Di tengah hiruk-pikuk media sosial dan derasnya arus informasi digital, satu hal yang semakin jarang terdengar adalah suara anak-anak menyanyikan lagu anak-anak. Bukan karena mereka tidak suka bernyanyi, bukan pula karena mereka kehilangan suara. Namun realitanya, dunia anak-anak hari ini seakan kehilangan nyawanya sendiri dalam ranah musik populer. Lagu anak-anak telah kehilangan panggung, nyaris lenyap dalam gemuruh industri musik yang kini didominasi oleh konten dewasa. Fenomena ini mencerminkan lebih dari sekadar perubahan selera atau zaman; ia menunjukkan krisis representasi budaya anak di ruang publik dan media arus utama.
Generasi yang tumbuh pada 1990-an dan awal 2000-an tentu akrab dengan nama-nama seperti Joshua Suherman, Enno Lerian, Tasya Kamila, Chikita Meidy, Sherina Munaf, dan grup-grup seperti Trio Kwek Kwek, Trio Laris, atau Melisa. Mereka bukan hanya penyanyi, tetapi juga simbol dari masa kecil yang meriah, penuh warna, dan bersuara ceria. Lagu-lagu mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan anak-anak saat itu. Lirik yang mendidik, melodi yang mudah diingat, serta visualisasi yang menggambarkan keceriaan khas anak-anak menjadikan lagu anak sebagai bagian integral dari dunia anak-anak itu sendiri.
Namun kini, anak-anak zaman sekarang tampaknya tidak lagi memiliki figur seperti itu. Industri musik anak seakan lumpuh dan ditinggalkan. Lagu-lagu yang sering mereka nyanyikan justru berasal dari kalangan dewasa. Tak jarang, anak-anak ikut menyanyikan lagu-lagu patah hati, perselingkuhan, atau hubungan asmara kompleks yang jelas-jelas belum menjadi bagian dari dunia mereka. Pemandangan ini tak lagi asing di berbagai ajang pencarian bakat, unggahan konten media sosial, hingga acara sekolah. Anak-anak menyanyikan lagu-lagu dengan tema yang jauh dari pengalaman eksistensial mereka sendiri, seolah ruang untuk menjadi anak-anak secara musikal telah ditutup.
Salah satu penyebab utama dari lenyapnya lagu anak-anak dari peredaran adalah minimnya dukungan industri. Label rekaman, produser musik, hingga saluran media televisi tidak lagi memberi tempat bagi musik anak sebagai genre yang potensial secara komersial. Di era ketika konten yang viral dan bernuansa dewasa dianggap lebih menjual, lagu anak-anak tidak dianggap punya daya saing. Situasi ini diperparah dengan pergeseran platform distribusi musik yang kini bertumpu pada algoritma digital. Sementara algoritma cenderung mendorong konten yang disukai oleh mayoritas pengguna dewasa, lagu anak-anak otomatis tenggelam di antara jutaan konten lain yang lebih cepat viral dan lebih "dewasa".
Masalah ini juga tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab orang dewasa, terutama media, pendidik, orang tua, dan pembuat kebijakan. Ketika ruang tontonan anak di layar kaca digantikan oleh konten keluarga, sinetron, atau reality show, anak-anak kehilangan representasi mereka di media. Ketika acara musik dan ajang pencarian bakat tak lagi membedakan segmen anak-anak dengan orang dewasa, maka anak-anak terpaksa tumbuh dengan konsumsi budaya yang bukan milik mereka. Kita jarang melihat program televisi yang secara konsisten mengangkat lagu anak-anak seperti era “Dunia Anak” atau “Tralala-Trilili”. Alih-alih menumbuhkan genre musik anak, media justru mempercepat asimilasi anak ke dalam dunia dewasa yang belum waktunya.
