Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Purbaya Yudhi Sadewa (Instagram/kemensetneg.ri)
Fauzah Hs

Kalau mendengar pemerintah daerah (pemda) protes soal anggaran, Sobat Yoursay mungkin sudah bisa menebak ujung ceritanya, pusat potong jatah, daerah marah, lalu publik terbagi antara simpati dan skeptis. Begitulah yang sering terjadi.

Kali ini yang jadi tokoh utamanya adalah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa lewat keputusannya memotong anggaran transfer ke daerah (TKD) 2026, dengan alasan banyak pemda dinilai tidak bisa membelanjakan uang yang sudah dikasih dengan baik.

Langkah ini jelas bikin panas telinga para kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Mereka menilai pemotongan TKD akan menghambat pembangunan di daerah dan membuat layanan publik tersendat.

Di dunia maya, reaksi publik justru terbalik. Banyak warganet bersorak mendukung langkah Menkeu. Mereka melihat ini sebagai tamparan keras bagi para kepala daerah yang dianggap terlalu lama menyimpan uang rakyat sebelum benar-benar digunakan.

Komentar publik menggambarkan frustrasi yang sudah lama terpendam, dari belanja daerah yang baru ngebut di akhir tahun, berbarengan dengan maraknya rapat kerja, kunjungan dinas, dan proyek-proyek yang dikebut demi menyerap anggaran.

Di sini lah tarik-menarik antara pusat dan daerah muncul kembali. Pemerintah pusat ingin memastikan uang rakyat dipakai efektif, sementara daerah merasa ditekan tanpa diberi ruang perbaikan sistemik.

Sebagian pihak bahkan menyebut kebijakan ini sebagai bentuk sentralisasi baru, di mana otonomi daerah pelan-pelan direm lewat mekanisme anggaran.

Namun, terlepas dari perdebatan itu, publik tampaknya sudah punya penilaian sendiri. Banyak yang muak melihat APBD yang besar tapi tak terasa dampaknya di daerah. Jalan rusak tetap berlubang, puskesmas kekurangan alat, guru honorer belum sejahtera. Tapi di sisi lain, anggaran perjalanan dinas justru melonjak.

Kritik Purbaya terhadap kualitas belanja daerah sebenarnya membuka ruang refleksi, mengapa kita masih mengukur keberhasilan pemerintah dari seberapa banyak uang dihabiskan, bukan dari seberapa besar manfaat yang dirasakan rakyat?

Sobat Yoursay, coba bayangkan kalau pemerintah daerah setiap tahun mengendapkan ratusan triliun rupiah, lalu buru-buru membelanjakannya hanya agar laporan serapan terlihat bagus, bukankah itu artinya uang rakyat sedang diperlakukan seperti formalitas akuntansi, bukan alat pembangunan?

Langkah tegas memotong TKD bagi daerah yang tidak disiplin bisa jadi shock therapy, tapi tentu tak cukup jika hanya berhenti di ancaman.

Pemerintah pusat juga perlu memperbaiki sistem pencairan dan pengawasan agar tidak hanya menghukum, tapi juga mendorong perbaikan. Tidak semua daerah lamban karena malas; sebagian memang tersandera oleh regulasi yang kaku dan birokrasi yang panjang.

Namun, terlepas dari alasan teknis itu, masalah paling besar tetap ada di paradigma, bahwa sebagian kepala daerah masih melihat anggaran bukan sebagai amanah publik, tapi sebagai ruang manuver politik.

Proyek sering diarahkan untuk pencitraan jangka pendek atau bagi-bagi kepentingan menjelang pilkada. Di titik inilah, keberanian Purbaya untuk menekan daerah lewat anggaran patut diapresiasi, karena jarang ada pejabat yang mau mengambil risiko politik sebesar itu.

Tapi Sobat Yoursay, kalau hanya pusat yang tegas sementara pola pikir daerah tak berubah, maka tahun depan kita akan kembali ke kondisi yang sama, ketika anggaran macet, laporan berantakan, lalu rakyat hanya dapat sisa waktu dan sisa perhatian.

Ekonomi yang sehat tidak butuh pemimpin yang pandai mengeluh, tapi pemimpin yang berani mengeksekusi. Mungkin inilah pesan paling penting dari keputusan Purbaya, ia tidak hanya potong anggaran, tapi potong kebiasaan lama yang membuat daerah berjalan di tempat.