Sobat Yoursay, pernahkah kamu memperhatikan betapa jarangnya kita menyentuh uang tunai akhir-akhir ini? Mungkin terakhir kali kamu pegang lembaran rupiah adalah saat bayar parkir atau beli gorengan di pinggir jalan.
Selebihnya? Semua serba scan QR, tap card, atau transfer online. Kita hidup di era di mana dompet fisik makin tipis, tapi dompet digital makin penuh.
Lalu, apakah ini pertanda dunia tanpa uang tunai/cashless society benar-benar ideal? Atau jangan-jangan, kita sedang berjalan terlalu cepat menuju masa depan yang belum tentu siap kita hadapi?
Menariknya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Swedia, misalnya, lebih dari 95% transaksi sudah dilakukan secara non-tunai. Banyak toko bahkan menolak uang kertas sama sekali.
Di China, hampir semua pembayaran, dari taksi hingga pedagang kaki lima, dilakukan lewat WeChat Pay atau Alipay.
Indonesia pun tak mau ketinggalan. Bank Indonesia mencatat, per Juli 2025, jumlah pengguna QRIS sudah menembus 46 juta merchant dan lebih dari 200 juta transaksi per bulan. Angka yang luar biasa jika dibandingkan dengan situasi lima tahun lalu, ketika QRIS masih dianggap barang baru.
Tentu, ada banyak alasan untuk mengagumi kemajuan ini. Dunia digital menawarkan efisiensi yang tak tertandingi. Bayar bisa di mana saja, kapan saja, tanpa uang pas, tanpa repot menunggu kembalian. Pemerintah pun diuntungkan, transaksi digital lebih mudah dilacak, kebocoran berkurang, dan ekonomi informal perlahan masuk ke sistem formal.
Namun, Sobat Yoursay, di balik semua kenyamanan itu, apakah kita benar-benar siap hidup tanpa uang tunai?
Bayangkan suatu hari jaringan internet nasional bermasalah. Server perbankan down. Listrik padam di sebagian kota. Dalam dunia yang 100% digital, kondisi seperti itu bisa melumpuhkan seluruh kegiatan ekonomi. Kita kehilangan alat tukar paling dasar yang seharusnya bisa berfungsi bahkan tanpa sinyal atau baterai.
Bukan cuma soal infrastruktur. Dunia tanpa uang tunai juga menimbulkan pertanyaan soal keadilan dan akses. Masih banyak warga Indonesia yang belum memiliki rekening bank, apalagi dompet digital. Mereka bukan tak mau beradaptasi, tapi sering kali tidak punya akses internet, ponsel pintar, atau literasi digital yang memadai. Dalam masyarakat serba digital, kelompok ini berisiko tersisih karena sistem tidak mengakomodasi mereka.
Lalu ada isu privasi dan kendali. Dunia tanpa uang tunai berarti setiap transaksi tercatat, terpantau, dan bisa dianalisis oleh pihak ketiga, entah itu pemerintah, bank, atau perusahaan teknologi.
Di satu sisi, transparansi bisa mencegah pencucian uang dan korupsi. Tapi di sisi lain, kita semakin kehilangan ruang pribadi dalam aktivitas finansial. Seolah-olah setiap kopi yang kita beli, setiap donasi yang kita berikan, menjadi data yang bisa diolah dan dijual.
Tentu, ini bukan berarti kita harus menolak digitalisasi. Teknologi pembayaran digital jelas membawa banyak manfaat. Tapi seperti halnya semua inovasi besar dalam sejarah, kemajuan seharusnya berjalan beriringan dengan kesiapan sosial dan etika.
Dunia tanpa uang tunai ideal hanya jika semua orang bisa ikut di dalamnya, bukan hanya mereka yang punya ponsel mahal dan koneksi cepat. Kemajuan teknologi seharusnya memudahkan hidup, bukan memisahkan manusia dari manusia lain.
Mungkin dunia ideal bukanlah dunia tanpa uang tunai, tapi dunia di mana uang tunai dan digital bisa hidup berdampingan, saling melengkapi, bukan saling menggantikan. Karena di tengah semua inovasi, kita tetap butuh sesuatu yang nyata untuk dipegang, entah itu selembar rupiah, atau sekadar rasa aman bahwa hidup kita tak sepenuhnya dikendalikan oleh layar.
Baca Juga
-
Judicial Review: Strategi Politik Menghindari Tanggung Jawab Legislasi
-
Banjir Bukan Takdir: Mengapa Kita Terjebak dalam Tradisi Musiman Bencana?
-
Pasal 16 RKUHAP: Bahaya Operasi Undercover Buy Merambah Semua Tindak Pidana
-
Revisi KUHAP: Jurang Baru Antara Kewenangan Aparat dan Hak Warga Negara
-
Partisipasi Publik Palsu: Strategi Komunikasi di Balik Pengesahan Revisi KUHAP
Artikel Terkait
-
QRIS Antarnegara: Simbol Indonesia Jadi Pemain Utama Ekonomi Digital ASEAN
-
5 Rekomendasi Tablet SIM Card di Bawah Rp 3 juta untuk Digital Nomad
-
Revisi UU Ketenagakerjaan Jadi Kunci Nasib Pekerja Digital, Rieke Diah Pitaloka: Mari Kawal Bersama
-
Rp2 Juta Dapat Tablet Apa? Ini 4 Rekomendasi Terbaik Oktober 2025
-
E-Wallet: Bantu Hemat atau Bikin Boros?
Kolom
-
Menikah Tak Punya Batas Waktu: Saatnya Berhenti Bertanya Kapan?
-
Masalahnya Bukan di Netflix, tapi di Literasi Digital Kita
-
Mengapa Remaja Perempuan Jadi Target Favorit Kekerasan Digital? Yuk Simak!
-
Eco-Anxiety Bukan Penyakit: Saat Kecemasan Iklim Menggerakkan Perubahan
-
Antara Keluarga dan Masa Depan, Dilema Tak Berujung Sandwich Generation
Terkini
-
Poster Toy Story 5 Dirilis, Woody dan Buzz Hadapi Tantangan Era Digital
-
Ancaman Hoaks dan Krisis Literasi Digital di Kalangan Pelajar Indonesia
-
Bukan yang Pertama di Asia, Indonesia Lanjutkan Tradisi Tuan Rumah FIFA Series
-
Putusan Bersejarah: Pengadilan Jepang Nyatakan Cloudflare Bertanggung Jawab atas Pembajakan
-
OOTD Dress ala Kim Hye Joon: 4 Gaya Effortless Cocok di Semua Mood!