Bahkan dalam ranah pendidikan dan keluarga, nyanyian anak pun bukan lagi prioritas. Banyak sekolah yang lebih fokus pada kurikulum akademik semata, mengabaikan pengayaan budaya seperti lagu-lagu tematik anak. Orang tua pun kadang merasa lebih praktis memperkenalkan anak pada konten-konten populer yang sedang tren di YouTube, TikTok, atau Spotify, tanpa menyadari bahwa pilihan ini mempercepat pemisahan anak dari budaya khas usianya. Lagu anak bukan sekadar hiburan; ia sarat nilai moral, pelajaran sosial, bahkan alat penguatan identitas usia dini. Jika anak-anak tak lagi menyanyikan lagu anak-anak, maka ada bagian penting dari proses tumbuh-kembang yang ikut hilang.
Dampak psikologis dan sosiokultural dari kondisi ini tidak bisa diremehkan. Anak-anak tumbuh dengan konsep yang kabur tentang siapa mereka dan apa yang relevan dengan dunia mereka. Ketika mereka akrab dengan lirik tentang cinta terlarang atau hubungan kompleks orang dewasa, mereka kehilangan ruang untuk mengekspresikan pengalaman khas masa anak-anak seperti bermain, belajar, berteman, dan bermimpi. Ini bukan soal moralitas semata, tetapi soal relevansi perkembangan. Lagu adalah refleksi dan sekaligus sarana internalisasi nilai. Bila yang mereka internalisasi sejak dini adalah narasi orang dewasa, maka proses pertumbuhan mereka akan cenderung prematur, bahkan bisa menciptakan kebingungan emosional.
Belum lagi kita bicara soal kesempatan berkarya. Hilangnya panggung bagi musik anak juga berarti tertutupnya peluang bagi anak-anak untuk berkreasi dalam ruang yang aman dan sesuai usia. Seorang anak berbakat di bidang musik lebih mungkin terkenal lewat nyanyian dewasa dibanding lewat lagu anak, karena pasar dan ekspektasi publik memang tidak menyediakan alternatif. Kita bisa melihat fenomena ini dalam sosok-sosok viral yang menyanyikan lagu orang dewasa dengan vokal anak-anak. Yang dipuji bukan kesesuaian kontennya, melainkan kemampuan teknis dan keberanian tampil. Tak ada ruang untuk mempertanyakan, apakah anak-anak ini sedang tampil sebagai dirinya sendiri atau sedang dimasukkan dalam sistem hiburan orang dewasa yang belum tentu ramah bagi perkembangan mereka.
Jika kita refleksikan lebih dalam, krisis ini mencerminkan kegagalan kolektif dalam menjaga ekosistem budaya anak. Kita sebagai masyarakat telah membiarkan anak-anak kehilangan ruang otentik untuk menjadi diri mereka. Kita tidak lagi menuntut kehadiran lagu anak-anak, tidak merindukannya, dan bahkan mungkin tidak menyadari bahwa kehilangannya adalah sebuah kehilangan besar. Bayangkan generasi yang tumbuh tanpa lagu "Pelangi", tanpa "Libur Telah Tiba", tanpa "Abang Tukang Bakso", tanpa "Diobok-obok", tanpa "Naik Delman". Lagu-lagu itu bukan hanya lagu, melainkan jejak memori, ruang imajinasi, dan bahkan instrumen pendidikan yang menyenangkan.
Haruskah kita biarkan ini terus berlangsung? Haruskah generasi anak-anak berikutnya tumbuh tanpa warna khas usia mereka dalam dunia musik? Pertanyaan ini menuntut jawaban bukan dari para musisi semata, tetapi dari kita semua. Dunia pendidikan, media massa, pemerintah, hingga komunitas kreatif perlu kembali menghidupkan ekosistem musik anak-anak. Ini bukan soal nostalgia, tetapi soal hak anak untuk tumbuh dalam budaya yang relevan, sehat, dan menyeluruh.
Langkah awalnya mungkin sederhana: beri ruang kembali bagi lagu anak-anak. Buka panggung kecil di sekolah, taman bermain, kanal YouTube, hingga media sosial yang khusus mempersembahkan konten anak-anak. Dorong label rekaman untuk melihat potensi pasar jangka panjang, bukan hanya keuntungan instan. Fasilitasi ajang-ajang kreatif yang mendorong anak-anak mencipta lagu, bukan hanya menyanyikan lagu orang dewasa. Bangun kerja sama antara pendidik, psikolog anak, dan seniman untuk menciptakan karya-karya musik yang sesuai perkembangan usia.
