum matang.

Sobat Yoursay, apakah kamu yakin E10 akan membawa Indonesia lebih maju? Atau justru khawatir ini hanya langkah tergesa-gesa yang ujungnya membebani rakyat kecil?