Lebih dari itu, kita perlu mengubah cara pandang. Lagu anak-anak bukan genre remeh yang hanya layak diputar di hari Kartini atau Hari Anak Nasional. Lagu anak-anak adalah bagian dari konstruksi budaya yang menentukan arah tumbuh-kembang generasi. Lagu anak adalah ruang bernyanyi, bermain, berpikir, dan merasakan yang khas dan tak tergantikan. Dan saat ruang itu ditutup, anak-anak kehilangan jembatan penting menuju pemahaman diri mereka sebagai individu yang sedang tumbuh.
Kini, dengan munculnya nama-nama seperti Messy dan beberapa artis cilik lain di media sosial, kita seperti melihat secercah harapan. Namun harapan ini belum cukup kuat jika tidak didukung oleh infrastruktur budaya yang lebih luas. Satu-dua sosok tidak akan mampu menghidupkan kembali era emas musik anak seperti zaman Joshua atau Trio Kwek Kwek. Dibutuhkan gerakan kolektif yang melihat anak-anak bukan hanya sebagai konsumen konten dewasa versi mini, melainkan sebagai individu yang berhak atas ruang budaya mereka sendiri.
Dalam dunia yang semakin cepat berubah, menjaga dunia anak tetap hidup adalah sebuah tanggung jawab moral. Lagu anak-anak bukan sekadar hiburan; ia adalah penjaga masa kecil. Dan bila kita kehilangan lagu anak, kita kehilangan sebagian jiwa dari generasi masa depan. Mari jangan biarkan mereka tumbuh tanpa suara mereka sendiri.
Tag
Baca Juga
-
Kreator Lokal, Pahlawan Sunyi di Balik Viral-nya Pacu Jalur
-
Joe Hattab Hadir! Pacu Jalur Kuansing Jadi Sorotan Dunia
-
Di Balik Retorika Delegasi, Wajah Lain Kemalasan Struktural
-
Kedekatan yang Mendidik, Saat Dosen Menjadi Teman Tumbuh
-
Tradisi Indonesia Menembus Dunia, Dari Warisan Lokal ke Panggung Global
Artikel Terkait
-
KPAI: Pencegahan Perdagangan Anak Harus Masuk dalam Revisi KUHAP
-
Ngeri! 9 dari 100 Anak Indonesia Jadi Korban Kekerasan Seksual: Pelakunya Orang Terdekat!
-
Bocah Tewas Kesetrum di Taman Radio Dalam, KPAI Minta Pemda Evaluasi Keamanan Ruang Publik
-
Adopsi Format Liga Champions, Liga Anak Indonesia Segera Bergulir
-
50 Ribu Bayi Lahir dengan Penyakit Jantung Bawaan, IDAI Soroti Masih Kurangnya Fasilitas RS
Kolom
-
Inflasi IPK: Kini Predikat Cumlaude Menjadi Lazim
-
Kreator Lokal, Pahlawan Sunyi di Balik Viral-nya Pacu Jalur
-
Kalau Pemerintah Tegas soal Rokok, Sore Gak Perlu Balik ke Masa Lalu
-
Pidato Prabowo di Kongres PSI: Antara Canda, Sindiran, dan Harapan Kosong
-
Politisasi Ormawa: Intervensi Senior Menggerus Idealisme Mahasiswa
Terkini
-
Tak Ada Solusi, Pecco Bagnaia Yakin Ducati Tak Akan Atasi Masalah Rem Lagi
-
Sore: Istri dari Masa Depan Debut 1,3 juta Penonton sejak 11 Hari Tayang
-
AFF U-23: Imbangi Myanmar, Thailand Tantang Timnas Indonesia di Semifinal
-
Ikon Metal Legendaris Ozzy Osbourne Meninggal Dunia di Usia 76 Tahun
-
Ulasan Buku Sepupu Misterius, Rahasia Sang Penulis Cilik